Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Wakil presiden memang dipilih langsung oleh warga negara dan merupakan satu paket dengan presiden. Namun Wakil Presiden ditetapkan untuk mendampingi presiden. Dengan agak terus terang orang sering menganalogikan “ban serap”.
Karena itu Wakil Presiden selalu tak begitu signifikan dalam sorotan.
Tetapi survei Lembaga Survei Indonesia Senin siang kemarin mengumumkan hasil surveinya dengan menyertakan penilaian terhadap kinerja Wakil Presiden. Memang taklah begitu mengecewakan. Hanya saja, jika diperlukan menyorot kinerja Wakil Presiden mengapa kinerja para Wakil Menteri tidak disurvei, sedangkan Menterinya dievaluasi?
Meski bukan anggota kabinet, Wakil Menteri diberikan kewenangan untuk membantu tugas-tugas kepemimpinan menteri, termasuk mewakili menteri dalam sidang-sidang kabinet jika menteri berhalangan, juga menghadiri sidang-sidang setingkat menteri di diberbagai forum.
Pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara diatur mengenai wakil menteri, staf ahli, dan staf khusus menteri. Dalam melaksanakan tugas menteri tertentu dapat dibantu oleh wakil menteri sesuai dengan penunjukkan presiden. Wakil menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.
Bandingkan dengan peran dan fungsi Wakil Presiden yang secara konstitusional, peran dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, belum mendapatkan kejelasan.
Ketidak jelasan itu bisa dilihat dari tiga segi. Pertama, kedudukannya sebagai Pembantu Presiden. Kedua Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden. Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat.
Pada pasal 8 ayat (2) UUD 1945 hanya dinyatakan bahwa Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. Artinya perannya seperti jaga-jaga atau wanti-wanti dan mana tahu ada kejadian yang menyebabkan Presiden berhalangan tetap oleh sebab tertentu.
Sosok yang tegas dan berwibawa (27,6 %), merakyat (22,4 %), jujur/bersih dari KKN (9,6 %), pintar/berpendidikan (7,2 %), paling memperjuangkan kepentingan rakyat kecil (6,8 %), ramah/santun (5,3 %), program yang dijalankan atau dijanjikan paling meyakinkan (3,8 %), saleh, relijus, taat beragama (3,2 %), dan orangnya sederhana (1,5 %), adalah 9 dari 19 alasan paling disenangi dalam memilih presiden pada pilpres mendatang. Data itu dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia, Senin Siang kemarin.
Melihat data hasil survei itu, pilihan figur Presiden ke depan di mata rakyat Indonesia rasanya cukup kuat merefleksikan kondisi hari ini, atau pandangan rakyat tentang figur atau kepemimpinan Presiden hari ini, yakni Joko Widodo.
Memang waktunya masih lama dan keberkalaan survei sesuai rentang waktu ke depan masih dapat memengaruhi pilihan rakyat. Tetapi yang jelas, sosok yang tegas dan berwibawa di satu pihak dan merakyat di pihak lain, menjadi kombinasi karakter yang sebetulnya cukup unik, namun itu yang menjadi aspirasi rakyat hari ini.
Cukup mengejutkan juga bagi saya bahwa masalah kejujuran dan kebersihan dari pernak-pernik KKN hanya disukasi oleh 9,6 % responden, dan aspek kepintar/pendidikan menduduki poisis pilihan berikutnya (7,2 %). Semakin mengherankan responden menempatkan karekter sosok paling memperjuangkan kepentingan rakyat kecil hanya diinginkan oleh 6,8 % responden.
Apalagi dihubungkan dengan data temuan lain bahwa saat ini rakyat ingin lapangan kerja, penanganan masalah krusial seperti wabah Covid-19, pengendalian harga, pemberantasan korupsi, masalah penegakan hukum dan lain-lain beroleh solusi yang cepat dan tepat.
Bagi saya data ini menunjukkan perlunya pendidikan politik agar rakyat dapat memahami apa sebetulnya masalah Indonesia saat ini dan bagaimana hal itu bisa dititipkan kepada pemegang mandat yang akan memimpin pemerintahan. (*)