Site icon TAJDID.ID

Bantu Atasi Masalah Sampah, Universitas Muhammadiyah Mataram Gelar Seminara Nasional Disiminasi dan FGD

TAJDID.ID || Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) bekerjasama dengan Dunia Usaha dan Industri (DUDI) dalam rangka membantu pemerintah menyelesaikan permasalahan sampah sekaligus mengembangkan potensi pemanfaatan sampah menjadi sumber daya dan bahan baku industri yang dapat berkontribusi secara signifikan bagi pemulihan ekonomi baik lokal maupun nasional.

Oleh karen itu, pada Selasa (23/11/2021) Universitas Muhammadiyah Mataram mengadakan webinar bertajuk “Seminara Nasional Disiminasi dan FGD” dengan menampilkan beberapa marasumber yang berkompeten di bidang masing-masing. Salah satunya ketua devisi lingkungan hidup LLHPB PP ‘Aisyiyah Hening Parlan.

Mengusung tema “Konsep Sirkular Ekonomi dalam Mendukung Ekonomi Kreatif dan Pariwisata” Hening Parlan memulai pemaparannya dengan mengajukan pertanyaan, Mengapa sirkular ekonomi itu penting? Menurut dia, ada empat poin menjawab pertanyaan ini:

Pertama, ekonomi konvensional itu sifatnya memang degeneratif, alias merusak. Dengan desain yang mekanistik, pemikiran reduksionis, dan membagi apapun ke dalam bagian-bagian kecil yang seakan tak berhubungan.

Kedua,  ekonomi hijau, yang lebih sedikit kerusakan yang ditimbulkannya. Tetapi, tetap saja masih ada kerusakan.

Ketiga, ekonomi berkelanjutan, ditandai dengan tidak adanya dampak negatif sama sekali.
Keempat. Ekonomi Restoratif, bukan saja menghentikan segala kerusakan, melainkan mulai memerbaiki kerusakan yang sudah kita timbulkan di masa lalu.

“Ellen Mac Arthur Foundation merumuskan prinsip-prinsip Ekonomi Sirkular ada 3. Pertama, desainnya menghilangkan limbah dan polusi. (nir limbah). Kedua, produk dan materialnya dipastikan bisa terus dimanfaatkan. (pemanfaatan berkelanjutan). Ketiga, sistem alam yang dihasilkannya bersifat regeneratif.”papar Hening Parlan.

Menurut dia, Sirkular Ekonomi dalam Mendukung Ekonomi Kreatif dan Pariwisata sangat penting. Dilansir dari data Kementerian Pariwisata, tercatat pada 2014 jumlah wisman sebanyak 9,4 juta. Pada 2015 tercatat 10,4 juta. Tahun 2016 tercatat 11,5 juta. Tahun 2017 naik cukup signifikan menjadi 14,03 juta. Dan tahun 2018 tercatat sebanyak 15,8 juta. Masih dari sumber yang sama, per Januari 2019 tercatat 1.158.162 tamu asing berkunjung ke Indonesia.

“Data tersebut belum termasuk jumlah wisatawan domestik di Tanah Air. Hal ini menjadi bukti bahwa tingkat perekonomian pariwisata di Indonesia sangat besar.”ucapnya

“Namun, jika kita memperhatikan jumlah sampah yang dihasilkan, terjadi ketidakseimbangan. Dengan meningkatnya wisatawan, jumlah sampah juga akan meningkat. Secara kumulatif, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat tahun 2019 jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia sebesar 67,8 juta ton, meningkat dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 65,7 juta ton,” imbuhnya.

Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh tumpukan sampah maka dia menekankan perlu melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin.

“Faktor dasar yang menyebabkan sampah di TPA menumpuk setiap hari. Faktor tersebut antara lain kurangnya kesadaran masyarakat lokal dan wisatawan dalam membedakan dan mengklasifikasikan jenis sampah yang dibuang,” ujarnya.

Menurut Hening, ketidakmampuan membedakan jenis dan jenis pembuangan sampah dapat menghambat proses penguraian sampah. Mulai untuk mencegah faktor penyebab terjadinya penimbunan sampah mulai dari wisatawan dengan membedakan tempat sampah berdasarkan sifatnya.

“Setidaknya dengan begitu petugas kebersihan tidak akan kesulitan memisahkan sampah,” kata dia.

Namun hal tersebut menurut dia di lapangan mendapatkan tantangan. Pengembangan dan pengelolaan pariwisata akan menghadapi banyak tantangan keberlanjutan yang signifikan bagi pembuat kebijakan dan perencana. Padahal, tantangan pariwisata berkelanjutan adalah mengurangi dampak negatif dengan meningkatkan manfaat pariwisata ke arah yang benar.

“Misalnya, industri yang menguntungkan secara ekonomi dan berkelanjutan secara ekologis dapat memberikan pengalaman yang memuaskan bagi pengunjung dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat,” tuturnya.

“Tantangan mendesak lainnya mungkin termasuk konsumsi energi yang tinggi, limbah makanan, pengelolaan limbah secara keseluruhan, lingkungan bisnis yang lemah (terutama di negara berkembang), kekurangan tenaga kerja terampil, akses keuangan yang terbatas, dan tingkat investasi yang rendah.”imbuhnya. (*)

Kontributor: Iwan Abdul Gani

Exit mobile version