Karya : Agus Widiey
Ia kuberi nama gadis bermata sunyi, karena jarak yang ia ciptakan mampu mengukir detak kerinduan.
“Betapa baiknya engkau, membuat imajinasiku semakin dalam sampai kata pada puisiku tetap segar” kataku berbisik sendiri di ruang tempat biasa aku menulis menuangkan isi perasaan dan pikiran.
Hari demi hari terus kulewati seperti fajar yang menanti pergantian senja. Engkau memberi noktah dalam diksi serta mampu menjelma apa yang ingin aku tulis amsal puisi.
***
Seminggu setelah aku berangkat menuju pondok pesantren bayang-bayangmu tetap berdiang dalam ingatan, mengajakku menari-menari dalam lambaian daun yang diterpa semilir angin, dan engkau bercakap padaku serupa percakapan riak gelombang pada karang yang gersang
“Apakah kamu sanggup menungguku” tukasmu kala itu membuatku tak lagi ragu akan rasamu.
“Iya aku siap, kekasihku” jawabanku dengan suara agak bising.
Cahaya bulan purnama tersangkut ke ruas-ruas jendela menatap langit daksina yang masih menurunkan warna. Aku percaya, dan perkataanmu akan aku pegang selama
***
Waktu terus berlalu dan di sini, aku masih sering termangu akan keindahan nama yang tak pernah alpa untuk terukir dalam pena. Mana kala wajahmu yang purnama juga bau tubuhmu yang serupa mekar bunga membawaku pada pesona kerinduan yang begitu tak terkira.
“Kau masih kurindu, Kekasihku” kusampaikan salam rinduku ini melalui sajak-sajak akhir pekan dan kujadikan sebagai judul pada salah satu sajakku.
Mungkin beginilah hati seorang penyair ketika cintanya semakin membara.
“Bolehkah aku mewairu jarak ini, sayang” kutemukan jawabanmu dalam di sebauh koran sastra.
Lalu aku pun kembali membalasnya di salah satu cerpen dengan nuansa kata.
“Cinta dan rindu penyair tak kunjung akhir” mungkin kau akan membacanya dengan hati berbunga bila sajak ini ku khususkan untukmu.
***
Tapi mengapa jarak ini tak pernah bisa kulipat pada gadis yang kusebut bermata sunyi itu padahal batin hatiku sudah menyatu serta terikat dengannya.lalu kukirimkan kembali sebuah sajak di media koran dengan pernyataan juga kesaksian-kesaksian bahwasanya hanya padamu gadis bermata sunyi rinduku bernyanyi, aku tak peduli seberapa lama jarak membentangkan pandanganku pada alis matamu yang serupa bulan sabit itu, tersebab aku hanya ingin bermukim di hatimu.
“Gadis bermata sunyi, izinkan aku mencintaimu dengan bijaksana. Meski sudah tidak peduli pada logika keciali memenuhi kehendak rasa”. (*)
Agus Widiey, Lahir di Batuputih, Sumenep, Madura, 17 Mei 2002. Sekarang masih tercatat sebagai santri aktif pondok pesantren Nurul Muchlishin Pakondang, Rubaru, Sumenep, Madura. puisi-puisinya tersiar di berbagi media seperti radar madura, cakra bangsa, Harian Bhirawa, harian sib, puisi alit, puisi pedia, dan antologi puisinya antara lain; Rumah Sebuah Buku(2020) Hidup Itu Puisi(2020) Subuh Terakhir(2020) Seruling Sunyi Untuk Mama(2020) Sumpah Pemuda (2021) Merapal Jejak(2021) Goresan Kenangan(2021).