Aku
Karya: Nazik Al Malaikah
Malam bertanya siapa aku
Aku rahasianya yang penuh gundah nan kelam
Aku kebisuannya yang penuh pemberontakan
Kuselimuti hakekat diriku dengan ketenangan
Dan kusulut hatiku dengan keraguan
Aku pun menetap di sini dengan kesuraman
Aku menerawang sementara abad-abad bertanya padaku
Siapa aku?
Angin bertanya siapa aku
Aku ruhnya yang kebingungan diingkari zaman
Aku seperti dia tak pernah diam
Terus mengembara tak ada ujungnya
Terus melangkah tak ada hentinya
Tatkala kami sampai di tikungan
Kami akan mengira itu akhir penderitaan
Maka tak lain itu hanyalah sebuah kekosongan
Zaman bertanya siapa aku
Aku seperti dia, raksasa yang memeluk abad-abad
Dan kembali membangkitkannya
Aku menciptakan masa lalu yang silam
Dari pesona harapan yang menawan
Dan kembali menguburkannya
Agar dapat kujadikan tuk diriku hari kemarin yang baru
Dengan hari esoknya yang beku
Aku bertanya siapa aku
Aku seperti dia bingung menatap dalam kegelapan
Tak ada sesuatupun yang memberiku ketenangan
Aku terus bertanya dan jawabnya
Senantiasa diselubungi oleh fatamorgana
Aku terus mengira jawaban itu datang begitu dekat
Tetapi ketika kuraih, ia telah lumat
Hilang dan lenyap.
Lagu Cinta untuk Kata-kata
Karya: Nazik Al Malaikah
Mengapa kita takut dengan kata-kata?
ketika mereka telah menjadi tangan mawar,
harum, melewati pipi kami dengan lembut,
dan gelas anggur yang membesarkan hati
menghirup, suatu musim panas, dengan bibir yang haus?
Mengapa kita takut dengan kata-kata?
ketika di antara mereka ada kata-kata seperti lonceng yang tidak terlihat,
yang gemanya mengumumkan dalam kehidupan kita yang bermasalah
datangnya periode fajar yang mempesona,
basah kuyup dalam cinta, dan kehidupan?
Jadi mengapa kita takut dengan kata-kata?
Kami menikmati dalam diam.
Kami terdiam, takut rahasia itu akan membuka bibir kami.
Kami berpikir bahwa dalam kata-kata meletakkan hantu yang tak terlihat,
berjongkok, tersembunyi oleh huruf-huruf dari telinga waktu.
Kami membelenggu surat-surat yang haus,
kami melarang mereka menyebarkan malam untuk kami
sebagai bantal, meneteskan musik, mimpi,
dan cangkir hangat.
Mengapa kita takut dengan kata-kata?
Diantaranya adalah kata-kata manis yang halus
yang surat-suratnya telah menarik kehangatan harapan dari dua bibir,
dan lain-lain itu, bersukacita dalam kesenangan
telah mengarungi kegembiraan sesaat dengan dua mata mabuk.
Kata-kata, puisi, lembut
berbalik untuk membelai pipi kami, terdengar
bahwa, tertidur dalam gema mereka, terletak warna yang kaya, gemerisik,
semangat rahasia, kerinduan tersembunyi.
Mengapa kita takut dengan kata-kata?
Jika duri mereka pernah melukai kita,
kemudian mereka juga melingkarkan lengan mereka di leher kita
dan menumpahkan aroma manis mereka pada keinginan kita.
Jika surat mereka telah menembus kita
dan wajah mereka berbalik tanpa perasaan dari kami
Kemudian mereka juga meninggalkan kami dengan oud di tangan kami
Dan besok mereka akan menghujani kita dengan kehidupan.
Jadi tuangkan kami dua gelas penuh kata-kata!
Besok kita akan membangun sarang mimpi kata-kata,
tinggi, dengan ivy tertinggal dari huruf-hurufnya.
Kami akan menyuburkan kuncupnya dengan puisi
dan menyirami bunganya dengan kata-kata.
Kami akan membangun balkon untuk mawar pemalu
dengan pilar yang terbuat dari kata-kata,
dan aula yang sejuk dibanjiri naungan yang dalam,
dijaga oleh kata-kata.
Hidup kita telah kita dedikasikan sebagai doa
Kepada siapa kita akan berdoa. . . tapi untuk kata-kata?
Dari “Sebuah Lagu untuk Umat Manusia”
Karya: Nazik Al Malaikah
Reruntuhan yang menumpuk menceritakan kisah yang hanya didengar oleh bayangan dan hantu.
Mereka menceritakan lagu-lagu yang pernah melayang di antara pilar-pilar ini,
melalui ruang tamu tenggelam dalam kehangatan dan mimpi.
Mereka ingat tangisan kegembiraan, garis dan melodi mabuk
terjun ke dalam kenikmatan yang luar biasa
dimana misteri kecantikan, pemuda sembrono, godaan cinta
berbaring tidur—
Pembuluh darah kehidupan telah mengering di sini
Yang tersisa hanyalah kenangan tanpa nada.
Reruntuhan yang menumpuk menceritakan kisah yang hanya didengar oleh bayangan dan hantu.
Mereka menceritakan tentang mereka yang kembali dari perang sebagai sisa-sisa,
hanya pecahan, segenggam luka
menyanyikan lagu kematian,
mengisi udara dengan mazmur setelah mazmur dingin—
Bagaimana tahun-tahun kekurangan membayangi
di atas mata mereka, bibir mereka,
gema langkah kaki mereka yang jatuh
mengisi udara seperti lonceng kematian
saat mereka menyanyikan lagu kekacauan mereka,
hitam, lagu-lagu pemakaman mereka.
Apakah ada secercah cahaya
di balik rahasia pucat mata yang sunyi ini?
Cerita tentang malam-malam yang berlalu perlahan
dan salju yang tebal dan lebat?
kesedihan tanpa tidur di mata para penjaga
yang terus berjaga di parit berdarah
sementara malam menumpahkan salju di kelopak mata mereka
dan mereka kehilangan perasaan di kaki mereka?
Mereka mengawasi katakombe malam,
mabuk dengan insomnia dan janji kemenangan,
saat urat perasaan dalam ingatan mereka mati
dalam keheningan yang dingin dan telanjang.
Mereka mengawasi hidup dengan kelelahan
dipelintir dengan pahit, pada zaman dahulu dibelenggu—
sebuah cerita terbentang di setiap pasang mata,
diceritakan pada malam debu yang gelisah.
Dan para prajurit yang tertidur dengan orang mati,
tidur di bumi yang beku—
Mimpi mereka adalah mimpi buruk yang penuh dengan api,
mayat, kebiadaban dan penyakit,
sampai pagi kembali, dan kematian dengan taringnya yang menghitam
melewati lagi, menuai,
meninggalkan apa-apa selain keheningan reruntuhan.
Malam hilang seribu fajar,
dan pagi hingga seribu malam—
Semuanya layu dan hancur; tidak ada yang tersisa
tapi kenangan dan bayangan.
Langkah Terakhir
Karya: Nazik Al Malaikah
Saksikanlah,wahai pepohonan
aku takkan lagi melihat dari bawah rindangmu
inilah aku, kini telah pergi, jangan kau tangisi kesedihanku
Sebab kesedihan dan harapanku tak akan menghukummu
Langkahku dalam gelap, jangan kau anggap ia
Sebagai langkah terakhirku di sini
mengembalikan nyanyian-nyanyian yang tak ia mengerti
Perlahan kau akan pupus jua sebagaimana diriku
Langkahku, tempat kembali segala kepiluan
Oh, andai saja aku mendengar suara nestapa
Andai saja aku kehilangan inderaku, andai saja
Mungkin aku tak kan menyaksikan mimpi yang asing itu
Mimpi macam apa yang layu di atas pasir
Kuukir diatasnya seluruh melodi hidupku
Seluruh mimpi dan khayal masa mudaku
Seluruh degup nada-nada
Kini, darimu, aku pergi, wahai pohon
Dalam jubah pengembaraan dan penghormatan
Andai saja aku beranikan diri untuk berjumpa denganmu
Memandangmu sekali lagi, tanpa air mata
Takkan kau rasakan, esok hari, dampak dari kesalahanku
Aku, wahai saudaraku, tak akan pernah kembali
Semua impian dan kacaunya mimpiku
ٍSurga gemilang asa dan langkah pengembara
akan kutemui kayu dalam bayang bayang dan aku pun berlalu
Apa artinya, setelah ini, kayu yang rapuh itu?
Aku akan hidup, wahai langitku, diatas bumi
Maka akan kuselipkan cahya dalam hati terdalamku
Sampai jumpa, engkau, oh, impian masa mudaku
Apakah kau yang telah merajutnya lima puluh tahun lamanya
Dialah aku, hasrat yang terkubur di bumi
Dan akan kurahasiakan cita citaku yang getir dan penuh duka
Jalan-jalan yang indah akan menangis
Di atas kenangan-kenanganku, namun jiwaku tak akan pernah kembali
Wahai pohon pohon, anggaplah jiwaku berasal darimu
bahwa ingatan hasratku tak kan pernah padam
Dan aku? Jangan kau ragu, anggap saja engkau berasal dariku
Sungguh, kenanganmu di hatiku akan hidup kembali
Segala tentangmu akan mengakar dalam kedalaman diriku
Ia abadi sebagai penyair yang abadi
Wahai pohon-pohon, jangan, jangan ingat aku lagi
Aku hanyalah berhala keputusasaan dalam wujud manusia
Aku tak punya apapun selain puing-puing kerinduan
Dan sisa-sisa nestapaku yang abadi
Dulu aku pernah terhempas di antara mendung-mendung
Menumpahkan mimpi-mimpi d dalam kedalaman hidupku
Bersamaku, anganku mengangkasa melebihi tinggi gemintang
Dan puisi mencipta hasrat terindah untukku
Hai kayu, selamat tinggal dari kehidupanku
Senja telah tiba dan sungguh telah tiba pula keberangkatanku
Hapuslah yang telah lalu, hapus lagu-laguku
Lupakan lagu-lagu nestapa dan duka laraku
Hingga tak lagi kau ingat lagu lagu piluku, esok hari
Senandung suka dandukanaku
Lupakanlah aku, sungguh aku telah jauh pergi bersama dosa-dosaku
inilah aku tenggalam dalam kalbu senja
Nazik al-Malaikah bernama lengkap Nazik Shadiq Ja’far al-Malaikah. Ia lahir pada 23 Agustus 1923 di Bagdad. Ia tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu dan sastra. Kedua orang tuanya merupakan penyair, sehingga tidak heran jika ia sudah mulai menyentuh sastra klasik dari kecil. Ia menguasai ilmu nahwu, membaca dan mempelajari sumber-sumber warisan bangsa Arab, baik bidang bahasa maupun sastra. Sebagai seorang penyair perempuan, Nâzik al-Malâikah termasuk pembaharu pertama dalam puisi Arab modern dengan memunculkan puisinya الكوليرا pada tahun 1947. Puisi ini disebut-sebut sebagai pendobrak pertama gerakan pembaharuan dalam puisi Arab modern atau yang lebih dikenal dengan puisi bebas (al-Syi’r al-Hurr).