Site icon TAJDID.ID

Shohib: Idealnya RUU Pemilu Dibahas Bersamaan dengan RUU Parpol

Shohibul Anshor Siregar.

TAJDID.ID~Medan || Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) merupakan salah satu revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 di DPR.

Menanggapi hal tersebut, akademisi FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, untuk melakukan revisi atas UU Pemilu di sebuah Negara akan selalu dihadapkan pada kepentingan pragmatis kekuatan politik yang dominan.

“Tetapi saya tetap berharap hendaknya Indonesia mampu menukik pada sandaran nilai-nilai demokrasi universal yang diindahkan oleh peradaban,” ujar Shohib kepada TAJDID.ID, Selasa (26/1/2021).

Menurut Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS), ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bagi para pihak.

Pertama, ada keseiringan urgensi revisi UU Pemilu dengan revisi UU Parpol.

“Memperbaiki salah satu di antaranya hanya akan memungkinkan gerak langkah naik ke anak tangga yang tak membebaskan dari kendala-kendala demokratisasi dan kehidupan politik yang dikeluhkan selama ini,” jelasnya.

Sayangnya, kata Shohibul, induk masalah dari semua ini bisa saja terletak pada diksi konstitusi yang sudah diamandemen hingga empat kali. Ia mencontohkan, keluhan atas ketakmampuan menyelenggarakan pemilu yang berintegritas alias jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya tidak serta merta dapat diusulkan untuk membubarkan KPU karena kelembagaannya disebutkan dalam UUD 1945.

“Semua pasti tahu bahwa pemilu pertama 1955 dan pemilu 1999 adalah yang terbersih sepanjang sejarah karena penyelenggaranya adalah parpol peserta pemilu. Kasus-kasus pencurian suara dan berbagai kecurangan lainnya tidak akan menjadi fakta mayor seperti sekarang, dan meski pun pemodal bisa mengupayakan dorongan atas keterpilihan calon dan partai tertentu, level masalahnya mungkin hanya terfokus pada tragedi vote buying yang terapinya lebih pada instrumen pengawasan teknis termasuk netralitas penegak hukum,” ungkap Shohib.

Kedua, bagaimana sebetulnya disain Indonesia yang dikehendaki konstitusi dan Pancasila. Dengan pertanyaan itu, kata Shohib, segera kita terdorong untuk bertanya apakah Pancasilais pemilu pasca reformasi yang Presidennya dipilih langsung dan diberlakukannya prsayarat presidential threshold terutama jika dikaitkan dengan makna sila ke 4 (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

“Jika ini sudah terjawab, maka pilkada pada gilirannya juga harus ditundukkan kepada terjemahan yang benar atas sila ke 4 Pancasila itu,” tegasnya.

Ketiga, kualitas keperwakilan orang-orang yang dihasilkan oleh pemilu demi pemilu adalah hambatan utama dalam proses demokratisasi dan pembangunan. Tentang hal ini, ia mengungkapkan, bagaiman daerah pemilihan (dapil) diatur sedemikian rupa dan secara implisit rivalitas yang tajam terjadi internal mau pun eksternal peserta pemilu (partai).

Tetapi, menurut Shohib, satu hal telah menjadi kenyataan tak terbantahkan bahwa bandrol satu kursi sudah diatur oleh pasar, dan pasar itu dikendalikan oleh pemodal. Inilah penyebab rezim pemerintahan patuh sepatuh-patuhnya kepada dikte pemodal yang pada gilirannya kurang lebih memerankan diri sebagai debt collector.

“Mengapa institusi pengawasan tak bekerja transparan dan terpercaya, mengapa regulasi yang mereka inisiasi atau mereka setujui tak mencerminkan kepekaan atas maslahat rakyat banyak, adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat diperpanjang daftarnya yang serta merta jawabannya ditemukan pada proses kandidasi calon wakil itu,” ujar Shohib.

Jika sudah disadari bahwa semua calon itu tidak beroleh kesetaraan dengan penomorannya, maka menurut Shohib pertanyaan tentang faktor apa yang menentukan pemosisian itu mengarah pada dependensi jawaban kedekatan dengan elit partai dan transaksi uang.

Lebih lanjut Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumut ini menilai, masalah kualitas keperwakilan berdasarkan UU pemilu selama ini tetap menyisakan masalah besar meski tak pernah menjadi perhatian publik. Organisasi seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912, NU yang berdiri sejak tahun 1926 dan organisasi-organisasi besar lainnya, dan yang banyak bekerja untuk maslahat rakyat, sama sekali tidak pernah dihitung oleh sistem demokrasi pemilu yang dicopy paste oleh para komprador Indoneasia.

Bagi Shohib, terlalu menghina kepada semua organisasi pengusir penjajah itu jika aspirasi politiknya dipaksa disalurkan kepada partai politik yang dalam fakta tak terbantahkan tak memiliki benang merah ideologis, historis dan agenda perjuangan dengan mereka.

Mungkin, kata Shohib, penganut demokrasi paku mati (tolol) akan mengatakan sistem demomkrasi yang dibangun telah menyediakan tempat dan saluran yang sehat untuki itu. Tetapi menurutnya orang yang sinis seperti itu telah sengaja mengabaikan fakta bahwa sistem demokrasi transaksi yang diglorifikasi oleh Negara itu nyata-nyata diharamkan oleh organisasi pengusir penjajah itu dan mereka tidak akan bisa berdamai dengan kemungkaran yang disahkan (transaksi dan lain-lain).

“Sadarkah Negara bentuk-bentuk dan kedalaman alineasi yang pada gilirannya justru secara sistematis memojokkan orientasi politik dan keberadaan organisasi-organisasi pejuang itu?,” tanyanya.

Karena itu, Shohib menyarankan revisi UU Pemilu wajib menyediakan kursi bagi wakil-wakil organisasi tanpa melalui pemilu. Menurutnya, organisasi-organisasi itu dapat mengontrol anggotanya yang ditugaskan dan segera mungkin dapat menariknya untuk digantikan kader lain jika terindikasi telah menodai perjuangan.

“Partai politik bukan segalanya dan keterbatasan sistem rekrutmen pemilu begitu nyata dan buruk untuk diapresiasi,” sebutnya.

Terakhir, Shohib menegaskan, bahwa masih banyak masalah yang memerlukan perbaikan dalam sistem demokrasi Indonesia yang kesemuanya tak dapat dibahas terpisah dengan UU Partai Politik.

“Mestinya keduanya wajib dibahas bersamaan,” tutupnya. (*)

Exit mobile version