Boleh jadi, seumur hidupnya, Edmund Dene (ED) Morel tak pernah membayangkan bakal bekerja jadi seorang jurnalis. Apalagi menulis laporan-laporan yang kelak jadi berita besar dan membawa perubahan politik di sebuah negeri.
Akan tetapi praktik penindasan terhadap buruh-buruh perkebunan karet di Kongo telah mengubah jalan hidup laki-laki yang hidup antara tahun 1873 hingga 1924 itu menjadi wartawan investigatif dan aktivis politik yang konsisten membela kaum buruh.
Sejarah mencatat, sebelum jadi jurnalis, Morel awalnya bekerja sebagai pegawai maskapai perkapalan Inggris, Elder Dempster yang berbasis di Liverpool. Maspakai ini bukan hanya melakukan perdagangan antar negara, tapi juga antar benua.
Elder Dempster juga megang hak monopoli jalur kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Antwerp, Belgia, khususnya kapal yang hilirmudik antara Belgia dengan Kongo. Tugas Morel di maskapai itu adalah mengawasi proses bongkar-muat barang tiap kapal milik Elder Dempster yang pulang dan pergi ke Kongo.
Selama berdinas di Pelabuhan Antwerp, Belgia, Morel dikenal sebagai sosok pemuda yang tekun dan kompeten dalam pekerjaannya. Ia sangat hapal proses bongkar muat berikut isi muatannya.

Kisah penyelidikan Morel terhadap penindasan buruh di Kongo bermula dari amarahnya kala menjadi pegawai Elder Dempster. Suatu ketika, ia pernah protes kepada atasannya dan mendesak agar perusahaan tidak lagi terlibat dan mendukung praktik perdagangan seperti itu.
Diketahui, muatan kapal yang pulang dari Kongo adalah timbunan gading-gading gajah Afrika berukuran raksasa dan tumpukan karet dalam volume besar untuk menyuplai industri otomotif. Sementara muatan kapal saat berangkat ke Kongo adalah pasukan, senjata, amunisi, dan kebutuhan logistik tentara.
Bukannya mendengarkan peringatan yang disampaikan Morel, bosnya jutru menolak, karna nilai kontrak bisnis yang diterima maskapai itu cukup besar. Malah si bos menawarkan posisi dengan gaji tinggi jika Morel tetap bungkam.
Apa yang terjadi kemudian? Morel menolak tawaran itu. Bahkan ia memutuskan keluar dari pekerjaannya dan kemudian beralih jadi seorang jurnalis yang membongkar dan menyiarkan kasus besar itu kepada publik di Eropa.
Seperti terbakar amarah, Morel bahkan menerbitkan koran yang khusus memberitakan penindasan buruh di Kongo dan mendirikan organisasi Congo Reform Association. Inisiatif Morel mendapat dukungan sejumlah kolega dan pembacanya.
Laporan-laporan investigasi Morel dalam halaman utama majalah Speaker mendapat sorotan publik dan mendapat dukungan aktivis politik dan NGO.
Bahkan, gebrakan yang dilakukan Morel meninspirasi sejumlah wartawan lain untuk ikut mengungkap kasus penyiksaan yang memicu kematian massal terhadap buruh-buruh paksa perkebunan karet di Kongo. Konon, populasi penduduk di Kongo yg semula berjumlah 20 juta jiwa berkurang hingga tinggal separuhnya.
Dalam melakukan misi investigasinya, Morel dibantu oleh sejumlah misionaris yang melengkapinya dengan laporan saksi mata dan foto-foto kekejaman, seperti yang diberikan oleh orang Amerika William Morrison dan William Henry Sheppard,dan orang Inggris John Hobbis Harris dan Alice Harris .
Jutawan cokelat William Cadbury, seorang Quaker, adalah salah satu pendukung keuangan utamanya. Pemimpin sosialis Belgia Emile Vandervelde pernah mengiriminya salinan debat parlemen Belgia dan direkrut oleh Morel untuk berhasil membela misionaris Sheppard dan Morrison pro bono dalam gugatan pencemaran nama baik yang dibawa oleh Kasai Rubber Company.
Bahkan, kabarnya Morel juga memiliki hubungan rahasia dengan beberapa agen di Negara Bebas Kongo itu sendiri. Bahkan Gereja Inggris dan kelompok agama Amerika mendukungnya.
Pada tahun 1905 gerakan ini meraih kemenangan ketika Komisi Penyelidikan, yang dibentuk (di bawah tekanan eksternal) oleh Raja Léopold II sendiri, secara substansial mengkonfirmasi tuduhan yang dibuat tentang administrasi kolonial.
Dalam menghadapi tekanan publik dan diplomatik yang meningkat, pada tahun 1908 Kongo dianeksasi ke pemerintah Belgia dan ditempatkan di bawah kedaulatannya.
Meskipun demikian, Morel menolak untuk menyatakan berakhirnya kampanye sampai tahun 1913 karena dia ingin melihat perubahan nyata dalam situasi negara. Asosiasi Reformasi Kongo mengakhiri operasinya pada tahun 1913.
Berkiprah dalam dunia politik, Morel bekerjasama dengan Roger Casement memimpin kampanye melawan perbudakan di Negara Bebas Kongo, mendirikan Asosiasi Reformasi Kongo dan menjalankan Surat Afrika Barat. Dengan bantuan selebriti seperti Arthur Conan Doyle dan Mark Twain, gerakan tersebut berhasil menekan Raja Belgia Leopold II untuk menjual Negara Bebas Kongo kepada pemerintah Belgia, mengakhiri beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di bawah pemerintahannya.
Morel memainkan peran penting dalam gerakan pasifis Inggris selama Perang Dunia Pertama, berpartisipasi dalam pendirian dan menjadi sekretaris Persatuan Kontrol Demokratik, di mana ia memutuskan hubungan dengan Partai Liberal.
Pada tahun 1917, ia dipenjara selama enam bulan karena aktivisme antiperangnya, yang berdampak permanen pada kesehatannya.
Usai perang, ia mengedit jurnal Foreign Affairs, di mana ia dengan tajam mengkritik apa yang ia anggap sebagai agresi Prancis dan perlakuan buruk terhadap Blok Sentral yang kalah. Sebagai bagian dari kampanyenya melawan Prancis, ia menjadi pendukung Inggris terpenting dari kampanye Black Shame, yang menuduh pasukan kulit hitam Prancis melakukan kemarahan terhadap penduduk Rhineland yang diduduki.
Kemudian, Morel terpilih ke Parlemen pada tahun 1922 sebagai calon Partai Buruh, mengalahkan petahana Winston Churchill untuk kursinya, dan terpilih kembali pada tahun 1924, sekarat di kantor. Morel bekerja sama erat dengan Perdana Menteri masa depan Ramsay MacDonald dan dipertimbangkan untuk jabatan Menteri Luar Negeri, meskipun ia akhirnya hanya bertindak sebagai penasihat tidak resmi untuk pemerintah MacDonald. (*)
Note: Materi artikel ini dihimpun dari pelbagai sumber.