Oleh: M. Risfan Sihaloho
Selama ini, Islam sering sekali dijadikan sebagai kambing hitam atas pelbagai macam problem kemanusiaan yang terjadi, baik di level dunia internasional maupun nasional. Islam terus dijadikan sasaran stigmatisasi negatif yang identik dengan konservatisme, radikalisme, revivalisme, ekstrimisme, ekslusivisme bahkan terorisme.
Konyolnya, upaya sistemik pengkambinghitaman Islam ini dilakukan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan prilaku destruktif segelintir ummat Islam yang mengatasnamakan Islam dalam setiap aksinya. Prilaku-prilaku destruktif inilah kemudian dengan sengaja mereka generalisir sebagai representasi dari watak yang inhern dari ajaran Islam.
Fenomena gerakan anti Islam ini sering disebut dengan istilah “Islamophobia”. Sedangkan mereka yang benci terhadap Islam secara membabibuta dan tanpa alasan apapun dinamakan “Islamophobes”.
Sekarang ini, para Islamophobes kian bertambah jumlahnya. Mereka memanfaatkan beragam media massa, mulai dari media cetak, media elektronik, media sosial sebagai instrumen untuk melancarkan misi mereka merusak dan mencemarkan nama baik Islam. Dalam aksinya mereka aktif melakukan manipulasi dan distorsi terhadap Islam, tujuannya agar citra agama samawi ini identik dengan agama bar-bar, berwajah seram, penuh kebencian dan pendendam.
Bukan cuma itu, bahkan disinyalir mereka terus mengkampanyekan bahaya internasional baru yang mereka namakan “Islamofasisme”. Upaya ini sengaja mereka lakukan dalam rangka membentuk opini sesat bahwa Islam adalah agama yang akrab dengan kekerasan, pertumpahan darah, irrasional, anti modernitas dan sebagainya. Target utama mereka tidak lain adalah berupaya membangun opini sesat bahwa Islam membenci kemanusian dan cenderung anti peradaban.
Bahkan di dunia Barat, terutama di AS dan Eropa, aktivitas gerakan Islamiphobia sudah menjadi sebuah industri, yaitu “Industri Islamophobia”. Sebuah sumber resmi (Young Turkish) sempat mengungkap bagaimana uang sebesar 42 juta dolar telah dibelanjakan oleh lembaga-lembaga pembenci Islam internasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Para Islamophobes yang menerima bantuan dana tersebut terdiri dari pelbagai latarbelakang profesi, mulai dari akademisi, orientalis, jurnalis, pendeta, aktivis nGO dan sebagainya.
Sejarah Islamofobia
Bila kita kembali menilik sejarah, sebenarnya propaganda Islamophobia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejarah mencatat, fenomen Islamophobia sudah menyumbul di era Rasulullah SAW pada masa silam. Berbagai bentuk hinaan, ancaman hingga kekerasan menghantam perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Pernah terjadi sebuah peristiwa, ketika kafir Quraisy menghina Muhammad dengan menyebutnya sebagai orang yang gila dan tukang sihir. Kemudian perjalanan beliau ke Thaif mendapatkan teror berupa lemparan batu. Bahkan Rasulullah SAW mendapat ancaman pembunuhan oleh kaum kafir Quraisy sebelum hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Tidak hanya Rasulullah SAW saja yang mendapatkan perlakuan kasar dari kafir Quraisy. Bilal bin Rabah, salah satusahabat Rasulullah SAW ini juga pernah mendapatkan siksaan dari para majikannya kafir Quraisy. Semuanya merupakan bentuk aksi Islamophobia yang sengaja dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.
Islamofobia Internasional
Begitulah. Seiring perjalanan waktuk Islam terus tumbuh dan berkembang, namun tidak pernah sepi dari ancaman dan gangguan dari gerakan Islamophobia.
Namun di era sekarang propaganda itu kian canggih, terstruktur, sistematis dan masif. Sejarah mencatat, setelah terjadinya kekalahan tentara salib yang berulangkali dari tentara Islam dalam perang salib. Hingga kemudian pada abad 19 disusunlah sebuah perencanaan (konspirasi) yang kemudian dikenal dengan “Protocol of Zion” yang berisi 24 poin protocol yang pada awalnya memang ingin mewujudkan tatanan dunia baru (NovusOrdo Seclorum / New World Order) bagi Ras Yahudi. Protocol of Zion ini awalnya dicetuskan oleh Theodore Hertzl seorang peneliti yang ingin mewujudkan negara Yahudi Raya (Zionisme).
Dalam pertemuan lain, diadakan agenda “Konferensi al-Quds” yang mendatangkan para pemuka yahudi yang mendukung gerakan Zionisme. Dalam Konferensi al-Quds tersebut dicetuskan gagasan bahwa umat Islam harus dijauhkan dari Islam seperti apa yang diungkapkan salah satu tokohnya Samuel Zwemmer sebagai berikut :
“Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian, akan tetapi menjauhkan mereka dari agama mereka (al-Qur’an dan as-Sunnah) sehingga merekamenjadi orang-orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan) menjadi terpecah-belah dan jauh dari persatuan. Dengan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian.”
Diantara isu yang menjadi propaganda untuk menanamkan Islamophobia kepada masyarakat Internasional adalah permasalahan tentang terorisme Islam. Isu ini menjadi semakin popular dipicu oleh serangan 9/11 tahun 2001 yang (katanya) dilakukan oleh al-Qaeda terhadap gedung kembar Pentagon yang berada di Amerika Serikat. Pada saat itu, George W Bushmengatakan bahwa serangan 9/11 dipicu oleh gerakan terorisme Islam yang mempunyai jaringan Internasional.
Propaganda atas isu perlawanan terhadap terorisme global semakin gencar. Setelah reda propaganda tentang al-Qaeda.
Kemudian, beberapa tahun terakir ini masyarakat dibuat geger dengan kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) yang mengajak umat Islam Indonesia untuk bergabung melalui tampilan video di youtube. Kita sebagai umat Islam harus cerdas menanggapi isu ini. Ummat Islam Indonesia tidak boleh melakukan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah memberikan bantuan kemanusiaan dan berdoa kepada Allah SWT supaya memberikan pertolongan dan keselamatan saudara se-Iman Islam kita di wilayah timur tengah (khususnya palestina, suriah dan Iraq) yang saat ini sedang menghadapi konflik peperangan.
Pola penyebaran propaganda Islamophobia di setiap negara hampir sama, salah satunya yaitu dengan menciptakan ‘musuh-musuh’ yang berasal dari Islam di dalam tubuh negaratersebut. Seperti Israel yang mengatakan bahwa Hamas adalah teroris di Palestina. ISIS adalah musuh bersama di wilayah Iraq dan Suriah, Ikhwanul Muslimin (IM) yang dicap teroris oleh pemerintah kudeta militer Mesir. AKP Turki (Erdogan) yang sering mendapatkan opini negatif dari lawan poltiknya .
Islamofobia di Indonesia
Bila kita cermati, sesungguhnya Islamophobia di bumi Nusantara sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Misalnya ketika Tuanku Imam Bonjol beserta para pejuang Islam lainnya melawan penjajahan Belanda. Belanda menyebut Tuanku Imam Bonjol beserta para pejuang Islam lainnya sebagai para “ekstrimis”, “pemberontak” dan sebaginya. Padahal jelas, posisi Tuanku Imam Bonjol ini adalah sebagai masyarakat pribumi yang mempertahankan kedaulatan tanah airnya.
Kaum kolonial Belanda juga mendapat perlawanan dari para pejuang Islam di berbagai wilayah tanah air, dan lagi-lagi mereka dicap sebagai ekstrimis.
Di era pasca kemerdekaan, muncullah perbedaan cara pandang dalam hal berpolitik antara pejuang kemerdekaan yang menganut paham nasionalis-sekuler dengan nasionalis-Islam. Perbedaan cara pandang ini juga sempat mengakibatkan perpecahan dalam tubuh umat Islam (masyarakat) Indonesia.
Setelah proklamasi dikumandangkan, awalnya masyarakat Indonesia bisa bersatu untuk melawan penjajah belanda melakukan agresi militer kembali wilayah republik ini. Namun kemudian perbedaan cara pandang politik semakin terlihat jelas di tengah perdebatan terkait dasar negara Indonesia. Kalangan nasionalis-sekuler tetap menginginkan negara ini netral dari keberadaan agama. Sedangkan dari kalangan nasionalis-Islam menginginkan negara ini berdasarkan asas Islam seperti yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta. Perdebatan kemudian berakhir dengan diakhirinya sidang konstituante yang kemudian berlanjut dengan dekrit PresidenSoekarno yang menginginkan negara ini berdasarkan atas tiga asas : Nasionalisme, Agama dan Komunisme (NASAKOM).
Kemudian, selang tak lama setelah itu Partai Masyumi dibubarkan oleh rezim Orla karena dianggap mengancam keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hingga kemudian kepemimpian beralih dari zaman orde lama menuju orde baru.
Pada era Orba, adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahwa hak-hak politik umat Islam dikebiri oleh pemerintah Soeharto dengan cara membubarkan semua partai politik yang berlandaskan Islam dan menggantinya dengan satu partai saja yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Awalnya partai yang diklaim sebagai representasi ummat Islam ini berlambang ka’bah, kemudian dipaksa berganti lambang menjadi gambar bintang setelah diberlakukannya Asas Tunggal Pancasila.
Di tengah tekanan, umat Islam selalu berusaha bertahan menghadapi tantangan. Orde baru mulai melunak dan beranjak menunjukkan kedekatannya dengan Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan Bank Syariah pertama di Indonesia (Bank Muamalat) pada awal tahun 1990-an. Pembangunan masjid-masjid ‘pancasila’ oleh Soeharto juga mendapatkan sambutan yang cukup bagus oleh masyarakat meskipun pada saat itu hak-hak politik umat Islam di Indonesia masih mendapatkan pengawasan yang cukup ketat. Terbukti ditahun-tahun tersebut, setiap ada pertemuan kajian Islam harus melaporkankegiatannya kepada pihak yang berwenang (Polisi dan Militer).
Selanjutnya, pada tahun 1998 bangsa ini memasuki era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim pemerintahan otoriterian Orba di bawah kepemimpinan Soeharto yang berkuasa selam 32 tahun . Semua keran ‘kebebasan’ terbuka luas. Gerakan reformasi merupakan sebuah gerakan perubahan yang dimotori oleh sejumlah tokoh Islam, seperti Amien Rais yang dikenal dengan bapak reformasi. Dengan demikian gerakan reformasi ini tentunya juga bermakna sebagai momentumkebangkitan bagi ummat Islam negeri ini.
Maka sebagai implikasinya, ternyata bukan cuma kalangan ummat Islam saja yang memanfaatkan gerakan reformasi sebagai wadah untuk aktualisasi diri. Kelompok-kelompok anti Islam pun juga ikut menyelinap dan menyusup ke dalam gerbong gerakan reformasi. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, ada indikasi justru mereka telah berhasil membajak dan mensabotase gerakan reformasi dan menjadikannya sebagai instrumen untuk melancarkan agenda kebencian mereka terhadap Islam.
Parahnya, ada indikasi gerakan Islamophobia di republik ini dalam perkembangan terakhir justru dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari internal Islam sendiri. Di Indonesia, tokoh-tokoh “bayaran” yang melakukan propaganda yang berlawanan dengan Islam tersebut tergabung dalam sejumlah lembaga dan organisai yang berideologi liberal. Mereka bertugas untuk menyebarkan opini-opini berlawanan dan negatif terhadap Islam. Tak jarang opini ini pun kemudian berputar-putar dan selaludiulang-ulang. Seperti pelecehan terhadap al-Qur’an, netral agama, kesetaraangender, LGBT (Lesbian, Gay, Bisksual & Transgender), nikah beda agama, pemisahan agama dengan kegiatan sosial-politik, pembusukan citra gerakan Islam dan lain sebagainya. Isu-isu itu sampai saat ini masih terus mereka “goreng” dan propagandakan. Mereka juga tidak segan-segan mendukung agenda musuh-musuh Islam serta menjelek-jelekkan Islam dan umat Islam.
Bukan cuma itu, ada indikasi gerakan Islamophobia juga mendapat dukungan dari sejumlah oknum rezim penguasa negeri ini. Hal itu dapat dilihat dari sikap memihak dan ketidakadilan pemerintah terkait perbagai kasus yang menyangkut ummat Islam. Dan semua itu sepertinya cukup menegaskan betapa rezim penguasa negeri ini juga sudah terjangkit virus Islamophobia. Lihatlah, bagaimana sikap mereka yang memandang sinis Gerakan Bela Islam I (411), Gerakan Bela Islam II (121) beberapa tahun lalu dan menudingnya sebagai gerakan anti kebhinekaan, anti toleransi dan anti NKRI.
Penutup
Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya pernah mengingatkan kita semua, bahwa Islam muncul dari keterasingan dan akan kembali kepada kondisi keterasingan. Tentunya peringatan ini patut menjadi perenungan bagi kita umat Islam untuk terus memantabkan aqidah dan menjaga ukhuah Islamiyah guna selalu mewaspadai dan menyiasati gerakan Islamophobia yang pastinya tidak akan pernah hilang dan terus mengancam eksistensi Islam hingga akhir zaman nanti. (*)