Site icon TAJDID.ID

Tanah Masyarakat Adat

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Antropolog Rodolfo Stavenhagen amat tertarik pada masyarakat adat yang belakangan tampil tegar menjadi aktor sosial dan politik baru.

Prosesnya panjang. Ada aspirasi kuat di tingkat nasional yang mengakumulasi aspirasi-aspirasi lokal. Hampir merata di seluruh jagad. Pantas Stavenhagen (2013) menyebut The Emergence of Indigenous Peoples.

Stavenhagen melihat beberapa keajegan dinamika masyarakat adat. Faktor kelas, kolonialisme dan akulturasi. Selain itu juga masalah historis dan struktural yang tak hanya terlihat dalam setiap proses pembentukan masyarakat nasional di suatu negara. Stavenhagen(1965) memperjelas halite dalam sorotan khusus atas asimilasi dipaksakan di Meksiko.

Para ahli perbandingan pembangunan internasional menemukan faktor penting lainnya: “brutalitas” modal, orang kuat, dan pengendali politik yang bekerja di luar hukum.

Memang pergolakan antara satu masyarakat adat dengan yang lain dapat terkesan tak identik, hanya karena perbedaan geografis dan kebangsaan belaka. Tetapi isu pokok selalu sama di bawah permukaan. Hal yang akan ditemukan pada tuntutan yang bergema dalam gerakan Zapatista di Meksiko (Stavenhagen, 2000).

Juga dalam teriakan lantang di Amerika Latin (Stavenhagen, 2002). Atau dalam kasus jamak di seluruh Indonesia seperti dalam proses penyingkiran di Sigapiton (Shohibul Anshor Siregar, 2020). Sebutlah di mana saja, terutama sejak Perang Dunia Kedua berakhir.

Studi perbandingan masyarakat adat yang dilakukanStavenhagen (2004) untuk menegaskan kembali kesimpulan yang juga terkonfirmasi pada gerakan perjuangan dan perlawanan Indian Meksiko dalam transisinya (Ztavenhagen, 2006). Termasuk pada rona-rona postcriptum dari semua koleksi seni Pra-Hispanik (Stavenhagen, 2012).

Deklarasi PBB

Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah hasil perjuangan. Diadopsi oleh General Assembly pada 13 September 2007, deklarasi ini disetujui 144 negara.

Menilik isi, deklarasi memuat 23 klausa pembukaan dari keseluruhannya yang terdiri dari 46 pasal. Pasal 1-40 menyangkut hak individu dan kolektif masyarakat adat. Banyak di antaranya mengenai kewajiban negara untuk melindungi.

Hak perlindungan warisan budaya serta manifestasi mereka termasuk sumber daya manusia dan budaya genetika ada pada pasal 31. Pasal 41-42 menegaskan keniscayaan peran PBB. Pasal 43-45 menegaskan bahwa hak-hak dalam deklarasi tersebut adalah “standar minimum untuk hidup, martabat dan kesejahteraan masyarakat adat di seluruh dunia.

Pada Konferensi Peninjauan Durban (April 2009), 182 Negara mencapai Konsensus. Menilai deklarasi memiliki dampak positif pada perlindungan korban. Konferensi mendesak setiap Negara mengambil semua tindakan yang diperlukan (Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, dokumen Hasil Konferensi Peninjauan Durban, 24 April 2009, paragraf 73).

Kini deklarasi menjadi instrumen internasional paling komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat. Kerangka universal standar minimum untuk kelangsungan hidup, martabat dan kesejahteraan masyarakat adat di dunia ditetapkan. Juga standar hak asasi manusia dan kebebasan mendasar yang berlaku untuk situasi khusus masyarakat adat.

 

 

Ilustrasi. (net)

Warisan Halak Sambilan

Sayur Matua dan Sayur Mahincat. Keduanya desa bertetangga di Kecamatan Aek Nabara Barumun, Kabupaten Padanglawas.Legalitas hak dan penguasaan masyarakat adat kedua desa atas lahan sekitar 1.500 hektar warisan leluhur mereka terancam sejak zaman Orde Baru.

Dipermukaan masyarakat adat berhadapan dengan korporasi. Berharap penyelesaian hukum yang adil, kini masyarakat adat menanti keberpihakan dari DPRDSU.

Dalam suratbertanggal 9 Agustus 2021 yang ditujukan kepada DPRDSU, kedua Kepala Desa (H.A. Lawali Hasibuan, SH, MH. MM dan Adam Harahap, S.P) bertutur rinci dengan bukti-bukti dokumen kuat. Tahun 1932 desa mereka didirikan oleh 9 tokoh, secara legendaris dikenal dengan julukan Halak Sambilan (Sembilan Pendiri Kampung). Dja Montorio Harahap, Dja Siborangan Harahap, Marasoeuten Harahap, Batara Daoelay, Mangaradja Malim Daoelay, Marahanda Hasiboean, Dja Padang Bolak Siregar, H. Soleman Siregar dan Malim Soertani.

Pada masa Orde Baru pemerintah melalui Dinas Kehutanan berencana mengelola Proyek Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (PHTI) di kawasan ini. Masyarakat adat kedua desa menolak. Meski begitu, pada 20 Mei 1981 terjadi penyerahantanah dari masyarakat desa-desa tetangga (22 desa) kepada pemerintah untuk kepentingan proyek.

Tetapi tahun 1989-1990 Proyek PHTI terus mencoba menguasai tanah masyarakat adat kedua desa. Berulangkali terjadi kekerasan fisik. Masyarakat ingin perlindungan hukum. Mereka berunjuk rasa ke kantor DPRD Tapsel (Waktu itu kedua desa masih wilayah Tapsel, sebelum pemekaran).

Setelah melalui konsultasi dan peninjauan lapangan, akhirnya tanggal 28 Nopember 1990 Bupati Tapselmenyurati Kepala Dinas Kehutanan Provsu. Isinya, tanah masyarakat adat kedua desa dikeluarkan dari rencana proyek. Disarankan mencari gantinya di lokasi lain.

Karena keinginan Bupati tidak terlaksana,pada 8 April 1994Kepala Dinas Kehutanan Cabang IX Kabupaten Tapseldisurati yang kemudian pihak tersebut melalui surat tanggal 29 April 1994 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Provsu dengan jelas mengakui bahwa masyarakat adat Sayur Matua dan Sayur Mahincattidak ikut menyerahkan tanah untuk Proyek PHT.

Pertemuan para pihak yang bersengketa tanggal 24 September 1997 di kantor Camat Barumun Tengahyang notulennya dikirmkan kepada Bupati Tapsel menegaskan bahwa tanah masyarakat adat Sayur Matua dan Sayur Mahincat ±1.500 hektaradalah legal.

Penegasan ulang Bupati Tapseldisampaikan melaluisurat tanggal 9 Oktober 1997 yang ditujukan kepada Direktur Inhutani IV di Medan. Isinya pengakuan tanah masyarakat adat kedua desa dengan penunjukan batas-batas yang jelas.

Tak putus dirundung malang. Menteri Kehutanan RImelalui Surat Nomor: 82/KPTS-II/200 1 Tanggal 15 Maret 20001 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Kayu Pertukangan (HPH TKP) kepada PT. Sumatera Silva Lestari atas Areal hutan seluas 42.530 Ha (Empat Puluh Ribu Lima Ratus Tiga Puluh Hektar) di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau.

Di antara sejumlah prasyarat yang ditentukan terdapat penegasan yang menunjukkan bahwa Menteri Kehutanan RI seolah tidak perlu secara definit mengetahui lahan mana yang diserahkan kepada pengusaha. Dikatakan bahwa, “apabila di dalam areal HPH TKP terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari area kerja HPH TKP.”

Pada hari Jumat tanggal 3 Juli 2020 yang lalu masyarakat adat di dua desa dikejutkan olehkedatangan orang dengan mengendarai mobil diiringidua sepeda motor dan menggunakan drone di atas tanah warisan nenek moyang mereka.

Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 September 2020 kembali ada orang yang mengendarai mobilberkeliaran diwilayah masyarakat adat kedua desa. Mereka curiga. Waswas akan terjadi lagi kekerasan demi mempertahankan hak seperti waktu-waktu silam.

Setelah Rapat Gabungan Komisi A dan B, melalui suratnya tanggal 12 April 2021, Ketua DPRDSU Baskami Ginting merekomendasikan dua hal yang untuk sementara cukup melegakan masyarakat adat kedua desa. Pertama, kedua korporasi agar menunda seluruh kegiatan yang bersinggungan dengan lahan/tanah masyarakat adat. Kedua, meminta Kapolres Padanglawas untuk memantau dan melakukan tindakan preventif untuk meminimalkan konflik di lokasi. Ini respon yang sangat baik.
Gimmick Politik

Mungkin hampir semua pemberitaan media menyisipkan unsur glorifikasi atas pilihan busana adat Presiden Joko Widodo saat merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-76 (busana adat Lampung). Ada pemberitaan yang menegaskan, bahwa setiap peringatan HUT RI Joko Widodo selalu dinanti-nanti. Rakyat penasaran dalam penantian, katanya.

Sejak diawali tahun 2017, busana adat Joko Widodountuk perayaan HUT RI selalu berbeda. HUT RI ke-72 itu giliran busana adat Bumbu, Batulicin, Kalimantan Selatan. Sedangkan Iriana mengenakan baju adat Minangkabau.

Jusuf Kalla, Wakil Presiden waktu itu, mengenakan busana adat Bugis. Para menteri, pejabat negara, dan beberapa anggota pasukan pengamanan presiden (Paspampres) juga berbusana adat.

Saat itu politik istana masih rajin membagi-bagi sepeda. Lima pejabat negara dan tamu undangan pun dihadiahi sepeda. Kononkarena busana adat yang mereka kenakan dianggap terbaik saat itu.

Memang terkesan keinginan dekonstruksi nilai di balik pilihan busana dalam setiap HUT RI itu.

Sayangnya semua masih sebatas upacara. Belum memasuki wilayah kerja memuliakan harkat dan martabat masyarakat adat. Tentulah tak dengan seremoni itu agenda yang harus ditunaikan kepada masyarakat adat dianggap sudah terlaksana.

Sikap pemerintahan dunia melalui PBB telah begitu jelas. Keberpihakan kepada masyarakat adat di Indonesia pun mestinya tak berhenti pada masalah pilihan yang di dalamnya pasti terselip mekanisme pembobotan penting dan tak penting secara politik, oleh istana.

Penutup

Masyarakat adat Indonesia seperti Sayur Matua dan Sayur Mahincat ingin tak hanya sekedar terhindar dari ancaman korporasi. Mereka juga ingin difasilitasi.

Dengan lahan 1.500 hektar untuk dikelola demi kemakmuran, sumber pembiayaan mana yang akan diperintahkan oleh penguasa agar menyediakan infrasturktur yang diperlukan? Bank-bank mana yang akan berlomba mengucurkan kredit tanpa dipotong sepeser pun sambil mengintensifkan bimbungan teknis agar masyarakat adat tak gagal bayar?

Langkah penting pertama untuk Sayur Matua dan Sayur Mahincat tentu bagaimana agar pemerintah lokal dan instansi terkait segera menerbitkan pengakuan. Entry point kini ada di tangan DPRDSU. Di Palas masih banyak lahan sengketa bertipe identik. Hibalah untuk rakyat yang bile tondi (menderita) itu.

Tagihan mereka akan terus menggema. Jangan biarkan hidup mereka beriring air mata, terus disertai pekik perlawanan yang bisa berakhir di rumah tahanan. Jangan sampai hari-hari mereka dimerahkan oleh warna darah yang mengucur untuk mempertahankan hak. Mari kita akhiri kebijakan bernafsu angkara kolonial. (*)

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS).

Exit mobile version