Site icon TAJDID.ID

Azmi Syahputra: Siapapun Bisa Di-OTT!

Azmi Syahputra

TAJDID.ID~Jakarta || Baru-baru ini, politisi PDIP, Arteria Dahlan menyampaikan pandangannya tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam penindakan hukum terkait kasus dugaan korupsi. Menurutnya, kegiatan OTT seharusnya tidak dilakukan, terutama kepada para penegak hukum seperti polisi, hakim, hingga jaksa.

Menanggapi pernyataan tersebut, Pakar Hukum Pidana Azmi Syahputra mengatakan,  bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dalam hukum (equality before the law), tanpa membedakan suku, agama, pangkat dan jabatan.

“Ini asas dalam hukum yang menekankan tidak ada seorang pun yang dikecualikan atau kebal hukum.  Apapun jabatannya termasuk polisi, jaksa dan hakim sekalipun,” ujar Dosen Hukum Pidana Universitas Tri Sakti ini, Sabtu (20/11/2021).

Azmi menegaskan, hukum itu diadakan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, bukan untuk memanifestasikan kekuasaan.  Bila kekuasaan itu tidak dipagari dengan rambu hukum, kata Azmi, maka akan menjadi keadilan yang liar.

“Jadi sepanjang seseorang tersebut, sekalipun pejabat hukum, bila melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang diancam pidana, maka orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya, termasuk pula bagi pelaku yang turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana,” tukas alumni Fakultas Hukum UMSU ini.

Lebih lanjut Azmi menjelaskan, tentang makna tertangkap tangan diatur oleh KUHAP dan ini berlaku bagi siapapun yang tertangkap pada saat melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian ditemukan alat bukti yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Menurut Azmi, OTT itu harus dimaknai sebagai represi kejahatan, suatu rule of law model . OTT masih diperlukan sekaligus menjadi proses penanggulangan kejahatan yang sebenarnya, karenanya tidak ada perbedaan atau pengecualian orang dalam pemberlakukan tertangkap tangan malah hukum acaranya memberikan mekanisme lebih mudah dalam penerapan hukum bagi pelaku yang di OTT.

“Jadi penegakan hukum tidak bisa terhalang oleh kualifikasi profesi atau jabatan pelaku dalam upaya mendorong penegakan hukum yang berkualitas. Malah dalam hukum pidana diatur bila kejahatan dilakukan oleh penegak hukum sanksinya lebih berat ditambah 1/3 dari ancaman maksimal,” sebut Azmi.

Jadi, kata Azmi,  bila ada wacana bagi aparatur hukum tidak bisa di OTT dengan alasan sebagai pejabat simbol negara, ini harus dihindari, sebab dikhawatirkan bisa-bisa aparatur hukum jadi “penjahat yang terselubung”, akan jadi pem-backing oknum-oknum yang bermufakat dalam sebuah kejahatan yang dibungkus pengamanannya melalui kewenangan jabatan atau kesempatan yang ada dalam jabatannya.

“Karena sebagaimana diketahui kekuasaan itu berpotensi, cendrung untuk disalahgunakan,” tutup Azmi. (*)

 

Exit mobile version