TAJDID.ID~Medan || Sosiolog FISIP UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, isu plagiat itu bersifat nasional. Akarnya ada pada pembuat regulasi dan mentalitas inlander yang bercokol di belakangnya.
“Jika pun terungkap satu dua kasus, itu hanya puncak gunung es semata. Kebobrokan sesungguhnya jauh lebih parah dari yang terungkap,” ujarnya kepada TAJDID.ID, Senin (18/1/2020).
Tentang persoalan ini Shohibul menawarkan sejumlah solusi. Pertama, kata Shohibul, berdirilah sebagai bangsa yang mandiri, tak menjadi makanan bagi supremasi kulit putih.
Kedua, jangan sok adaptasi menjadi ‘wolrd class university’ dengan menggunakan ukuran-ukuran dalam konsep mematikan ‘wolrd competitiveness’.
“Itu konsep perbudakan global,” sebutnya.
Ketiga, ia menyerukan segenap anak bangsa agar mencintai bangsa dan bahasanya.
“Berteriaklah kelangit sekencang kerongkonganmu bisa hingga dunia tahu bahwa ukuran ilmiah bukan pada bahasa dan penerbitan oleh lembaga peternakan uang yang dikendalilan oleh neolib di negara paling kaya sekaligus paling jahat,” katanya.
Keempat, lakukan pertaubatan akademik nasional, anggap semua kenaifan plagiarisme yang pernah ada tidak pernah terjadi.
Kelima, ciptakan model dan sistem sendiri. Menurut Shohibul hal ini harus disuarakan.
Keenam, meski pun masalah ini bukan karena kebijakan Menteri Nadim, tetapi Shohibul menilai, adalah duka nasional pendidikan di Indonesia diurus oleh figur yang tak mencerminkan karakter dan integritas yang melekat dengan nilai pendidikan.
Ketujuh, Shohibul menyarankan, khusus perguruan tinggi yang cara pemilihan rektornya ‘anti demokrasi’ sudah saatnya ditinjau.
“Banyak hal yang sangat perlu dibenahi dalam pendidikan Indonesia, dan tak cukup hanya sekadar menghabiskan anggaran 20 % dari total APBN sebagaimana ditentukan oleh konstitusi,” tutupnya. (*)