Site icon TAJDID.ID

Ekspresi Islamofobia pada Masyarakat Mayoritas Muslim

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Beberapa waktu yang lalu viral video Jozeph Paul Zhang yang selain mengaku sebagai nabi ke-26 juga melakukan penistaan terhadap Islam. Kemudian tak kalah menghebohkan adalah munculnya pendeta Saifudin yang melontaran pernyataaan-pernyataannya yang penuh kebencian dan melecehkan  Islam.

Selama ini bentuk-bentuk perbuatan penistaan terhadap Islam di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua jenis.

Pertama, penistaan yang dapat dipahami sebagai ketidak-tahuan atau keawaman belaka. Risikonya tak begitu besar dan umumnya kaum muslimin di Indonesia tidak begitu bereaksi. Tetapi tetap saja menjadi pertanyaan, mengapa orang begitu berani menista Islam di Indonesia?

Kedua,penistaan bertujuan dengan dilatarbelakangi oleh kebencian dan tidak tertutup kemungkinan bertujuan politik tertentu sekaligus.

Baik kategori pertama maupun kategori kedua tidak selalu dapat diselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku dan sudah begitu kerap menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Keresahan itu selalu potensial menjadi pupuk bagi proses radikalisasi bersasaran ganda.

Pertama, kemerosotan kepercayaan dan kewibawaan pemerintah di mata umat. Kedua, potensi kemunculan tindakan-tindakan “main hakim sendiri” yang pada gilirannya sekaligus akan mengukir kesan bahwa umat Islam Indonesia tidak toleran, beringas dan hidup dengan agenda amuk. Juga akan sangat mendekatkan umat Islam Indonesia kepada status sebagai tertuduh pelaku teroris berjejaring (ISIS dan sebagainya) maupun apa yang kerap diseut lone wolf (terorisme mandiri dan sakitjiwa). Karena hal terakhir ini menjadi ranah spesifik negara, umat dan seluruh rakyat tidak beroleh informasi yang diperlukan atas kebenaran setiap kejadian.

Bersambung (hal 2)

 

Jika ditelaah secara empiris, fenomena ini berakar pada menguatnya Islamofobia. Islamofobia tidak hanya fenomena ajeg di dalam komunitas masyarakat Barat atau di negara-negara yang di dalamnya muslim menjadi minoritas.

Memang, selama ini perhatian atas fenomena Islamofobia di negara mayoritas berpenduduk Muslim jarang menjadi perhatian, baik oleh para akdemisi apalagi oleh pengambil kebijakan.

Salah satu naskah yang sangat kuat menggambarkan fenomena ini untuk Indonesia ialah disertasi yang ditulis oleh Husnul Aqib Suminto berjudulIslamic Politics of the Dutch East Indies (1985) dan sudah diterjemahkan menjadi Politik Islam Hindia Belanda.

Enes Bayrakli dan Farid Hafez memiliki karya pelopor tentang masalah ini yang berusaha dengan pendekatan interdisipliner menyorot tajam aspek sosial-politik dan sejarah Islamofobia yang amat khas dan luput dari perhatian itu dalam buku mereka Islamophobia in Muslim Majority Societies. Edisi perdana diterbitkan oleh Routledge pada tahun 2019.

Selain pengantar ringkas dari editor (Enes Bayrakli dan Farid Hafez), buku ini berisi 12 tulisan: pertama, Making sense of Islamophobia in Muslim societies (Memahami Islamofobia dalam Masyarakat Muslim) ditulis oleh Enes Bayraklı, Farid Hafez dan Léonard Faytre. Kedua, Religion-building and Foreign Policy (Pembangunan Agama dan Kebijakan Luar Negeri) oleh Hatem Bazian. Ketiga, Islamophobia in the Contemporary Albanian Public Discourse (Islamofobia dalam Wacana Umum Albania Kontemporer) oleh Rezart Beka. Tulisan keempat Post-coloniality, Islamization and Secular Elites: Tracing Islamophobia in Pakistan (Era Pasca Kolonial, Islamisasi dan Elit Sekuler: Menelusuri Islamofobia di Pakistan) oleh Syed Furrukh Zad Ali Shah. Kelima, The politics of Islamophobia in Turkey (Politik Islamofobia di Turki) yang ditulis oleh Ali Aslan. Keenam, Islamophobia in Satirical Magazines: A Comparative Case Study of Penguen in Turkey and Charlie Hebdo in France (Islamophobia dalam Majalah Satir: Studi Kasus PerbandinganPenguen di Turki dan Charlie Hebdo di Prancis) oleh Müşerref Yardım dan Amina Easat-Daas).

Tiga tulisan yang mengkhususkan pembahasan tentang perikeadaan di Mesir masing-masing berjudul: (ketujuh) Paradoxical Islamophobia and Post-Colonial Cultural Nationalism in Post-Revolutionary Egypt (Paradoks Islamofobia dan Nasionalisme Kebudayaan Pasca-Kolonial di Mesir Pasca-Revolusi) oleh May Kosba; kedelapan, Old Wine in New Bottles: Secularism and Islamophobia in Egypt (Anggur Tua dalam BotolBaru: Sekularisme dan Islamofobia di Mesir) oleh Deina Abdelkader dan kesembilan, Internalized Islamophobia: The Making of Islam in The Egyptian Media (IslamofobiaTerinternalisasi: Penggambaran Islam oleh Media Mesir) oleh Sahar Elzahed.

Tulisan Mohamed Nawab Osman (kesepuluh) khusus membahas keadaan di sebuah negara tetangga dengan judul The Confluence of Race and Religion in Understanding Islamophobia in Malaysia (Pertemuan Ras dan Agama dalam Memahami Islamofobia di Malaysia). Dua tulisan terakhir mendeskripsikan keadaan di dua benua, (kesebelas) Securitization of Islam in Contemporary Ethiopia (Sekuritisasi Islam di Ethiopia Kontemporer) oleh Jemal Muhamed, dan keduabelas, Islamophobia from Within: A Case Study on Australian Muslim Women (Islamofobia dari Dalam: Studi Kasus Perempuan Muslim Australia) yang ditulis oleh Derya Iner dan Katy Nebhan.

Sayang sekali memang, meski judulnya Islamophobia in Muslim Majority Societies, buku ini sama sekali tidak menyertakan satu tulisan pun mengenai keadaan di Indonesia yang selama ini diangga psebagai salah satu negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Bagi pembaca yang berminat memiliki buku ini dapat mengakses cuma-cuma pada situs libgen.rs.

Bersambung (hal 3)

Islamofobia dan Sistem Dunia

Islamofobia di dunia Muslim dan di dunia Barat harus diakui sama-sama berasal dari latarbelakang ideologis dan epistemologis yang sama sebagaimana selalu terlihat dari kesamaan wacana Islamofobia dan perdebatan berkepanjangan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Barat. Hanya konteks sejarah, sosial, demografi, dan politik pada masing-masing masyarakat itu yang berbeda.

Rasisme anti-Muslim tidak hanya dihasilkan oleh hubungan mayoritas-minoritas, tetapi juga dari hubungan kekuasaana ntara kelompok yang kuat (powerfull) dan yang tidak berdaya (powerless). Hal ini lazim diperparah oleh perpecahan ideologis dan politik antara elit Muslim sekuler yang kebarat-baratan dan massa Muslim konservatif. Seorang Muslim bisa menderita penyakit Islamofobia sebagaimana fenomena self hating Muslim (tragedi Muslim yang membenci diri sendiri).

Islamofobia yang berbeda dan terfokus secara historis dalam masyarakat mayoritas Muslim dengan menempatkan Islamofobia terutama sebagai proses yang muncul dan dibentuk oleh wacana hegemoni Eurosentriskolonial yang berasal dari akhir abad ke-18, yang juga menekankan peran internalisasi oleh elit pasca-kolonial.

Karena itu selain telaah sejarah yang sahih, disarankan untuk melihat Islamofobia melalui lensa teori sistem dunia, rasisme epistemik, dan sekularisme. Tokoh-tokoh di dunia Muslim kerap mengalami apa yang disebut sebagai tragedi “Orientalisasi Diri” dan “Westernisasi Diri”, yakni bagaimana beberapa segmen masyarakat Muslim menyatakan identitas mereka, tradisi mereka dan pandangan dunia mereka sendiri yang justru melalui pandangan asing, yaitu orientalisme Barat yang sekularistik atau bahkan ateistik.

Proses inilah yang menjadi jawaban atas kemungkinan terjadinya fenomena jamak berupa kebencian pada diri sendiri oleh Muslim (self hating Muslim) yang ditengarai tidak hanya berakar pada penjajahan, tetapi lebih umum lagi dalam perjumpaan dengan Barat sekuler-modern khususnya yang terjadi begitu dahsyat pada pergantian abad ke-19.

Bersambung (hal 4)

 

Negasi Politik Identitas Islam

Akirnya seluruh dunia adalah rumah bagi Islamofobia, tak terkecuali negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Barat dianggap sebagai satu-satunya tradisi pemikiran yang sah yang mampu menghasilkan pengetahuan dan satu-satunya yang memiliki akses keuniversalitas, rasionalitas, dan kebenaran.

Pengorbitan elit politik Muslim berpendidikan Barat menjadi jalan untuk perumusan regulasi Islam di banyak negara Muslim sebagai cara mengatur identitas yang dianggap sebagai ancaman bagi negara-bangsa. Sebagaimana Salman Sayyid (2014, hlm 8) pernah berucap, tantangan menjadi Muslim saat ini adalah tidak ada ruang epistemologis atau politis untuk identitasnya dan Islamofobia adalah urusan tentang membuat identitas politik Muslim tidak mungkin ada.

Masuknya Islam dalam epistemologi Barat dipandang sebagai sebuah konsep yang akan menggoyahkan tatanan kolonial dan identitas politik Kristen, seperti PartaiDemokrat Kristen Angela Merkel, dapat dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari tatanan politik saat ini, sedangkan ini tidak terjadi atas nama identitas politik Islam.

Rasisme anti-Muslim adalah tindakan bersifat struktural dan dapat bekerja tanpa disadari, yang menjadi bagian dari wacana yang mencerminkan politik identitas esensialis dan reduksionis dari rekan-rekan Barat mereka yang melahirkan konflikasi metris antara yang kuat (powerfull) berhadap-hadapan dengan yang tidak berdaya (powerless). Fenomena lain dalam interaksi ini tak dapat dibantah seringnya termanifestasi dalam berbagai cara permusuhan tak terdamaikan antara elit Muslim yang sekuler dan kebarat-baratan berhadap-hadapan dengan massa Muslim konservatif.

 

Reproduksi Sistem Kolonial

Dalam Colonial and Post-Colonial Governance of Islam: Continuities and Ruptures, Maussen, Bader dan Moors (2011, hlm 18) berusaha menelusuri kebijakan negara pasca-kolonial terhadap Islam yang mereproduksi pengalaman kolonialis.

Pertama, regulasi pendidikan agama dan otoritas keagamaan.

Kedua, ada pengaturan dan praktik kelembagaan yang bertujuan untuk mengatur properti dan fasilitas.

Ketiga, otoritas dalam konteks kolonial dan pascakolonial berkontribusi untuk mengatur hubungan antara Islam, hukum dan kehidupan sosial. Ini termasuk pengakuan dan/atau kodifikasi hukum Islam dan keseimbangan klaim hukum berbasis agama dengan system hukum adat.

Keempat, ada upaya untuk menciptakan, mengenali dan mungkin melembagakan platform organisasi untuk berbicara untuk Islam dan populasi Muslim, misalnya, dalam bentuk dewan Muslim.

Banyaknya keluhan tentang kriminalisasi ulama di Indonesia akan selalu menjadi perdebatan yang sengit karena dimensinya berayun antara hukum dan politik. Karena elit begitu khawatir dengan potensi Islam politik, maka berbagai fenomena yang menyedihkan akan terus terjadi.

Penting menjadi agenda untuk dijawab bersama oleh umat Islam dan para pengambil kebijakan, di antaranya:

Pertama, bagaimana rasisme anti-Muslim memainkan peran penting dan menentukan justru di dalam masyarakat yang didominasi oleh populasi Muslim seperti Indonesia?

Kedua, bagaimana rasisme anti-Muslim itu secara signifikan berperan penting dalam penentuan kebijakan publik dan dalam proses berkelanjutan klaim-klaim atas ideologi negara yang sekaligus mengundang pertikaian datar maupun berjenjang?

Ketiga, bagaimana rasisme anti-Muslim itu menentukan tata hubungan elit-massa?

Keempat, bagaimana orientasi media di negara-negara berpopulasi mayoritas Muslim itu bekerja sangat efektif memompa semangat rasisme anti-Muslim?

 

Penutup

Jika semua itu sudah dapat dijawab dengan baik, tak akan ada lagi penistaan model apa pun terhadap Islam, termasuk model yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang dan Pendeta Saipudin.

Yakinlah keberanian dari apa yang selama ini disebut buzzeRP dan kalangan pemberi tuduhan negatif seperti Kadal Gurun (Kadrun), terosis dan lainnya akan sertamerta sirna jika umat Islam dan pemerintah mampumenjawab empat pertanyaan yang disebutkan pada bagian sebelum ini, di atas. (*)


Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut, Koordinator n’BASIS

Exit mobile version