Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Alhamdulillah, meski di tengah bencana Covid-19, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telahterlaksana dengan sukses pada tanggal 25-26 Nopember 2020 yang lalu.
Selain berhasil menyepakati susunan pengurus untuk periode amaliyah 2020-2025 yang diketuai oleh Miftachul Akhyar (dariNahdlatul Ulama), Munas X yang berlangsung secara online dan offline itu juga menetapkan KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia, menduduki posisisebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Sebelumnya jabatan penting ini diamanahkan kepundak Prof.Dr.H.Din Syamsuddin.
Dr.H. Amirsyah Tambunan (dari Muhammadiyah), putera Labuhanbatu, Sumatera Utara, dipercaya oleh Munasmenjadi Sekretaris Jenderal.
Dalam pidato Ketua Umum terpilih disampaikan penegasan tekad memimpinkan kiprah produktif MUI yang semakin baik dalam menjalankan fungsinya sebagai khadimul ummah dan shadiqul hukumah. Juga obsesi pemantapan diri MUI sebagai penjaga akhlak serta menjadi teladan makarimal-akhlak untuk kemaslahatan bangsa.
Munas X dengan begitu sejuk berhasil pula melakukan pembahasan atas peraturan dasar dan peraturan rumah tangga, garis besar haluan program kerja 5 tahunan, fatwa-fatwa MUI (yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat maupun fatwa kontemporer yang menyangkut kondisi dan situasi bangsa) dan pembahasan rekomendasi.
Munas X segera akan disusul musyawarah di semua provinsi, termasuk Sumatera Utara. Diharapkan keberhasilan Munas X dapat menjadi tauladan bagi musyawarah di seluruhprovinsi di Indonesia. (Bersambung hal 2)
Harapan Umat dan Bangsa
HOS Tjokroamninoto pada pidato Pembukaan KongresSjarikat Islam di Bandung, 17 Juni1916, antara lain berisi pemikiran penting demikian:
“…….Kita belum bisa menempati tempat yang layak di bawah matahari. Kita telah menyaksikan bagaimana kelemahan kita mewujudkan atau meningkatkan kehidupan dan keterampilan kita sesuai Islam. Itu semua disebabkan oleh pengabaian kita atas al-Quran, pendidikan, industri, pertanian, dan komersial.
Kondisi kita yang memprihatinkan inilah yang menyebabkan bangs aasing memandang rendah kita. Ketika perdagangan dan industry tetap berada di tangan orang asing, pengejaran kemajuan kita tidak akan membuahkan hasil.
Bersandar pada orang asing, jika kita menikahkan nasib dan kesengsaraan kita dengan orang asing. Pada titik ini hamper semua cabang bisnis ada di tangan yang longgar, dan kita biasanya adalah buruh (kuli), sehingga manfaat besar bertambah kepada orang asing dan menjadi semakin umum.
Orang asing menggunakan tenaga kita dan mereka memanfaatkannya, kita bekerja siang dan malam untuk kepentingan mereka.
Jelas bahwa orang-orang kita kelelahan untuk orang lain.”
Jika diukur secara cermat, pidato 114 tahun lalu itu ternyata masih sangat relevan untuk diucapkan dan diperbincangkan hari ini. Seakan tidak ada yang begitu berbeda di kolong langit Indonesia dalam kurun seabad lebih.
Ironisnya, setidaknya dalam 6 tahun terakhir, gagasan dan pemikiran Bung Karno juga sebetulnya cukup banyak diperbincangkan dan para pembijaksana negara cukup gencar menstir dalam pidato-pidatonya, serta para akademisi pun cukup rajin menyandarkan analisisnya pada pemikiran proklamator ini.
Sebutlah doktrin trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya). Begitu dahsyat pemikiran itu sebetulnya. Tetapi mengapa tetap tidak begitu menggembirakan keadaan kita?
Apakah karena bangsa kita terlalu menikmati overdosis asupan demokrasi hingga kita lebih berelahati mencurahkan tenaga dan pikiran untuk pertarunga nmemperebutkan kekuasaan, dan di bawah semangat demokrasi liberal seperti saat ini kita telah tak menyadari ketibaan pada semangat yang berbeda karena lebih menikmati pertikaian demi pertikaian serius sesamea anak bangsa yang tak begitu hirau dengan cita-cita kebangsaan sesuai konstitusi?
Konsitusi kita secara imperatif menegaskan misi pedirian negara-bangsa yang tak tertawar, ialah melindoengi segenap bangsa dan seloeroeh toempah darah, memadjoekan kesedjahteraan oemoem, dan mentjerdaskan kehidoepan bangsa.
Jenis pertanggungjawaban apa yang dapat kitaberikan kepada bangsa dan Negara, dan terlebih kepada generasi pewaris atas keadaan yang amat tak menggembirakan ini? (Bersambung hal 3)
Faithful Budget
Pertanggungjawaban besar di pundak umat Islam tidak terelakkan atas keadaan yang tidak memuaskan ini. Sebagai pranata umat mayoritas di negeri ini, dengan demikian, MUI pun seyogyanya ada pada kursi keterdakwaan moral dan sejarah bersama organisasi-organisai keumatan lainnya.
Salah satu dari tanggungjawab rakyat dalam mekanisme demokrasi ialah member partisipasi penuh atas penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ini dengan luwes dapat diimplementasikan tanpa berubah wujud dan langkah menjadi bayangan rivalitas partai politik. Tidak sama sekali. Bahwa sebagai waratsatulanbiya, dengan kekuatan moral sesuai mandat umat, MUI tidak dimungkinkan berdiam diri menyaksikan begitu banyak yang harus diperbaiki dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Mungkin secara jarak dan sistem, Amerika tidaklah terlalu jauh dijadikan sebagai contoh. Dalam beberapa tahun terakhir para pemimpin agama terus aktif melakukan penyaluran aspirasi keumatan antara lain dengan mengajukan dokumen tandingan ke Kongres berupa faithfuil budget. Para pemimpin agama di negara yang diklaim sekuler itu merasa berkewajiban untuk menundukkan praktisi-praktisi politiki di Kongres dalam perumusan politik anggaran kepada titah kitab suci.
Secara sederhana kita bisa mengartikan faithful budget itu dengan anggaran beriman yang untuk kondisi Indonesia dapat pula kita sebut “anggaran bertauhid “.
Memang alokasi anggaran dan kebijakan pelaksanaannya adalah sesuatu yang memerlukan pengawasan sepanjang sejarah di negara mana pun yang kadarnya hanya mungkin dibedakan oleh pilihan sistem pemerintahan dan sistem politik pada suatu negara, apakah demokrasi atau tidak. Tradisi demokrasi yang kita fahami tidak sedikit pun mengkendalai nilai partisipasi dari pranata-pranata keumatan seperti MUI dalam ruang itu.
Sekali lagi, ini hanya sebuah keniscayaan yang muncul dari peran prophetik yang memang tak bisa dipisahkan dari keberadaan kepranataan MUI. Kecuali kita memahamkan sekularisasi telah menjadi keniscayaan hidup sehingga negara dan pemerintahan akan kita anggap saja bukan urusan kita sama sekali karena merasa yakin bahwa sebaiknya dipisahkan domainnya dengan domain (urusan) agama. (Bersambung ke hal 4)
PranataPolitik
Negara demokrasi tidak mungkin tanpa partaipolitik yang baik. Selama ini partai politik dikendalai oleh penyakit yang inherent seperti mechanism rekrutmen, kaderisasi, pembiayaan dan lain-lain. Dengan begitu jauhnya moral politikdari agama dengan tingkat keparahan yang bertambah hari demi hari, mungkin agamawan tipikal Indonesia akan merasa lebih baik menganggap urusan politik itus ebagai urusan bagi orang-orang yang tidak atau kurang beriman.
Doktrin ini begitu menguntungkan bagi pihak-pihak yang menginginkan agar kekuatan umat Islam tidak hadir dalam pentas politik. Namun celakanya ialah bahwa kita tak mungkin menghindar dari urusan politik, karena mungkin hanya bernafas sajalah yang tak memerlukan campur tangan politik, itu pun di luar masa perang.
UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah sebuah contoh bagaimana kebutuhan normatif dan konstitusional umat Islam yang memerlukan perlindungan. Namun hingga saat ini perkembangan kearah realisasi yang dimaksudkan oleh UU itu masih jauh dari harapan. Itu menandakan satu hal, bahwa bargaining position umat begitu lemah.
Banyak yang untuk kemaslahatan umat dan bangsa terasa menjadi begitu penting untuk menjadi urusan pranata keumatan seperti MUI. Misalnya tidakkah merasa terganggu dengan mahalnya sebuah kursi di legislatif yang mengakibatkan politik uang menjadi keniscayaan?
Bagaimana jika misalnya jumlah kursi dilagisltif digandakan hingga 10 kali lipat dan diantaranya ada utusan golongan-golongan yang tidak perlu dipilih agar benar-benar tereduksi penyakit demokrasi liberal yang amat merontokkan iman itu, yakni politik uang?
Tidakkah terasa begitu hampanya harapan atas kepemimpinan yang lahir dari model pemilihan langsung yang meniscayakan bersponsor yang sejak awal memerintah hingga akhir periode kepemimpinan terus menerus berkewajiban menunaikan pembayaran utang kepada para pihak yang memerankan diri tak ubahnya debt collector?
MUI tidak salah memberi masukan bernas soal perubahan legal framework demokrasi dan pemilu sehingga pengelolaan negara dan pemerintahan dapat terus mendekati nilai-nilai keilahiyahan dan dengan demikian tak begitu sia-sia berharap akan perwujudan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. (Bersambung ke hal 5)
Penutup
Dalam perkembangan global telah tumbuh sebuah rasisme baru yang dinamakan Islamphobia. Fenomena itu tak terbatas pada negara-negara Barat. Anak-pinak dari rasisme baru itu ialah penyesat anatas makna politik identitas. Padahal identitas adalah subjekter penting dalam politik karena definisi paling umum tentang politik yang terterima di seluruh dunia ialah who gets what kind of value, when and how. Apakah MUI menilai itu bukan bagian dari tugas dakwahnya?
Pertanyaan definisi itu diawali dengan who, yang jawabannya adalah keterangan tentang subjek politik, yakni orang, manusia, rakyat dengan segenap keberadaaan dan aspirasinya. Selama 3 dasawarsa terakhir memang kemunafikan akademisi politik di seluruh dunia tak berhasil menyembunyikan kekuatan agama-agama besar dunia yang terus berkontestasi dalam ranah kekuasaan terserah bagaimana mereka memainkannya.
Padahal, di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan mengetahui nama seseorang saja sudah segera dapat diketahui setidaknya dalam tebakan umum yang jarang meleset tentang afiliasi politik dan orientasi keagamaan yang dicampur-adukkannya dengan politik. Ini bukan sesuatu yang melampaui etika dan moral politik, apalagi di negara beragama seperti Indonesia.
Kembali saya ingatkan pidato HOS Tjokroaminoto 114 tahun yang lalu
“…….Kita belum bisa menempati tempat yang layak di bawah matahari. Kita telah menyaksikan bagaimana kelemahan kita mewujudkan atau meningkatkan kehidupan dan keterampilan kita sesuai Islam. Itu semua disebabkan oleh pengabaian kita atas al-Quran, pendidikan, industri, pertanian, dan komersial.” (*)
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara