TAJDID.ID~Medan || Sosiolog FISIP UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) Shohibul Anshor Siregar menyebut, coretan dinding dengan tulisan “rebut alat produksi” memiliki makna simbolis yang dalam.
Hal itu disampaikannya saat menjawab wartawan perihal adanya coretan dinding bertuliskan ‘Rebut Alat Produksi’ di salah satu bangunan di jalan protokol Kota Medan, Selasa, (5/1/2021).
“Kelihatannya itu memiliki makna simbolis yang dalam. Coretan itu menunjukkan pembuatnya amat sadar bahwa ketimpangan sosial yang begitu parah adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi struktural yang berlangsung sejak zaman penjajahan. Ia menuntut perombakan struktural,” sebut Shohib.
Ia mencontohkan, Sri-Bintang Pamungkas di dalam bukunya ‘Ganti Rezim Ganti Sistim’ (2014) menyoroti hal ini dengan mengawali kajian dengan sebuah pertanyaan. ‘Mengapa Indonesia susah maju?’
“Ia (Sri-Bintang) memberi 4 hipotesis dan menjawabnya dalam pembahasan buku tebal itu. Pertama, terlalu lama dijajah oleh bangsa asing yakni : Portugis (1509 – 1595), Spanyol (1521 – 1692), Belanda (1602 – 1942), Perancis (1806 – 1811), Inggris (1811 – 1816), Jepang (1942 – 1945). Akibatnya, bersemilah penyakit mental yang oleh banyak ahli tentang Indonesia disebut dengan istilah inlanderitas,” paparnya.
Kedua, lanjut dijelaskan Shohib, terlalu lama didikte bangsa asing dan lembaga asing.
“Ketiga, terlalu lama dijajah oleh bangsa sendiri dan keempat adanya kelompok minoritas yang menguasai ekonomi serta politik,” jelas Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBasis) ini.
Masih menurut Shohib, saat Perdana menteri Mohd Natsir melihat ini sebagai masalah besar Indonesia, maka ia pun mengajukan konsep Ekonomi Banteng yang berusaha mendorong pengusaha pribumi untuk membangun ekonomi nasional.
“Hampir bersamaan dengan itu Soekarno mengajukan gagasan trisakti (berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian dalam budaya). Usia Ekonomi Banteng hanya berusia 2 tahun dan berhasil melejitkan 17.000-an pengusaha antara lain TD Pardede. Semua gagasan besar Indonesia itu diadopsi oleh Malaysia sejak Tengku Abdurrahman sebagai perdana menteri hingga Mahathir Mohammad saat berkuasa kembali pada etape terakhir,” imbuhnya.
Ditanya apakah coretan dinding itu bisa disebut bagian dari membangun kesadaran kelas?
Jebolan sekolah pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini dengan lugas menegaskan bahwa kesadaran kelas itu sangat serius dan jawabannya adalah perubahan struktural hanya dengan jalan menundukkan pemerintah kepada pembangunan berbasis konstitusi.
“Isi pembangunan Indonesia berbasis konstitusi itu ada pada pembukaan UUD 1945 (1) melawan dan melenyapkan segala bentuk penjajahan (2) melindungi seluruh bangsa dan segenap tumpah darah (3) memajukan kesejahteraan umum (4) mencerdaskan kehidupan bangsa (5) ikut berusaha menertibkan dunia,” tegas Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
Selain itu, kata Shohib, Pasal-pasal di dalam UUD 1945 sangat keras dalam hal perubahan struktural Indonesia.
“Misalnya pasal 27 ayat (2) mewajibkan pemerintah mempekerjakan semua rakyat penganggur. Ini tidak bisa ditolak dengan dalih apa pun. Menurut UUD 1945 itu pendidikan dan kesehatan wajib gratis selain pekerjaan yang wajib diberikan kepada penganggur,” pungkas Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Parsadaan Luat Pahae Indonesia (DPP-PLPI) ini. (*)
Liputan: RKS