Karya: Ramli Lahaping
Atas nama keluarga, Ani dan Sima terus saja terlibat perang dingin. Kedua ibu rumah tangga bersampingan rumah itu, sama-sama getol untuk saling mengalahkan dalam berbagai hal. Mereka berseteru sepanjang waktu, meski peraduan mereka hanya sampai pada tahap gunjing-menggunjing di sisi belakang, sembari tetap berbalas senyuman ketika berhadapan.
Secara diam-diam, perseteruan mereka sudah berlangsung sejak mereka bertetangga. Dengan begitu saja, mereka berusaha saling menyaingi, terutama dalam soal kepemilikan harta. Mereka memacu suami mereka untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, hingga mereka berupaya menambah pemasukan dengan usaha-usaha sendiri.
Pada waktu selanjutnya, Ani akhirnya membuka toko kelontong di depan rumahnya. Toko tersebut kemudian ramai pembeli dan tampak semakin maju. Tak ingin tertinggal, Sima pun ikut membuka toko kelontong di depan rumahnya, dan perlahan-lahan semakin berkembang. Sampai akhirnya, mereka bersaing ketat dalam bisnis perdagangan tersebut.
Lepas dari soal pendapatan, mereka pun bersaing dalam persoalan gaya hidup. Mereka saling membanding-bandingkan perihal perhiasan rumah dan perhiasan diri. Mereka tak mau mengalah untuk dipandang rendah di mata orang-orang. Karena itu, ketika Ani membeli satu jenis barang mewah, maka Sima akan turut. Begitu pula sebaliknya.
Hingga akhirnya, mereka pun mempersaingkan anak tunggal mereka masing-masing. Mereka sama-sama berupaya agar anak mereka yang sepantaran, saling mengalahkan satu sama lain, terutama dalam soal prestasi akademik. Sebab itulah, semasa sekolah, kedua anak mereka bersaing ketat dalam perolehan peringkat nilai terbaik di tingkat kelas atau tingkat sekolah.
Aksi mempersaingkan anak mereka kemudian berlanjut saat anak mereka duduk di bangku kuliah, sebab keduanya berada di kampus dan fakultas yang sama. Mereka sama-sama memacu anak mereka untuk lulus lebih cepat dengan nilai yang lebih baik. Dan akhirnya, Rusdi, anak Sima, berhasil lulus terlebih dahulu, tetapi dengan nilai yang tidak lebih baik daripada nilai Maria, anak Ani. Karena itu, mereka terbilang impas, dan sesi persaingan terus berlanjut.
Akhirnya, mereka mempersaingkan anak mereka dalam soal pekerjaan. Mereka menuntut anak mereka untuk segera mendapatkan pekerjaan yang bergengsi. Dan untuk perkara itu, Sima tampak unggul, sebab Rusdi telah berhasil menjadi seorang pegawai negeri. Sebaliknya, Ani harus bersabar, sebab Maria tak juga mendapatkan perkerjaan setelah melamar ke sana kemari.
Setelah sekian lama anaknya menganggur, Ani pun menjadi gusar. Ia jelas tak tahan menyaksikan tanggapan miring orang-orang bahwa anaknya tidak lebih sukses daripada anak Sima dalam soal pekerjaan. Apalagi, gunjingan-gunjingan perihal itu semakin gencar dilancarkan para tetangganya yang tampak membaca persaingan ketat di antara mereka.
“Ah, betapa bahagianya seorang ibu jika anaknya sukses, seperti Ibu Sima,” tutur seorang ibu di tengah-tengah sebuah acara akikah anak seorang warga, kala mereka tengah bersantap bersama tanpa kehadiran Sima yang sedang pulang ke kampung halamannya.
Seketika, perasaan Ani menjadi kecut mendengar pernyataan itu.
“Iya. Ibu Sima pasti sangat bangga karena anaknya telah menjadi seorang pegawai negeri,” timpal seorang ibu yang lain.
Para ibu-ibu kemudian mengangguk setuju.
Ani mengangguk saja, sembari berusaha meredam kegusarannya.
Hingga akhirnya, seorang ibu melontarkan pertanyaan yang sangat ia takutkan, “Maria bagaimana Ibu Ani? Apa pekerjaannya sekarang?”
Ani sontak kelimpungan. Ia lalu menelan ludah di tenggorokannya, kemudian menjawab sekenanya,
“Belum ada, Bu.”
“Kenapa bisa begitu, Bu?” sidik ibu itu lagi, tampak tak habis pikir.
Ani lantas merekahkan senyuman yang terpaksa. “Mungkin belum nasibnya saja, Bu.”
Seorang ibu yang lain kemudian berdeham, lalu melayangkan komentar, “Tetapi Maria semestinya mendapatkan pekerjaan yang tak kalah baik daripada Rusdi, Bu. Semasa sekolah dan kuliah, Maria kan tak kalah pintar daripada Rusdi.”
Ani pun tersenyum simpul, lantas menanggapi dengan kilahan, “Tetapi soal mendapatkan pekerjaan di masa sekarang, sebenarnya, bukan soal perkara pintar atau tidak saja, Bu. Sekarang, banyak orang yang tega melakukan cara-cara curang untuk mendapatkan pekerjaan. Ya, apalagi kalau bukan dengan…,” tuturnya, kemudian menggosok-gosokkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
Sontak saja, seorang ibu yang lain menyelidik, “Lah, apa begitu, Bu? Maksudku, apa mungkin kelulusan Rusdi menjadi pegawai negeri, juga karena faktor uang?”
Dengan sikap santai, Ani lantas mendengkus. “Ibu seolah tidak paham saja. Hal-hal semacam itu kan sudah menjadi rahasia umum, Bu,” katanya, diplomatis, lalu tertawa pendek. “Tetapi aku sendiri tidak akan mau kalau anakku mendapatkan pekerjaan dengan cara-cara yang buruk seperti itu.”
Ibu-ibu seobrolannya kemudian mengangguk-angguk, seolah mendapatkan pengetahuan baru yang begitu penting.
Seketika pula, Ani merasa senang telah berhasil membela dan menjaga harga dirinya dan keluarganya.
Akhirnya, hari demi hari, gosip perihal anak Sima yang berhasil menjadi pegawai negeri karena kekuatan uang, kemudian menyebar cepat. Karena senantiasa dibahas di dalam klub-klub pergunjingan, isu itu lantas menjadi pengetahuan umum. Lalu pada akhirnya, meski tanpa bukti, tudingan itu menjadi keyakinan orang-orang, seolah-olah memang benar bahwa Rusdi menjadi pegawai negeri karena sogokan.
Di tengah celaan orang-orang terhadap anak Sima, diam-diam, Ani merasa makin senang. Itu karena isu tersebut membuat orang-orang tidak lagi berselera untuk membandingkan anaknya dengan anak Sima. Kalaupun orang-orang melakukan perbandingan, mereka tampak lebih menghargai anaknya yang dipandang mampu bersabar demi mendapatkan pekerjaan dengan cara yang benar, ketimbang anak Sima yang telah mendapatkan pekerjaan tetapi dengan cara yang culas.
Tetapi akhirnya, Ani menjadi gusar sendiri atas isu yang telanjur ia pantik. Pasalnya, tanpa pernah ia kira, Sima beserta suami bertandang ke rumahnya dan meminang Ani untuk anak mereka.
“Bagaimana menurutmu, Nak? Apa kau bersedia menerimanya?” tanya Ani, meminta pendapat dan persetujuan anaknya atas lamaran Rusdi, saat mereka tengah mengobrol berdua di dalam kamar sang anak.
Maria tampak ragu. “Pendapat Ibu sendiri bagaimana?”
Ani pun tesenyum. “Apa yang baik bagimu, akan aku restui, Nak. Apalagi, Rusdi tampak sudah sangat matang untuk menjadi seorang kepala keluarga. Ia sudah memiliki pekerjaan yang mapan.”
Maria lantas mengembuskan napas yang panjang. “Tetapi, apakah Ibu tidak keberatan mengetahui bahwa Rusdi telah menjadi seorang pegawai negeri dengan cara menyogok? Apakah Ibu tidak khawatir kalau orang-orang akan turut menggunjingkan kita karena persoalan itu?”
Sontak, Ani terenyuh. Ia lalu menggeleng keras dan tersenyum. “Aku yakin, apa yang dikatakan orang-orang itu adalah sebuah kebohongan, Nak. Kau sendiri mengenal Rusdi dan keluarganya, dan kau sendiri tahu bahwa mereka adalah orang yang berperilaku jujur, kan?”
Maria pun mengangguk pelan.
Waktu bergulir cepat.
Akhirnya, hari ini, pernikahan antara Maria dan Rusdi dihelat dengan acara yang meriah.
Seketika pula, Ani merasa senang, sebab anaknya telah menikah dengan seseorang yang ia kenal berperilaku baik. Pun, pernikahan itu akan membuat rivalitasnya dengan Sumi berakhir.
Namun dari atas panggung pernikahan, Ani melirik curiga pada sekumpulan ibu-ibu yang sedang mengobrol. Ia cemas kalau-kalau mereka menggunjingkan dan menyebarkan isu miring tentang menantunya kepada para tamu, hingga namanya turut membusuk di tengah masyarakat sebagai mertua seorang lelaki yang menjadi pegawai negeri karena uang sogokan. (*)
RamliLahaping, Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

