Site icon TAJDID.ID

Otonomi Daerah di Omnibus Law

Foto Ilustrasi

Oleh: Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum


Sekalipun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi menyerahkan Undang-Undang Cipta Kerja ke Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (14/10/2020) pasca disetujui bersama sejak (5/10/2020) lalu, persoalan omnibus law RUU Cika masih tercium aroma ‘amis yang menyengat’, dengan versi semerbak bunga/harapan oleh pemerintah.

Sistematika omnibus law RUU Cipta Kerja (Cika) yang terdiri atas 15 bab, 186 pasal, penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal versi 812 halaman yang membahas 11 klaster existing 79 undang-undang dalam penjelasannya disebut (halaman 492) terdiri dari 10 ruang lingkup. Bukan versi lain, sebab paling tidak ada 5 versi yang ramai diperbincangkan.

RUU Cika merupakan penggabungan 11 (sebelas) kluster yang memiliki corak dan paradigma hukum yang tak seragam, menimbulkan polemik serius. Proses cepat laksana kilat serta jauh dari transparan bahkan hingga hari ini naskah akademik yang merupakan keharusan untuk membentuk undang-undang sangat sulit didapatkan, terkesan rahasia paling tidak disembunyikan.

Sementara RUU-nya barulah tanggal 14 Oktober lalu dapat diperoleh di daerah. Selain itu, diperparah tatkala membuka sistematika RUU Cika saja sudah cukup membingungkan, sebab ketika kita membuka RUU Cika, maka harus membuka UU lain yang berkaitan karena RUU Cika menyebutkan menambah atau menghapuskan UU sebelumnya sehingga membuat omnibus law RUU Cika menjadi cukup sulit dimengerti.

RUU Cika menganulir pengaturan lainnya atau bahkan tumpang tindih menyebabkan penolakan terhadap RUU Cika ini semakin menajam dari berbagai organisasi dan lapisan masyarakat. Bahkan, buruh yang katanya akan terbantu serta diangkat derajatnya begitu nyaring menolak RUU ini hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun bersuara dan langsung bertemu Presiden di Istana Bogor beberapa hari lalu.

Namun informasinya keukeh tidak akan mencabut/membatalkan RUU ini. Dengan begitu banyaknya penolakan dari berbagai kalangan, dikhawatirkan terdapat indikasi bahwa substansi RUU Cika ini jangan-jangan merupakan ‘titipan’ WTO dan Bank Dunia.

Baca Selanjutnya…(Page 2)

 

Beberapa waktu terakhir, sejumlah kepala daerah pun juga turut melakukan penolakan terhadap omnibus law RUU Cika ini. Tergerusnya otonomi daerah dalam RUU Cika menjadi satu di antara alasan untuk menolak RUU Cika. Padahal dahulu tuntutan reformasi 1998 ialah otonomi daerah seluas-luasnya yang sebenarnya bahkan desakan bentuk federasi. Kini 22 tahun kemudian, tuntutan yang belum sepenuhnya terkabulkan itu malah ‘diacak-acak’ oleh makhluk yang bernama omnibus law. Berikut ini, opini otonomi daerah (otda) di omnibus law Cika.

Foto ilustrasi. (internet)

Omnibus law RUU Cika didengungkan untuk mempercepat dan mempermudah investasi sehingga menaikkan derajat Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan rendah ke menengah atau maju melalui ekonomi. Sehingga Omnibus law bercita-cita menyapu semua aturan dan menjadikannya satu aturan untuk mempermudah arus modal masuk. Izin-izin berusaha akan ditarik ke pemerintah pusat. Selama ini izin berusaha memerlukan permit berlapis dari bawah ke bupati, lalu naik ke gubernur, sebelum singgah di kementerian terkait di bidang usaha tersebut.

Ringkas kata, berapa jenis surat apakah rekomendasi atau izin untuk usaha tertentu sulit didapatkan kepastian apalagi waktu yang dibutuhkan dan yang pasti aroma permainan (KKN) menjadi variabel penting. Kalau tidak itu, kecil kemungkinan akan memperolehnya. Bahkan, Gubernur telah mengalaminya sendiri pada saat akan membangun “sport centre” di Sumatera Utara.

Jenis dan birokrasi perizinan itu secara teoritis/regulasi dengan praktik yang terjadi serta berbagai syaratnya sangat mengerikan seperti siang dan malam.

Inilah sebenarnya hambatan investasi di Indonesia. Kita mengapresiasi pemerintah yang melihat adanya permasalahan investasi ini. Patut diapresiasi pula, Pasal 110 RUU Cika (halaman 392), mencabut Staatsblad Tahun 1926 no. 226 jo. Staatsblad Tahun 1940 No. 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) yang merupakan peninggalan Belanda dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini.

Sayangnya, terhadap permasalahan inti investasi, alih-alih penindakan dan penegakkan hukum sehingga bersih KKN, namun jawabannya adalah omnibus law.

Sebagaimana yang diketahui melalui draft RUU Cika yang sudah diperoleh oleh kepala daerah, RUU Cika bisa melemahkan semangat desentralisasi administratif yang dimaksudkan untuk efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Wewenang pemerintah daerah yang sudah diatur sedemikian apik melalui beberapa peraturan perundang-undangan berkurang karena sejumlah pasal dalam omnibus law.

Selama ini pemerintah pusat berpendapat hambatan utama dalam investasi adalah karena kewenangan yang terdesentralisasi. Padahal bila dicermati lebih jauh, penyebab utama hambatan investasi ialah persoalan mental korup bukan melulu soal proses. Jadi pengambil alihan pemerintah pusat bukan menjadi jaminan bahwa penyebab hambatan investasi dapat diatasi.

Setidaknya terdapat dua poin utama yang menjadi alasan tergerusnya semangat otonomi daerah dalam RUU Cika yakni, Pertama, adanya penarikan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara oleh pemerintah pusat, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin. Berbeda dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang telah mendelegasikan kewenangan tersebut kepada Pemda.

Kedua, potensi penarikan kewenangan perizinan dari pemerintah daerah ke pusat yaitu sentralisasi perizinan berimplikasi terhadap semakin menjauhkan pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat terdampak. Dua hal ini dapat berakibat terhadap munculnya gangguan pelayanan publik, serta semakin sulitnya penyampaian aspirasi untuk mengkiritisi kebijakan pemerintah.

Baca Selanjutnya….(Page 3)

Berkaitan dengan penarikan kewenangan yang desentralisasi menjadi milik pusat, berakibat besarnya kewenangan di pemerintah pusat, sehingga ada potensi timbulnya kroni-kroni baru di sekitar lingkaran presiden. Hal tersebut dapat timbul lantaran takutnya akan ada pandangan bahwa seseorang yang berhubungan langsung dan dekat dengan Presiden dapat bertindak sebagai “perantara”, untuk memudahkan kepentingan tertentu.

Foto Ilustrasi (twitter)

Dalam bidang pertambangan, kewenangan dan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sangat penting dalam perjalanan pembentukan peraturan perundang-undangan terutama menyangkut persoalan mineral dan batubara.

Perubahan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan menjadi UU No. 4 Tahun 2009 dipengaruhi oleh dinamika desentralisasi kekuasaan pemerintah (otonomi daerah) setelah Orde Baru tumbang dan Amandemen Kedua UUD NRI 1945 Tahun 2000. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 10 Juni 2020 pun meredesentralisasi kewenangan pemberian izin dan pengawasan pada pemerintah pusat dan merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan mandat reformasi.

Otonomi Daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Amandemen Kedua UUD NRI 1945, konsep desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah tertuang pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengakui eksistensi pemerintahan daerah baik provinsi, kabupaten dan kota dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun otonomi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah adalah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Selanjutnya baca….(Page 4)

Gagasan desentralisasi dan otonomi daerah dari Amandemen Kedua UUD NRI 1945 ini diatur lebih lanjut dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Foto ilustrasi (columnist)

Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal rasional, serta agama. Adapun UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur kewenangan urusan pertambangan, sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 jo. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945 dan karena berada diluar urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan pertambangan dengan otonomi seluas-luasnya.

Meski demikian, UU No. 32 Tahun 2004 tetap mengatur bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan tersebut, pemerintah daerah memiliki hubungan dengan Pemerintah (pusat) dan pemerintahan daerah lainnya.
Dengan mengusung semangat desentralisasi dan otonomi daerah, kewenangan urusan pertambangan, mineral dan batubara antara pemerintah pusat dan daerah kemudian dibagi secara tegas dalam UU No. 4 Tahun 2009.

Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 menyebutkan bahwa penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Dalam pengaturannya lebih lanjut, UU No. 4 Tahun 2009 membagi kewenangan urusan pertambangan mineral dan batubara pada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Beberapa kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang diberikan kepada daerah provinsi dan kabupaten kota diantaranya terkait penyelidikan, penelitian dan inventarisasi; pemberian IUP dan IPR; pembinaan, pengawasan serta penyelesaian sengketa.

Pengakuan terhadap kewenangan pemerintah daerah atas urusan pertambangan kembali diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.10/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa “pembagian urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif haruslah berdasarkan pada semangat konstitusi yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan dalam menentukan Wilayah Pertambangan (WP), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), serta batas dan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Oleh karena itu, frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 UU No.4 Tahun 2009 diubah menjadi “setelah ditentukan oleh pemerintah daerah.”

Meski Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa pembagian urusan pemerintah dalam konstitusi adalah otonomi yang seluas-luasnya serta mengakui bahwa pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara berdampak langsung terhadap daerah, perkembangan pengelolaan mineral dan batubara yang ada kemudian secara bertahap mengarah kembali pada sentralisasi.

Situasi ini terlihat dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015, yang tidak memberikan kewenangan urusan pemerintahan bidang mineral dan batubara pada pemerintah kabupaten/kota. Lebih lanjut pada UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, kewenangan pemerintah daerah ini ditarik ke pusat. Pasal 4 ayat (2) tersebut diubah menjadi penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Penguasaan dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Tidak hanya itu, semangat reformasi kini digerus juga dalam RUU Cika.

Tidak sinkronnya arah sentralisasi dalam omnibus law RUU Cika dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.10/PUU-X/2012 dan UUD NRI 1945 pada akhirnya berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup sebagai konsekuensi sentralisasi kewenangan penyelenggaraan urusan pertambangan.

Perpindahan kewenangan dari pemda ke pusat menimbulkan berbagai risiko seperti hilangnya pendapatan daerah hingga kerusakan lingkungan karena hilangnya pengawasan pemda terhadap kegiatan pertambangan. Perubahan sentralisasi tersebut berdampak buruk terhadap tata kelola pertambangan nasional.

Sebenarnya Pemda lebih memiliki keterjangkauan pengawasan lebih kuat dibandingkan pusat karena lokasi yang berdekatan dengan wilayah pertambangan. Dalam RUU itu bahkan ada satu pasal yang secara jelas memberikan mandat penuh kepada pemerintah pusat menganulir aturan dalam undang-undang lain yang belum terserap dalam omnibus law untuk dibatalkan.

Mencermati Pasal 181 ayat (2) RUU Cika pada halaman 586 menyebutkan harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Patut dipertanyakan, bagaimana mungkin pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah yang sebelumnya harus melalui Mahkamah Agung terlebih dahulu perihal pembatalannya?.

Harmonisasi dan sinkronisasi yang telah tersentralisasi juga diperburuk dengan keharusan pembentukan peraturan pelaksana dalam waktu singkat. Pasal 185 huruf a dan b dalam RUU Cika halaman 487, menjadi soal sebab bagaimana mungkin untuk melakukan harmonisasi terhadap 79 UU hanya diberi waktu paling lama 3 bulan? Sementara kodisi pandemi Covid-19 juga tak kunjung usai.

Apakah tenggat waktu tiga bulan ini sudah cukup bagi pemerintah membuat aturan turunannya mengingat kondisi pandemi saat ini?. Khusus di Sumatera Utara dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan aturan terhadap omnibus law ini.

Maka sangat naif sekali bila diharapkan diikutsertakannya berbagai lapisan masyarakat seperti seyogyanya dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan terhadap pembuatan peraturan pelaksanaan RUU Cika ini. Akibat singkatnya waktu yang diberikan, dipastikan aspirasi masyarakat tidak dapat diakomodir secara komprehensif jika draft RUU baru saja didapatkan.

Jika presiden tidak mau mengeluarkan Perppu atas substansi RUU Cika ini, sebaiknya Presiden mengeluarkan Perppu berisi penangguhan pelaksanaan RUU Cika dan pemberian waktu kepada pemerintah daerah untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan pelaksananya. Namun, jika hanya diberi waktu 3 bulan saja, maka dapat dikatakan otonomi daerah memang dinihilkan dalam omnibus law ini atau secara tidak langsung dapat disebut bahwa memang lah pendapat kawan-kawan di daerah hanya sebatas angin lalu saja. (*)


Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara.

Exit mobile version