TAJDID.ID~Medan || Lanskap demokrasi Indonesia saat ini sedang berada dalam era post-truth politik, dimana nalar politik digantung dan mengedepankan hal-hal yang bersifat irrasional, bahkan mengarah pada kejahatan informasi.
Demikian dikatakan Anggota KPU RI Dr Idham Holik SE MSi saat menyampaikan Kuliah Umum dengan tema “Peran perguruan Tinggi Sukseskan Pemilu 2024” di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Jum’at (23/9/2022).
“Jadi sekarang ini menjadi penting kita lihat atau menganalisis kembali tentang potensi politik pasca kebenaran dalam pemilu Indonesia,” ujar Iham Kholik.
Jika ingin menatap apa yang menjadi cita-cita kita bersama, dimana bangsa ini mempunyai visi Indonesia Emas 2045, maka Pemilu serentak 2024, menurut Idam Holik, merupakan pemilu yang memiliki nilai yang sangat strategis dan menjadi batu pijakan bagi bangsa ini.
“Kenapa? Karena proses demokratisasi di Indonesia sudah berjalan cukup lama, apalagi konsolidasi demokrasi kita sudah berjalan dua dasawarsa, hal ini dapat dilihat di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang ditandatangani SBY, presiden Indonesia pertama yang terpilih dengan mekanisme pemilu secara langsung, kita saat ini masih dalam fase konsolidasi demokrasi,” sebutnya.
Peran Civil-society dalam Demokrasi
Lebih lanjut, Idaham Holik menjelaskan, bahwa dalam berbagai studi ilmu politik mengatakan ada satu entitas politik yang sangat penting bagaimana demokrasi itu bisa berkembang, dan entitas itulah yang akan menjaga demokrasi.
“Entitas itu tak lain adalah civil society, atau kita sering menyebutnya dengan masyarakat madani. Terlepas ada perdebatan apakah konsep civil society yang berasal dari Barat itu sama dengan konsep masyakat madani, saya pikir ada benang merahnya, yakni pada persoalan well educated community, yakni komunitas yang terdidik dengan baik. Banyak sekali teori dan pandangan politik yang menjelaskan bahwa tanpa civil society maka demokrasi tidak akan berkembang dengan baik. Bahkan demokrasi bisa dibajak oleh oligarki dan demagog,” kata Idham Holik.
Perguruan tinggi atau universitas adalah salah satu bagian dari civil society, yakni tempatnya para ilmuan, para orang-orang terdidik, tempatnya para mahasiswa sedang belajar menjadi ilmuan-ilmuan muda. Terkait keberadaan ilmuan-ilmuan muda ini, Idaham Kholik mengutip kritikan pemikir revolusioner Iran Ali Syari’ati yang menyebut tentang adanya dua jenis kaum intelektual, yakni inteletual organik dan intelektual tukang.
“Saya berharap kedepan mahsiswa-mahasiswa UMSU bisa tumbuh menjadi intelektual-intelektual organik, dan itu adalah bagian penting dari civil society.” ujarnya.
Implementasi Tridarma Perguruan Tinggi
Berbicara tentang peran Perguruan Tinggi sebagai bagian dari civil society, Idham Holik mengatakan hal itu berkenaan dengan implementasi Tridarma Perguruan Tinggi yang meliputi tiga unsur yang merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan, yakni Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Pertama tentang Pendidikan atau edukasi. Terkait hal ini, Idham Holik sependapat dengan pernyataan yang pernah dilontarkan Prof Fuad Hasan, mantan Menteri pendidikan zaman Orba, yang mengatakan, jika sebuah negara demokrasi ingin maju maka kuncinya adalah literasi.
“Saya sangat sependapat dengan pernyataan Prof Fuad Hasan itu, bahwa demokrasi dan bangsa ini tak akan maju kalau tidak didukung oleh budaya litersi. Bahkan sebagai seorang muslim, saya meyakini litersi itu adalah doktrin keagamaan saya, karena ayat pertama dalam ayat suci al-Qur’an itu adalah iqra’. Dan menurut saya itu adalah doktrin litersi. Dan saya yakin agama-agama yang lain juga memiliki doktrin yang sama , karena agama hadir untuk manusia dan kemanusian,” jelasnya.
“Ali Syariati pernah menyinggung perbedaan antara konsep human being dan human becoming. Melalui proses pendidikan inilah kita menjadi manusia atau yang disebut human becoming, karena tidak semua manusia menjadi manusia, pendidikanlah yang memanusiakan manusia,” imbuhnya.
Menurut Idham Holik, konsep kemanusian ini penting dikemukaaan karena demokrasi yang baik atau pemilu yang baik itu ditandai dengan berkembangnya well educated voter population, populasi pemilih yang terdidik dengan baik. Sehingga dengan undang-undang No 7 Tahun 2017 dijelaskan salahsatu kewajiban KPU adalah melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
“Karena pendidikan akan mengadabkan praktik-praktik politik,” tegaskan.
Ia juga mengakui banyaknya kritik dari dunia Barat terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Diantara contohnya, pada tahun 2018 terbit sebuah buku yang berjudul ‘Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia’ karya Edward Aspinall. Kemudian pada tahun 2019 ilmuan politik Burhanuddin Muhtadi menulis sebuah disertasi yang kemudian diterbitkan mejadi sebuah buku dengan judul “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins”. Disertasi tersebut kemudian diterbitkan oleh Palgrave McMillan pada Mei 2019 dalam buku berjudul “Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery”.
Menurut Idham Holik, kedua buku ini merupakan kritik yang sangat keras dan apa yang disampaikan di dalamnya, salahsatunya tentang politik uang, bisa mengancam kehidupan demokrasi Indonesia di masa depan.
“Kendati sekarang banyak yang menganggap politik uang sebagai hal yang biasa, bahkan ada yang menyebutnya sudah menjadi sebuah kultur, sebagai orang yang pernah dididik di perguruan tinggi saya tertarik dan tertantang untuk menjawab problematika ini. Menurut saya kuncinya adalah pendidikan,” kata Idham Holik.
Terkait dengan hal ini, Idham Holik kemudian menuturkan, bahwa dalam buku “On Ideology”, Louis Althusser mengatakan institusi pendidikan merupan lembaga ideologi negara, dimana di dalamnya diinternalisasi nilai-nilai ideologi negara.
“Jadi peran perguruan tinggi dalam konteks pendidikan sangat vital sekali. Karenanya saya berharap ke depan Kementerian Pendidikan dapat lebih men-drive agar lembaga-lembaga pendidikan dapat berkontribusi besar dalam perubahan atau transformasi budaya elektoral di Indonesia,” harapnya.
Dan berbicara tentang pendidikan dalam pemilu, kata Idham Holik, tentunya membutuhkan komitmen bersama, karena menurutnya seringkali pendidikan dalam pemilu dimaknai hanya selama tahapan berlangsung.
“Karena itu saya mengapresiasi kebijakan KPU RI periode sebelumnya yang merancang sebuah program yang bernama Pendidikan Pemilih yang berkelanjutan. Jadi pendidikan pemilih itu idealnya memang harus berlangsung secara berkesinambungan, simultan dan harus bergandengtangan dengan institusi-institusi lain. Apalagi sekarang di era digital sering disebut dengan era kolaborasi, dimana KPU tidak bisa bergerak sendiri, tapi harus berkolaborasi dengan institusi lainnya,” jelasnya.
“Jadi perlu saya tekankan, bahwa pendidikan menjadi indikator peradaban demokrasi kita,” tambahnya.
Dalam konteks civil society, lanjut Idham Holik, volentirisme biasanya menjadi indikator komitmen dari masyarakat sipil itu sendiri. Dan dalam demokrasi juga menuntut volentirisme.
“Saya berharap kepada rekan-rekan mahasiswa yang saat ini sedang tumbuh kembang di dalam dunia intelektual dapat terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu dan tidak lagi berdiam diri di kampus, tidak hidonis dengan kajian-kajian diskursusnya yang sangat abstrak, tapi dapat memberikan kontribusi nyata mulai dari terlibat dalam penyelenggara pemilu, badan ad hoc atau lainnya. Kalau dahulu ada istilah menara gading, harapan saya istilah itu tak lagi berkembang dalam diskursus publik kita.
Terkait partisipasi ini, Idham Holik menjelaskan agar pendidikan pemilih tidak hanya dimaknai dalam konteks formal bertemu dengan pemilih secara tatap muka.
“Sekarang era digital, kita bisa melakukan pendidikan politik dimanapun dan kapanpun. Saya berharap media-media sosial kita atau ruang-ruang digital kita dapat diisi dengan enlightenment sharing atau berbagi pencerahan, karena masyarakat umum (general voter) itu menanti para kaum intelektual muda atau mahasiswa dalam mengedukasi atau berkontribusi masyarakat pemilih dengan berbagi pandangannnya,”
Bersambung ke hal 5
Selanjutnya tentang penelitian (research). Idham Holik mengatakan, riset tentang kepemiluan itu terbuka lebar, dimana ada banyak sekali tema yang bisa diriset dalam bidang kepemiluan, mulai dari manajemen, hukum, politik, bahkan untuk ilmu-ilmu eksak.
“Misalnya untuk Fakultas kedokteran bisa meneliti tentang kebijak kesehatan publik (public health policy) dalam penyelenggaraan pemilu. Karena di tahun 2019 ada 875 penyelenggara badan ad hoc yang wafat yang pada waktu itu berdasarkan penelitian dari UGM dan Kemenkes ternyata disebabkan oleh faktor komorbid,” ungkapnya
“Bahkan disiplin imu matematika pun bisa. Karena dalam studi kepemiluan ada yang disebut dengan electoral mathematics atau matematika kepemiluan. Yang membutuhkan kajian matematika misalnya terkait penataan daerah pemilihan (redistricting), rekapitulasi dan konversi suara menjadi kursi,” tambahnya.
Kemudian, berbicara tentang riset sebagai bagian dari tridarma perguruan tinggi, Idham Holik mengatakan ada hal yang menarik untuk Fakultas Hukum, dimana di dalam aliran ilmu hukum ada yang dikenal dengan civil-law atau common-law, maka di Indonesia muncul sebuah aliran studi hukum baru yang dipelopori oleh Prof Soetjipto Raharjo yang disebut dengan progressive-law.
“Artinya kajian hukum pemilu itu sangat menarik,” kata Idham Holik.
Bicara tentang civil-law, jelas Idham Holik, UU No 7 Tahun 2017 itu merupakan cermin bagaimana hukum kepemiluan mengacu pada civil-law, karena ada yang namanya kodifikasi. UU itu merupakan gabungan dari tiga UU, yakni UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
“Ketiga UU ini dikodifikasi menjadi satu, yakni UU No 7 Tahun 2017. Kodifikasi Undang-Undang Pemilu menegaskan bahwa hukum pemilu yang dianut di Indonesia adalah civil-law. Tentunya ini kajian menarik untuk diteliti. Dalam kontek progressive law, penyelenggaraan pemilu di tengah masa pandemi kemudian KPU menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengedepankan keselamatan manusia. Artinya, pada waktu Pilkada serentak 2020 KPU dalam mengimplementasikan azas hukum lex specialis derogat legi generalis, yang tujuannya untuk memastikan pemilih aman, sehat dan selamat pada saat pemeilihan,” jelasnya.
Selain itu, dalam kepemiluan juga dikenal yurisprudensi, dimana banyak putusan Mahkamah konstitusi yang merujuk pada putusan-putusan hakim terdahulu. Idham Holik mengatakan, yurisprudensi merupakan ciri dari common-law.
“Sekali lagi dalam konteks penelitian, pada prinsipnya kita sangat mendukung. Karenanya kita mengundang dunia akademik untuk meneliti tentang pemilu dan kita siap melayani untuk memberikan data-data yang diperlukan sesuai UU No 14 Tahun 2008 yang memenuhi unsur keterbukaan informasi publik,” tegas Idham Holik.
Ketiga, terkait pengabdian masyarakat, Idham Holik berharap mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi tidak hanya terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, tapi juga secara politic electoral juga lulusan-lusan terbaik universitas bisa menjadi kandidat di pemilu.
“Kenapa? Karena pemilu harus diisi oleh civil society. Kita ketahui dalam politic electoral atau bisa dilihat dalam perspektif marketing-politic sering kali para kandidat mengedepankan pendekatan machiavellianisme yang menjustifikasi cara atas dasar supplay and demand, sehingga politik uang itu dipandang seakan sesuatu yang permisif, bahkan menjadi sebuah tuntutan. Tentunya ini sesuatu yang salah kaprah,” kata Idham Holik.
Namun kalau kader-kader terbaik dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah menjadi kandidat, Idham Holik optimis itu akan bisa menghadirkan lanskap atau budaya politik elektoral baru.
“Karena ciri dari Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan adalah mengutamakan etika atau akhlak. Demokrasi kita membutuhkan akhlak. Tanpa akhlak demokrasi akan membawa masalah dan kemudharatan,” tegasnya.
Sekali lagi Iham Holik menekankan, bahwa etika atau akhlak adalah sesuatu yang sangat penting. Karena menurutnya banyak studi yang mengungkapkan, bahwa akibat moral hazard, pemerintahan hasil demokrasi menjadi kacau, karena korupsi itu diawali dari moral hazard.
“Dan sekiranya para kandididat memiliki etika politik yang matang akan mampu merubah lanskap demokrasi, dan kita bisa buktikan yang namanya politik uang (politic buying) atau kecurangan pemilu (electoral bribery) bisa kita tekan,” katanya.
“Mudah mudahan kedepan demokrasi elektoral di Sumatera Utara bisa menjadi role model bagi demokrasi di provinsi lainnya,” tutupnya. (*)