Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Dua dari 6 anggota kabinet Indonesia Maju yang dilantik Jokowi hari ini adalah pengganti bagi Menteri yang ditangkap KPK karena korupsi, yakni Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial menggantikan Batubara dan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Edy.
Kiranya data ini sudah lebih dari cukup untuk mempertanyakan integritas para anggota kabinet secara keseluruhan, karena kisah tertangkapnya 2 anggotanya adalah ibarat puncak gunung es belaka yang dapat saja mencerminkan keseluruhan. Ini bukan tuduhan, hanya logika umum saja dan tidak ada salahnya menjadi perhatian serius bagi KPK.
Indonesia memiliki ciri pemerintahan yang bersifat akomodatif terbatas untuk tujuan stabilitas. Itu terjadi sejak Soekarno.
Konsekuensinya kabinet selalu sangat gemuk dan nomenklaturnya dan atau jobdiscription-nya terasa seperti ditukang-tukangi sehingga efektivitasnya sangat rendah.
Di sini terasa paradoks besar. Selalu dibanggakan bahwa Indonesia sudah memasuki era industri 4.0, namun dalam format kabinet karakter industri 4.0 terutama tentang efisiensi, efektif dan tanggap, itu sama sekali tidak tercermin.
Jumlah anggota kabinet terasa semakin gemuk karena ada jabatan Menteri Koordinator. Bagi saya selain politik akomodasi terbatas, hanya dua alasan diperlukannya Menteri Koordinator.
Pertama, Presiden tidak diyakinkan bahwa dia mampu mempimpin sehingga diperlukan orang-orang lain yang posisinya dalam praktik tak ubahnya seperti “presiden terbatas” dan atasan bagi para Menteri.
Kedua, nilai demokrasi yang belum jauh bergeser dari model kerajaan-kerajaan lama, yakni the king can do no wrong. Jadi Presiden itu diposisikan selalu benar dan tidak boleh salah. Jika ada masalah ya Menko itu yang paling bertanggungjawab.
Sebetulnya dengan jabatan Wakil Presiden, seorang Presiden di Indonesia dapat terbantu untuk melakukan koordinasi hingga keberadaan Menko tidak diperkukan sama sekali. Kecuali memang tak bersedia membagi tugas atau posisi Wakil Presiden itu hanya simbol belaka yang menanti ada pemakjulan Presiden baru bisa bekerja.
Memang untuk kondisi perpolitikan Indonesia seseorang yang berniat menjadi Presiden sangat memerlukan kombinasi klaster dukungan hingga benar-benar inklusif. Jika hanya untuk tujuan itulah, untuk memenangi Pilpres, seseorang diperukan untuk menjabat Wakil Presiden, Indonesia telah menyianyiakan energi besar.
Kegemukan kabinet itu masih ditambah lagi dengan para Wakil Menteri. Pesannya bisa bermakna bahwa Menteri itu tidak tahu apa-apa lantas harus di-back up oleh figur ahli, itulah kapasitas Wakil Menteri. Dugaan ini sukar ditepis karena untuk kementerian tertentu jumlah Wakil bisa berbilang. Padahal yang harus diperkuat adalah tim teknis di bawah Menteri mulai dari Kesekjenan, Dirjen, Direktur, lembaga, badan dan unit lainnya.
Tidak sampai di situ, Indonesia pada era pertama kepemimpinan Jokowi telah membentuk jabatan khusus untuk Luhut Binsar Panjaitan, yakni KSP. Kini dijabat oleh Moeldoko yang adalah mantan Panglima TNI. Latar belakang sebagai mantan Panglima TNI itu dan latar belakang Luhut Binsar Panjaitan (Jenderal TNI) lebih dari cukup untuk memperjelas tujuan, peran dan fungsi akomodasi KSP. Pernah ada seseorang sipil di sana, tetapi kita lihat hanya sekejap.
Jokowi juga memerlukan staf khusus dengan kategori yang dia bikin sendiri, yakni milenial. Masih ada juru bicara-juru bicara. Semua menambah keriuhan di samping kegemukan yang kesemuanya mencerminkan ketidak terkordinasian.
Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Orang terus mengingat Susi Pudjiastuti yang meski sama sekali belum mampu menjadi garda terdepan untuk merealisasikan makna poros maritim, tetapi ia dianggap memiliki sesuatu untuk dikenang apalagi dengan kasus yang menimpa penggantinya di kementerian itu.
Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki misi besar sebetulnya tak hanya menegaskan kedaulatan negara di samudera luas, melainkan juga menjamin kelestarian sumberdaya dan kemanfaatannya untuk kemakmuran negeri yang selama ini disia-siakan.
Pagi ini saya membaca komentar politisi dari PKS yang menyambut Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama dengan harapan “jangan jualan isyu intoleransi dan terorisme”. Itu mewakili pandangan yang terus menerus mempertanyakan ada apa di balik isu kuno dan lebay intoleransi dan terorisme.
Jika pemerintah mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, dengan menghilangkan kesenjangan, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk intoleran dan apalagi menjadi teroris. Seseorang harus berani membisikkan hal ini ke telinga Jokowi.
Dalam fakta kesenjangan yang terus seolah diabadikan, malah penguasaan ekonomi oleh minoritas adalah intoleransi dan teror terbesar untuk Indonesia yang kurang lebih tak begitu berbeda dengan keadaan jetika Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Prancis (1806-1811), Inggris (1811-1816) dan Jepang (1942-1945) masih menjajah di sini.
Ketika baru saja dilantik, Fachrur Rozi berucap bahwa dirinya bukan Menteri agama Islam. Entah apa tujuan ucapan itu. Namun yang jelas ada sesuatu yang dititipkan sebagai misi bagi Kementerian Agama yang bagi PKS sebagaimana disebutkan di atas perlu dikontrol.
Disebut bahwa Irjen Pol. Petrus Reinhard Golose sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Saya ingin ada kejelasan kordinasi tugas dengan pihak Kepolisian apakah kita akan terus membiarkan supply narkoba (produk luar dan dalam) mengabadikan Indonesia sebagai surga kemaharajalelaan sambil mencari biaya besar untuk pelayanan rehabilitasi sembari memadati Lembaga Pemasyarakatan yang sudah over capacity itu dengan para pecandu. Dengan kondisi ketidakberdayaan pemerintah, mestinya keleluasaan peredaran narkoba adalah dalil tak terbantahkan untuk keputusan tak memberi hukuman apa pun kepada pecandu narkoba.
Urusan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan tentu akan fokus kepada penanganan covid-19 dan saya kira faktor itulah yang membuat figur yang digantikannya terpelanting. Selain itu filosofi dan orientasi BPJS Kesehatan menanti revisi, tak sekadar administrasinya belaka. Begitu besar dugaan penyimpangan di sana dan keadaan tidak pernah lebih baik.
Ada visi besar yang tak hanya berurusan dengan produk apa yang perlu diimpor dan mengapa diimpor. Masalah ini sangat rumit dan terus-menerus menyebabkan keterpurukan produsen dalam negeri termasuk para petani. Jokowi sangat tegas dahulu soal impor terutama bahan pangan. Tetapi tidak jelas mengapa masih berlanjut.
Muhammad Lutfi sebagai Menteri Perdagangan tidak boleh berfikir memihaki para importir yang mengejar margin keuntungan harga beli barang impor dan harga jualnya di dalam negeri. Saatnya berfikir memerdekakan Indonesia dengan produk sendiri dan itu sagat perlu koordinasi dengan Kementerian serta Lembaga lain.
Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak dilihat orang dari tugas baru yang akan dijalankannya, melainkan sebagai Cawapres kalah dan pernah bilang tak mau direkrut ke dalam cabinet. Silakan berinprovisasi menghadapi pilpres 2024 bersama Prabowo Subianto.
Saya kira rekomendasi mantan Capres itu yang memberinya tempat di dalam kabinet. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)