Site icon TAJDID.ID

Pakar Pidana ini Ungkap Titik Temu Polemik RKUHP tentang Pasal Penghinaan Kekuasan Umum dan Lembaga Negara

Azmi Syahputra

TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengatakan hukum pidana nasional adalah pekerjaan memelihara hukum dan ketertiban, pasti akan dihadapkan dengan dua tuntutan, suatu pihak perlu dilindungi lembaga kekuasaan umum yang diikat oleh prosedur formal, disatu pihak masyarakat ingin bergerak bebas atas nama demokrasi terkait jaminan hak warga negara.

“Jadi wajar saja kalau masih ada anggapan atau rasa ketakutan seolah masyarakat akan menjadi  new victimologi jadi korban yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan kekuasaan, sehingga tindakan atau perbuatan yang dikualifikasi dalam pasal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) nasional terbaru yang drafnya diserahkan pemerintah kepada DPR RI baru-baru ini dianggap merugikan hak konstitusional warga,” ujar Azmi, Jum’at (11/11).

Namun, kata Azmi, yang akan menjadi titik temu dan bisa menjadi jawaban dalam naskah RKUHP ini terkait alasan pembenar dan tentunya tidak akan dipidana sepanjang perbuatan ungkapan ekspresi, kritik atau menyampaikan pendapat tuntutan masyarakat tersebut berorientasi pada ketiadaan sifat melawan hukum dan bermuatan kepentingan umum.

“Apalagi kalau membuka kebijakan atau tindakan kesalahan atau kekurangan dari lembaga kekuasan umum dimaksud yang disampaikan berisi fakta kebenaran ,dan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tentu ini bukanlah menuduh sesuatu atau menyerang nama baiknya yang dikualifikasi sebagai delik menghina kekuasaan umum,” terangnya.

Oleh karena itu, kata Azmi, tidak perlu dikhawatirkan karena perbuatan tersebut bukanlah menjadi perkara pidana, apalagi dalam perkara ini prosedurnya pelaksanaannya adalah delik aduan.

“Sepanjang yang disampaikan masyarakat berisi kebenaran dan demi kepentingan umum, apa pemegang kekuasan umum itu akan tetap berani melaporkan? Tentu berpikir berkali-kali atas tindakan kesalahan pejabat tersebut, karena malah pejabat tersebut yang terbukti melakukan tindakan pidana dalam jabatan atau maladministrasi, secara kritik yang disampaikan masyarakat adalah kebenaran dan demi kepentingan umum,” jelas alumni Fakultas Hukum UMSU ini.

“Jadi mari fokus mendorong disahkan dan mewujudkan hukum pidana nasional guna menggantikan KUHP Kolonial, karena apabila dialektika ini terus berlanjut, tidak akan selesai selesai, justru ini akan berdampak tertundanya kembali pengesahan RKUHP nasional yang sudah menjadi urgensi bagi bangsa Indonesia,” imbuhnya.

Namun, kata Azmi, sebelum disahkan tetap terbuka ruang diskusi yang bijaksana, solutif dan konstruktif guna memahami substansi secara menyeluruh serta penyempurnaan RKUHP versi 9 November 2022  tersebut.

Menurut Azmi, yang perlu diperhatikan dan dipastikan RKUHP itu harus menjaga tujuh titik keseimbangan, yaitu mengatur keseimbangan antara kepentingan umum (negara) dan kepentingan individu, antara perlindungan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum yang tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia karenanya dalam menjaga keseimbangan tersebut terutama keseimbangan hak asasi dan kewajiban asasi diperlukan dan pasti berkaitan dengan penegakan hukum.

Diketahui, naskah RKUHP terbaru yang diserahkan pemerintah ke DPR pada Rabu (9/11), mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Naskah tersebut mengubah sejumlah pasal, namun mempertahankan beberapa pasal penghinaan ke lembaga negara seperti DPR, Polri, hingga Kejaksaan.

“Pada draf RKUHP versi 6 Juli 2022 sebanyak 632 pasal, sedangkan versi 9 November ada 627 pasal,” kata Wamenkumham Eddward Sharif Omar Hiariej, dalam rapat.

Pada pasal 349 ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

Kemudian, ayat 3 menyebut pidana dalam pasal tersebut bisa dilakukan jika ada aduan dari pihak yang dihina. Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial.

“Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi pasal 349 ayat 1.

Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati.

“Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini”.

 

 

Exit mobile version