Site icon TAJDID.ID

Premanisme dalam Tubuh Ikatan

Ilustrasi.

Oleh: Rahmi Syafina

Sekretaris Umum IMM Kota Medan Periode 2020-2021

 

Tulisan ini sengaja ditulis sebagai kepedulian terhadap ikatan yang semakin tua, semakin banyak mimpi yang harus dituntaskan. Bukan prihal jabatan atau hanya kedudukan tetapi banyak lagi yang harus dipedulikan dan dikerjakan. Tulisan ini juga sebagai refleksi diri yang telah bergabung di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini.

Tidak asing kata premanisme didengar oleh kita. baik kalangan internal IMM maupun diluar IMM sendiri. Orang lebih banyak melihat preman dari arti katanya yakni free man (manusia bebas). Kemudian free lebih diartikan kepada sikap, kehendak atau istilah awam “semau aku”. Bebas menghukum orang, bebas merusuh, bebas memilih keputusan dan bebas-bebas lainnya.

Saya kira disini pula oknum preman itu lahir. Dia tidak lahir secara statik. Tetapi dia akan lahir kapan saja. Tergantung sikap dan perbuatannya saat itu. Artinya dalam sehari, seseorang bisa dilahirkan kembali dalam subjek yang berbeda-beda. Setelah lahir sebagai preman, sejam kemudian menjadi orang lain, sejam lagi menjadi haji, dan seterusnya (semau aku). Hal ini bisa kita temukan bukan saja di warung, cafee, pinggir jalan dan sebagainya. Bahkan kita bisa ketemukan di Kampus, di Kantor, di Gedung DPR, di Istana, di Pos Polisi, bisa kita temuka di mana-mana.

Premanisme juga hadir sebagai alat menjadi jagoan. Hal inilah, bisa menjadi sebuah kebiasaan yang di ciptakan untuk momen-momen tertentu. Nah dalam moment tersebut. kader-kader IMM sedikit banyaknya sudah melakukan strategi premanisme sebagai alat dalam berkuasa.. Memberi efek takut, berlagak kuat dan jago dalam bertarung. Sampai tidak memikirkan efek negatif dari hal yang dilakukan. Kejadian-kejadian itu ada terjadi baik di tingkat pusat sampai komisariat.

Kejadian seperti itu yang sangat disayangkan bagi kader-kader lainnya yang tidak suka dengan dinamika yang mengakibatkan kekerasan. Dinamika yang mengakibatkan konflik tentu saja boleh dilakukan. Tetapi kita bisa mengemas hal tersebut tetap dengan semboyan kita “Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual”.

Ketika dinamika itu terus dan tetap dilakukan maka akan menambah kebiasan baru bagi kader IMM itu sendiri. Dengan mengucap “ohh biasa, namanya musyawarah. Lempar kursi, lempar batu gak?”

Konsep habitus disini diambil dari pemikiran sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu. Habitus atau kebiasaan adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu.

Habitus juga merupakan produk historis menciptakan tindakan individu dan kolektif, dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Dalam bahasa lain, terbentuknya habitus terjadi dalarn lingkaran berupa gerak timbal balik antara struktur objektif yang dibatinkan dan gerak subjektif (persepsi, pengelompokkan, evaluasi) yang menyingkap hasil pembatinan. Di sini individu membuka dan melatih dalam hubungan-hubungan sosial dan mengasimilasi norma¬norma, nilai-nilai, dan keyakinan suatu masyarakat.

Dalam konteks inilah premanisme akhimya menjadi habitus dalam tubuh IMM, artinya berperan sebagai prinsip penggerak pemikiran dan pengatur praktik-praktik hidup dan representasi anggotanya. Alhasil habitus sebagai etos terbentuk dan dalam kategori ini tidak ada lagi ukuran norma dan moralitas. Jago yang tadinya memiliki nilai-nilai positif menjadi terdegradasi.

Premanisme merupakan gejala sosial, bukannya individual. Berangkat dari teori modernisasi yang mengasumsikan bahwa situasi chaos yang memunculkan premanisme merupakan fenomena pada periode transisi. Teori modernisasi ini berangkat dan teori evolusi dan fungsionalisme serta konsep Emile Durkheim tentang perkembangan masyarakat. Dilihat dari sejarahnya, premanisme di Indonesia selalu muncul sejak zaman kolonial Belanda sampai saat ini. Dan saat ini masih ada warisan penjajahan seperti premanisme dan kekerasan yang terus menerus dipelihara atau direproduksi.

Setalah saya sempat berpikir, kenapa sesama kader harus saling berantam dengan kekerasan mungkin karena mereka sadar betul dengan apa yang diungapkan Tomas Hobbes bahwa manusia itu sedianya (state of nature) selalu saling cakar mencakar, hommo homini lupus. Atau mereka paham betul doktrin-doktrin politik Machiavelli dalam Ill Principe. Tapi ternyata tidak. Mereka biasa berpolitik, namun tidak biasa memahami teori-teori politik.

Akhirnya menurut saya tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa kader IMM menyerupai preman. Mereka bisa melakukan apa saja demi jabatan tertentu. Tetapi tetap saya yakini bahwa, semua orang yang berebut kursi kekuasaan. Setelah mendapatkannya. Baik secara bener atau salah mereka akan tetap melakukan hal-hal terbaik lainnya.

Refleksi milad ini saya bukan ingin menyampaikan keburukan kader IMM, tetapi hanya menjadi pengingat bagaimana kita sebagai kader sudah ditugaskan untuk menjaga nama baik ikatan. Baik sesama kader IMM maupun diluar IMM sendiri. IMM tidak seksi lagi jika hanya digunakan untuk hal-hal yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu.

Tujuan kita tetap untuk umat Islam yang ketika menjadi kader dasar, kita didoktrin untuk taat dalam berbagai hal. Setelah perkaderan selesai. Tugas senior yang mendewasan pemikiran penerus-penerusnya. Beri yang terbaik, bukan memberikan ujaran kebencian yang dapat menimbulkan kebencian-kebencian lainnya yang mendarah daging. Hingga memunculkan parasit premanisme di dalam tubuh ikatan.

IMM punya rumah besar yaitu Muhammadiyah. Menjaga nama baik IMM, menjaga nama baik Muhammadiyah.

Selamat Milad ke 58 Ikatanku, terima kasih sudah memberikan pembelajaran yang hebat dan luar biasa. Tidak semua pembelajaran harus kita terapkan dan kita ulang. Mungkin ada sebagain pembelajaran itu sebagai pengingat kita, bahwa dalam berikatan, kita butuh simpul yang kuat untuk membuat semua utuh dan tak rapuh.

Kembalilah ke Trilogi IMM, boleh berretorika tapi tetap berlogika. Sesekali mengadakan diskusi bukan hanya aksi. Ingat bukan untuk formalitas tetapi rutinitas membanggun jati diri kader. Target utama kita tetap intelektualitas buka popularitas.

Dan yang pastinya cinta kita dalam berIMM ialah “memberi”. Seperti yang orang lain katakan, jangan tanya apa yang sudah diberikan IMM kepadamu, tapi bertanyalah apayang sudah kamu berikan ke IMM. Kita yang harus memberi, karena menurut Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi.

Semangat ber-fastabiqul khoirat. Mari kita junjung perdamian dalam setiap dinamika yang kita perbuat.

Exit mobile version