Site icon TAJDID.ID

Kelindan Syahwat Politik dan Nafsu Bisnis

Oleh: M. Risfan Sihaloho


Adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa syahwat politik dan nafsu bisnis sering berkelindan sedemikian rupa dalam ruang abu-abu yang dipenuhi aroma konspirasi, kolusi dan korupsi.

Dalam kajian historis mengenai akar demokrasi dan kediktatoran, Barington Moore menyimpulkan, bahwa sebuah kelas penduduk kota yang besar dan independen telah menjadi elemen sangat diperlukan dalam pengembangan demokrasi.

Menurutnya demokrasi akan tumbuh dan berkembang jika kelas borjuis menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi, No bourgeoisie, No democracy, (Barrington Moore, 1966).

Dewasa ini banyak pengusaha menyepakati doktrin Moore ini dan bahkan ditandai dengan banyaknya pengusaha berbondong-bondong terjun dalam dunia politik. Hal ini merupakan trend dari dulu, baik di luar negeri maupun di Indonesia, banyak pengusaha menguasai jabatan publik.

Demokrasi Liberal
Salahsatu model kecenderungan demokrasi yang sedang digandrungi di republik ini adalah demokrasi liberal. Oleh banyak pengamat, fenomena kecenderungan demokrasi liberal merupakan ekeses dari gerakan reformasi politik dan demokrasi yang kebablasan, terutama terjadi sejak bergulirnya gerakan reformasi di negeri ini sekitar dua dekade silam.

Model demokrasi liberal itu secara ekstrim mengasosiasikan ruang politik sebagai wujud pasar (market sentris), dimana konstruksi dunia politik dipahami sebagai ruang bebas, tempat para politisi pemilik modal menyalurkan syahwat politiknya dengan bertarung mengikuti hukum pasar yang nota bene tidak berbeda dengan hukum rimba, dimana yang kuat akan jadi pemenang.

Kecenderungan besarnya biaya (cost) politik yang harus dikeluarkan oleh partai politik maupun para politisi yang sedang bertarung dalam pelbagai hajatan demokrasi, seperti pileg, pilpres maupun pemilukada, merupakan bukti nyata betapa dunia demokrasi kita sedang terperangkap dalam arus liberalisme demokrasi yang sangat market sentris. Sebagai implikasinya, determinasi modal (kapital) dalam kehidupan demokrasi kemudian mendapat justifikasi sebagai sebuah keniscayaan.

Dalam logika demokrasi liberal yang market sentris, bentuk relasi politik yang berlaku adalah relasi jual-beli atau transaksional. Akibatnya, secara vulgar pertarungan dalam demokrasi (politik) itu kemudian dipandang hanya sebagai wujud keniscayaan “kalah-menang” atau “untung-rugi” semata. Sebagai implikasi, sianu mengatakan, bshksn untuk kalah seseorang harus bayar mahal.

Selain itu, logika demokrasi liberal juga memandang pernak-pernik etika dan moral hanya sebagai nilai-nilai absurd yang sama sekali tidak memiliki korelasi dan signifikansi dengan dunia politik yang realistik dan terukur. Intervensi etika dan moral dalam politik malah dianggap tidak terlalu penting. Kalaupun dianggap perlu, cukuplah hanya sebagai penghias slogan, jargon dan retorika politik saja.

Dalam konteks leberalisme demokrasi yang market-sentris, relasi politik-bisnis adalah sesuatu yang mutual. Dunia politik yang begitu pragmatistik dan banal kemudian meniscayakan biaya cost politik jadi membengkak. Maka politik (kekuasaan) pun kemudian potensial dibisniskan oleh pelaku politik dan kekuasaan dengan modus distribusi dan kompensasi kekuasaan. Begitu juga sebaliknya, para pelaku bisnis memandang modal backing politik (kekuasaan) merupakan sesuatu yang penting dan strategis untuk melancarkan dan melempangkan ambisi bisnisnya.

Maka jangan heran jika dewasa ini ada kecenderungan bahwa sebagian besar politisi itu berlatarbelakang pebisnis. Bahkan sebagian kalangan menganggap bahwa cuma orang yang punya uanglah yang paling realistik bisa ikut dalam pertarungan politik yang berbiaya tinggi tersebut.

Sebagai implikasinya, jika seorang pengusaha berkecimpung dalam dunia politik, apa lagi jika dia sudah menggenggam kekuasaan politik, maka dia bukan lagi pure sebagai pebisnis yang profesional. Bahkan pantas dicurigai, politisi pebisnis itu kelak berpotensi untuk melakukan abaus of power untuk memenangkan kepentingan bisnisnya.

Adalah fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa cost sosial politik yang harus disiapkan dan dikeluarkan para pelaku politik praktis untuk melakoni kompitisi politik sungguh tidak sedikit.

Bersambuh ke hal 2

Uang dan Kekuasaan

Terkait dengan hal tersebut, Profesor riset bidang intermestic affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti dalam sebuah artikelnya (2012) menuliskan, bahwa politik di Indonesia tidak lepas dari permainan uang dan kekuasaan. Untuk memperoleh kekuasaan, tidak sedikit orang Indonesia menggunakan uang. Tidak sedikit pula dari mereka yang setelah memperoleh kekuasaan berharap akan mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Dari uang yang lebih banyak itu, ia juga akan “membeli kekuasaan” yang lebih besar lagi. Jadi rumusnya ialah M (money) akan mendapatkan kekuasaan P (power). Dari P itu ia akan mendapatkan MM (more money). Dari MM itu ia akan memperoleh MP (more power) dan seterusnya.

Dengan kata lain, tidak sedikit orang di Indonesia terjun ke politik bukan untuk memperoleh kekuasaan yang akan digunakan demi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri

Begitu juga dengan tersedotnya anggaran negara yang cukup besar. Semua cost itu sepertinya menguap nyaris tanpa bekas dan menjadi investasi yang gagal dan mubazir.

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa ada kecenderungan Parpol di Indonesia itu hidup dan berkembang bergantung kepada citra sang pemimpin partai, apakah ketua umumnya ataupun ketua dewan pembinanya.

Parpol-parpol di Indonesia hanya bergerak dinamis setiap lima tahun sekali, yaitu menjelang pemilihan umum. Selebihnya, parpol-parpol tersebut “tidur pulas” sepanjang masa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Oleh karenanya, jangan heran bila proses rekrutmen politik, kaderisasi politik, pendidikan politik, dan komunikasi politik tidak dijalankan sebagian besar partai politik, termasuk parpolparpol yang memiliki anggota di parlemen (DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota). Apalagi partai-partai yang tidak memiliki anggota di parlemen tentunya sulit menggerakkan anggota karena tidak memiliki dana untuk melakukan semua itu.

Salah satu cara untuk membaca situasi perilaku penguasa dalam memaksimalkan keuntungannya adalah dengan melakukan pendekatan the New Political Economy atau yang lebih dikenal dengan istilah “Rational Choice”. Asumsi dasar yang dibangun dalam pendekatan ini adalah bahwa manusia adalah mahluk yang egois dan rasional. Sifat ini akan membuat manusia untuk selalu berusaha secara rasional dapat dilaksanakan dan akan membantu tercapainya kepentingan tersebut. Pada intinya manusia akan berusaha untuk sebisa mungkin mendapatkan keuntungan yang optimal dengan memanfaatkan segala fasilitas dan kemampuan yang ia miliki dengan segalaketerbatasan atau kendala yang ada. Cabang lain dari ilmu kontemporer teori pilihan negara, bermula dengan pandangan bahwa para agen dalam organisasi sektor baik swasta maupun negara akan mempunyai agenda-agenda yang sangat berbeda dari agenda-agenda para principal mereka.

Kisah tentang pengusaha yang menerobos kekuasaan, baik karena kedekatan, kolusi, maupun peran ganda,sesungguhnya telah masuk dalam kajian ekonomi politik sejak dulu. Pembahasan ini pertama kali dilakukan oleh Anne Krueger pada tahun 1973, yang membuat makalah mandiri dari karya GordonTullock. Teori yang mengkaji masalah itu dikenal dengan sebutan teori perburuan rente ekonomi (theory of economic rent-seeking). Teori tersebut menjelaskan fenomena perilaku pegusaha untuk mendapatkan lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lainnya dari pihak yang berwenang, yang mempunyai kekuasaanatas bidang tersebut. Dengan lisensi khusus, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu, perilaku pemburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku anti persaingan atau menghindari persaingan.

 

Penutup

Memang tidak semua pengusaha yang berpolitik berdampak negatif. Namun pengalaman empirik di negara berkembang menunjukkan, kemung-kinan tabiat koruptif dari dwifungsi itu justru semakin membesar.

Karena umumnya, motivasi utama para pengusaha atau “’taipan” berpolitik guna mempertahankan kepentinganbisnisnya (Harris2003). Tracking yang dilakukan menunjukkan, pebisnis di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan entrepreneur sejati. “Kerajaan” bisnis yang dibangun bukan hasil persaingan usaha sehat dan inovasi bisnis, tetapi dari privilege dan konsesi yang diberikan patron politik. Yashiro Kunio (1990) menamakannya ”kapitalissemu” (ersatz-kapitalism), yaitu pengusaha yang tumbuh karena memiliki hubungan mesra dengan rezim yang lagi berkuasa. (*)


 

 

 

 

 

Exit mobile version