TAJDID.ID~Medan || Terungkapnya dugaan penyelewengan dana donasi di Aksi Cepat Tanggap (ACT) ramai mendapat sorotan publik.
Terkait kasus ini, Ketua Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah Muhammadiyah (LAZISMU) Sumatera Utara, Muhammad Basir Hasibuan MPd mengungkapkan keprihatinannya dengan kondisi yang ada.
“Ya, tentu kita turut prihatin atas kondisi ini, tentu akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat luas terhadap lembaga filantropi,” ujar Basyir kepada tajdid.id, Selasa (5/6).
Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Sumut periode 2014 – 2018 ini berharap kasus ini menjadi i’tibar bagi seluruh yang bergerak di lembaga filantrofi, termasuk LAZISMU.
“Semoga ini menjadi i’tibar bagi kita yang bergerak di lembaga filantropi. Khusuus Lazis sebagai lembaga yg dipercaya mengelola ZIS berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik,” katanya.
Basir mejelaskan, di LAZISMU sendiri yang digaji itu eksekutif dan staf yang menangani pengumpulan dan pendayagunaan dana umat.
“Sesuai dengan mottonya ‘Menjadi Lembaga Zakat Terpercaya”, LAZISMU tetap menjadikan ladang amal bukan ladang untuk memperkaya diri,” sebutnya.
Basyir juga menjelaskan, bahwa ACT bukanlah lembaga zakat, tapi murni lembaga kemanusian.
“Kalau LAZISMU jelas mengacu pada Al Qur’an untuk dana zakat dan infaq, yaitu dari 8 asnaf itu yaitu dana Amil sebanyak 1/8,” tutupnya.
Seperti diketahui, ACT kini tengah menjadi perhatian publik terkait dengan berita investigasi majalah Tempo pada Sabtu lalu (2/7/2022) yang menyatakan adanya dugaan penyimpangan dana bantuan kemanusiaan di yayasan tersebut.
Kabar tersebut tentu cukup mengejutkan, karena selama ini ACT selalu ada dan terlibat dalam setiap kegiatan kemanusiaan, seperti di antaranya penggalangan dana untuk korban bencana alam.
Alhasil, ACT pun menjadi trending topic di Twitter. Tagar #janganpercayaACT pun berkumandang di media sosial. Warganet mengomentari hingga menduga jika ACT tidak melakukan tugasnya sesuai dengan visi dan misi ACT.
Lembaga yang seharusnya menyalurkan dana dari orang-orang dermawan yang tulus untuk membantu mereka yang kekurangan, malah diduga memperkaya dirinya dengan uang dari para donatur.
Kasus ACT ini juga mendapat tanggapan dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Nashir Efendi. Ia menyerukan kepada seluruh kader IPM maupun persyarikatan Muhammadiyah yang lebih memilih ACT daripada Lazismu untuk berhenti aktif di lembaga ACT, baik itu menjadi relawan atau karyawan.
“Sudah ada beberapa report sebelum Tempo yg menjelaskan soal kebobrokan ini,” jelas Nashir melalui akun media sosialnya.
Kekhawatiran Nashir mengenai ACT ini dimulai saat ia masih beradai di Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Nashir ketika itu melakukan mini riset utk kebutuhan Materi Musyawarah Wilayah IPM Jawa Timur. Menurut riset yang telah ia dan tim lakukan, masih ada 8% yg masih memilih ACT.
“Diperkirain sekarang naik melihat trend kesalehan hibrida muslim muda yang semakin meningkat. Saya khawatir ACT nantinya lebih dikenal daripada Lazismu,” terang Nashir.
Lebih lajut Nashir berpendapat, menyalurkan donasi ke Lazismu tidak akan mengurangi keber-Islam-an atau peduli dengan minoritas Muslim lainnya. Justru menurut Nashir, kita tidak perlu khawatir dengan menyalurkan donasi ke Lazismu yg menggunakan label Muhammadiyah, sebab MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) bersama Lazismu jauh 10 kali lebih cepat tanggap daripada ACT itu sendiri.
Nashir menyoroti fenomena bahwa dalam sepuluh terakhir ini banyak kajian gerakan filantropi Islam yang menggeliat di Indonesia. Tempo melihat sisi lain, konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) dari geliat dan menjamurnya fenomena ini. Menurut Nashir, tentu ada efek samping yang belum ter/diantisipasi dari fenomena ini.
“Sisi yang menarik dikritisi dan harusnya tidak boleh terjadi, meski ini juga akan menguatkan rencana pemerintah menerbitkan UU untuk mengawasi aktivitas filantropi umat Islam, yang secara administrasi dan birokrasi tentu akan sedikit merepotkan kalo sudah dalam kuasa kontrol pemerintahan,” tutup Nashir.
Tanggapan ACT
Menanggapi laporan Majalah Tempo soal masalah yang melilit lembaganya, Presiden ACT, Ibnu Khajar mengakui bahwa sebagian dari laporan tersebut benar, namun tak seluruhnya.
“Kami mewakili ACT meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat, mungkin beberapa masyarakat kurang nyaman terhadap pemberitaan yang terjadi saat ini,” kata Ibnu dalam konferensi pers di kantor ACT, Menara 165, Jakarta Selatan pada Senin, 4 Juli 2022.
“Kami sampaikan, beberapa pemberitaan tersebut benar, tapi tidak semuanya benar,” imbuhnya.
Majalah Tempo edisi pekan ini menurunkan laporan dengan judul “Kantong Bocor Dana Umat”. Dalam laporannya, mereka menemukan terjadinya penyelewengan dana lembaga, gaji tinggi dan fasilitas mewah yang diterima oleh mantan petinggi ACT, Ahyudin, hingga masalah pemotongan dana dan mandeknya sejumlah program. Ada juga pemotongan gaji karyawan yang disebut akibat dari masalah keuangan lembaga filantropi tersebut.
Ibnu menyatakan gaji pimpinan tertinggi lembaganya tidak sampai sebesar yang dilaporkan Majalah Tempo, sebesar Rp 250 juta.
“Pimpinan tertinggi saja tidak lebih 100 juta. Jadi kalau disebut Rp250 juta, kami tidak tahu datanya dari mana,” tuturnya.
Ia menjelaskan, rata-rata biaya operasional Aksi Cepat Tanggap termasuk gaji para pimpinan pada 2017 hingga 2021, adalah 13,7 persen. “Rasionalisasi pun kami lakukan untuk sejak Januari 2022 lalu. Insya Allah, target kami adalah dana operasional yang bersumber dari donasi adalah sebesar 0 persen pada 2025,” kata lbnu.
Soal fasilitas tiga mobil mewah untuk Ahyudin, Ibnu membenarkan pihaknya memang sempat membelinya. Namun, dia menyatakan bahwa mobil tersebut kini telah dijual. Dia juga menyatakan bahwa mobil tersebut digunakan untuk operasional.
“Kendaraan dibeli tidak untuk permanen, untuk tugas-tugas. Saat lembaga membutuhkan alokasi dana kembali seperti sekarang ini, otomatis dijual. Jadi bukan untuk mewah-mewahan, gaya-gayaan,” tuturnya.
Dia juga mengklaim kondisi keuangan ACT dalam kondisi baik. Ibnu membantah bahwa keuangan mereka limbung.
“Laporan keuangan sejak 2005 sampai 2020 yang mendapat predikat WTP kami sudah publikasikan di web kami, sebagai bagian dari transparansi keapda publik. Kalau ada penyelewengan enggak mungkin kan auditor mengeluarkan WTP?,” tuturnya. (*)