Site icon TAJDID.ID

Muhammadiyah Mesir Gelar Diskusi “Silaturahmi Iklim”

TAJDID.ID || Bertempat di Markaz Dakwah PCIM Mesir, pada Sabtu (12/11/2022) Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir menyelenggarakan diskusi dengan tajuk “Silaturahmi Iklim”.

Diskusi ini bertujuan untuk berbagi informasi dan pengetahuan aktual akan situasi krisis iklim di dunia termasuk di Indonesia dan bagaimana keterlibatan kelompok Islam di dalam mengurangi resikonya.

Kegiatan ini dihelat sebagai bagian dari kegiatan kader-kader Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang akan ke lokasi COP27.

Pandangan-pandangan ulama Muhammadiyah dan juga intelektual muda Muhammadiyah di Mesir mengenai krisis iklim atau krisis ekologi sejatinya bukan hal baru.

Bahkan, beberapa alumni PCIM Mesir memperkuat produk fiqh di Majelis Tarjih seperti Fiqh Air yang melibatkan Muhammad Rofiq, sebagai alumni PCIM Mesir dengan peran yang cukup signifikan.

Seperti diketahui bahwa, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sebagai gerakan islam modernis nampaknya sudah melembagakan kesadaran akan krisis ini dengan membentuk majelis dan lembaga lingkungan hidup.

Dalam banyak kesempatan, Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dan Sekretaris Umum PP Muhamamdiyah Abdul Mu’ti seringkali menekankan pentingnya Muhammadiyah menjadi bagian dari ikhtiar global untuk menjaga peradaban manusia dari kepunahan akibat krisis iklim dan modernitas yang nir-etika ekologi.

Silaturrahmi Iklim dalam kesempatan ini dihadiri oleh beberapa narasumber dari PCIM/PCIA Amerika, Nana Firman, yang juga menjadi peserta di COP 27 mewakili Greenfaith international network, Hening Parlan dari LLHP PP Aisyiyah dan David Efendi dari LHKP PP Muhammadiyah.

Ketiganya akan berangkat ke COP27 yang dihelat di Sharm el-Sheikh, Mesir. Dalam kesempatan ini juga hadir Dr Fachruddin Mangunjaya dari Universitas Nasional untuk berbagi cerita bagaiamana pengalaman empirik seorang akademisi berlatar santri terlibat dan tertarik menjalani aktifisme dunia lingkungan hidup dan konservasi.

Bersambung ke hal 2

Ada banyak obrolan yang menarik dari sesi tanya jawab kegiatan ini. Pada sesi awal, Hening Parlan memberikan kenalan dan motivasi pada kaum muda yang menempuh studi agama untuk terlibat aktif dalam isu lingkungan dengan membagi pemikiran dan pemahaman agama sehingga tidak disconnected pada persaoalan bumi.

Aktifis Lingkungan dari LLHPB PP ‘Aisyiyah ini mengatakan, peran kamanusiaan, lingkungan, dan iklim adalah peran yang diamanahkan Muhammadiyah sehingga harus ada balance antara amar maruf dengan nahi munkar.

“Mengajak berbuat baik terhadap lingkungan tentu itu tidak sulit, tapi mencegah agar orang atau kelompok tertentu berbuat dzalim pada bumi tentu saja itu hal yang sangat menantang tetapi agama kita mewajibkannya,”pungkasnya.

Hening Parlan merupakan sosok perempuan yang banyak terlibat pada penguatan praktik ramah lingkungan di ‘Aisyiah, mulai dari kegiatan kelentingan keluarga, pangan, atasi plastik, dan gerakan menghijaukan muktamar atau green muktamar.

Kata Hening Parlan, untuk menyambut Muktamar, LLHPB Aisyiyah juga menerbitkan buku panduan kader mubalighat lingkungan untuk dibagikan di arena Muktamar.

Sebagaimana informasi yang beredar, Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah keduanya memasukkan isu krisis iklim dan keamanan pangan dunia dalam pembahasannya.

Sementara itu David Efendi sebagai salah satu pegiat Kader Hijau Muhammadiyah membagi pengalaman menjadi bagian dari gerakan lingkungan di kalangan kaum muda Muhammadiyah sejak beberapa tahun terakhir ini.

“Puluhan bahkan ratusan tahun perkara lingkungan ditangani oleh kelompok saintis dan NGO sekuler, keterlibatan kaum agama menjadi sangat tertinggal dan minor bahkan ada marginalisasi peran ketika kaum agama masuk ke dalam isu lingkungan.”, tandas David yang merupakan wakil sekretaris LHKP PP Muhammadiyah.

Menurutnya, krisis lingkungan atau iklim kini lebih banyak disebabkan oleh gerak antroposentris yang kering akan spiritualitas dan moralitas. Hal ini juga pernah ditegaskan oleh Syed Hussoen Nasr dalam bukunya Man and Nature.

Menurut David, pemikiran kritis itu penting untuk dimaknai dan direfleksikkan demi memperkuat gerakan penyelamatan bumi.

Antusiasme peserta luar biasa hampir disemua sesi yang dibagi dan tepukan tangan menyemangati menggelegar.

Bersambung ke hal 3

Pada kesempatan yang sama, Nana Firman memberikan banyak cerita mengenai praktik ekologis yang dijalani masyarakat muslim di Amerika serta memberikan penguatan bahwa kelompok agama punya posisi penting yang tidak bisa diperankan oleh ilmuwan dan aktifis nGO yaitu peran menjaga moral dan spiritual.

“Banyak ilmuwan sudah merasa mentok bahwa krisis iklim bukan hanya masalah yang bisa sepenuhnya dipecahkan oleh kekuatan sains tetapi jelas tidak semua jawaban dan eksekusi bisa diemban oleh ilmuwan,” kata Nana Firman.

Menurutnya, penyelesaian masalah krisis harus menjadi tanggungjawab kelompok agama di bumi, tanpa itu dampak krisis iklim akan semakin tak tertahankan.

Dirinya mengatakan, akan ada semakin banyak pengungsi iklim dan pulau-pulau tenggelam dan penderitaan manusia serta mahluk hidup akan semakin berat apabila suhu udara kenaikkannya melebihi 1,5 derajat celcius.

Pada sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan disampaikan mahasiswa Al Azhar yang juga anggota PCIM, antara lain terkait bagaimana mempraktikan hidup ramah lingkungan di skala keluarga misalnya perilaku hidup terhadap sampah, dan juga ada pertanyaan mengenai krisis lingkungan yang ternyata dipicu oleh ambisi pembangunan seperti kasus Wadas dan sejauh mana keterlibatan kelompok agama.

Ada banyak pengusaha tambang yang agamanya Islam, tokoh agama bahkan, pemerintah Indonesia juga kelompok islam juga tetapi kebijakannya sering menabrak nilai-nilai islam.

Salah seorang Ustadz bernama Fachrudin, penulis buku Generasi Terakhir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris serta Arab menerangkan semangat kelompok Islam untuk berbuat demi kelestarian bumi.

Menurutnya sudah banyak kesepahaman global di kalangan pemimpin Islam akan krisis iklim, bahkan, beberapa Syech dari Al Azhar juga menjadi bagian dari upaya pencegahan krisis ini di berbagai forum misalnya forum di Bogor dan Istambul.

Imam Besar Al-Azhar Dr. Ahmed At-Tayeb, menyatakan bahwa Islam tidak melihat benda materiil yang statis seperti melihat makhluk mati yang tidak memiliki kesadaran. Sebaliknya, semua yang ada di dunia mulai dari manusia, hewan, tumbuhan hingga benda-benda mati lainnya dilihat Islam sebagai wujud entitas yang hidup dan beribadah kepada Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia.

“Bila kita mengimani bahwa semua makhluk di dunia ini bertasbih, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menolak keberadaan mereka sebagai makhluk hidup. Materi yang mati tak mungkin dapat bertasbih dan beribadah,” ujarnya, dilansir youm sabi.

Hal seperti ini juga pernah disampaikan oleh Grand Syekh Al-Azhar dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Antar Agama untuk Perubahan Iklim bertajuk “Iman dan Sains” yang digelar di Vatikan, Senin (4/10). Pertemuan ini menjadi pendahuluan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) yang digelar bulan Desember mendatang di Skotlandia.

Pemimpin tertinggi institusi keislaman terbesar di dunia itu menambahkan bahwa kisah penciptaan dalam Al-Quran dan Alkitab menegaskan bahwa orang pertama yang turun di bumi, diturunkan dalam kapasitasnya sebagai khalifah yaitu menjadi wakil Allah di dalamnya.

Menurutnya, Allah mengangkat manusia sebagai khalifah setelah mempersiapkan bumi untuk melayaninya sehingga Dia berpesan kepadanya agar jangan merusaknya dalam bentuk apapun.

Imam Besar al-Azhar itu menghimbau kepada setiap orang yang berhati nurani, terlepas dari keyakinan dan agama mereka, untuk mencegah setiap aktivitas yang merusak lingkungan atau memperburuk krisis perubahan iklim. Secara khusus, beliau mengajak kepada para ulama dan agamawan agar menunaikan kewajiban agama mereka dalam memikul tanggung jawab terhadap krisis alam ini.

Setelah dua jam berlangsung, kegiatan silaturahmi ditutup dengan ucapan terima kasih dan rasa gembira dari perwakilan PCIM Mesir, Alfi.

Menurutnya, banyak pengetahuan baru yang belum pernah didapatkan di kampus tentang krisis iklim dan agama. Setelah forum ditutup dilanjut makan bersama dan diskusi ringan-ringan sebagai ramah tamah untuk benar-benar saling menyemangati. (*)

Kontributor: Iwan Abdul Gani

Exit mobile version