D alam tataran filosofis, demokrasi memang tampak begitu ideal sebagai sebuah paham dan konsep yang sangat mengangungkan dan memuliakan eksistensi rakyat. Artinya, peran rakyat dalam narasi demokrasi adalah tema sentral yang tidak terbantahkan.
Keutamaan eksistensi rakyat itu dapat dilihat dari rumusan defenisi demokrasi yang selam ini galib kita dengar, dimana demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seolah-olah. defenisi ini ingin menegaskan betapa dominanya rakyat dalam konsep demokrasi
Bukan cuma itu, keagungan rakyat dalam demokrasi juga dapat dilihat dari sebuah adagium yang sangat populer, yakni Vox Populi Vox Dei. artinya suara rakyat adalah suara Tuhan.
Coba perhatikan, dalam adagium itu rakyat begitu disanjung dan diagungkan secara eksesif. Tidak tanggung-tanggung, bahkan harkat rakyat telah dilambungkan setinggi langit, dimana suaranaya disetarakan dengan suara Tuhan
Degradasi Rakyat
Namun, seketika keluar dari wilayah filosofis, secara praksis, dalam praktiknya demokrasi justru ternyata lebih sering memperlihatkan kesan yang paradoks. Tatkala demokrasi telah menjelma jadi sebuah prangkat sistem, mekanisme dan prosedur yang formal juga kaku, keberadaan rakyat justeru cenderung mengalami degradasi. Rakyat justru lebih lebih sering diabaikan dan dinistakan.
Rakyat memang masih tetap sering disanjung dan dipuja. Akan tetapi itu hanya sebatas dalam jargon dan retorika saja, tidak lebih. Faktanya, rakyat bukan hanya sering ditipu, dikhianati dan dikebiri, tapi juga kerap “dibunuh” di dalam rumahnya sendiri.
Akhirnya, dalam demokrasi rakyat hanya jadi sosok “raja” tanpa tahta dan mahkota. Sudah lama tahta dan mahkota rakyat dirampas oleh segelintir orang licik yang selalu mengaku sebagai wakil dan pelayannya di istana demokrasi.
Begitulah kecenderungan yang terjadi selama ini, kebaikan umum (bonum commine) bagi rakyat (hoi polloi) yang menjadi cita-cita luhur demokrasi filosofis ternyata telah gagal dibumikan ke dalam tradisi kehidupan demokrasi praksis sehari-hari. Pengamalan nilai-nilai luhur demokrasi filosofis justru lebih sering dimanipulasi, sehingga realitas demokrasi kemudian mengalami distorsi, pengerdilan dan pendangkalan.
Demokrasi pun kemudian lebih terkesan hanya sebagai instrumen untuk mengakomodir nafsu kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja. Dan parahnya, semua itu dilakukan melulu dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Tentang hal ini, menarik sekali apa yang dikatakan oleh seorang jurnalis Aysha Taryam dalam bukunya “The Opposite of Indifference: A Collection of Commentaries”, dimana dia menyarankan agar demokrasi harus selalu dilihat dengan persfektif filosofis dari pada politis. Karena, menurutnya, setelah demokrasi lahir dari seorang filsuf lalu kemudian dibunuh oleh politisi.
Politik Sentris
Boleh jadi, apa yang dikatakan Aysha Taryam tersebut sepertinya ada benarnya. Dunia demokrasi kontemporer, termasuk yang berlaku di negeri ini, memang cenderung terlalu dimaknai secara politik sentris. Artinya, cara-pandang para politisi yang cenderung pragmatis terlalu dominan dalam mewarnai konstelasi kehidupan demokrasi. Seakan-akan dalam memaknai cita-rasa demokrasi yang berlaku hanya perspektif dan interpretasi politisi saja. Akibatnya, dunia demokrasi pun mengalami peyempitan makna, semata-mata selalu diidentikan dengan dunia politik an sich.
Pada hal, bila dicermati lebih dalam, sesungguhnya demokrasi itu tidak harus melulu soal politik. Jangan lupa, demokrasi adalah salah satu puncak karya peradaban manusia, yakni hasil dari eksplorasi dan kontemplasi dari para filusuf di zaman Yunani Kuno dulu yang mencita-citakan sebuah tatanan ideal kehidupan sosial ummat manusia di muka bumi ini.
Memang, dalam tradisi demokrasi pragmatistik, para pelaku politik, terutama para politisi, telah banyak melakukan inovasi dan modifikasi terhadap demokrasi. Dan konon, menurut mereka, semua itu dilakukan dalam rangka sebagai upaya untuk “penyempurnaan” tatanan sistem dan mekanisme kehidupan demokrasi, biar berjalan secara efektif dan efisien.
Namun ironisnya, disadari atau tidak dan disengaja atau tidak, kreativitas para politisi yang teraktualisasi dalam karya legislasi itu justru sering telah mereduksi bagian paling substansial dan esensial dari demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan sejati rakyat.
Tepatlah kiranya apa yang diungkapkan oleh komedian berhaluan kiri, Graucho Marx; bahwa politik itu tidak lain adalah seni mencari dan menemukan masalah, namun sering sekali keliru dalam mendiagnosis masalah itu. Dan akhirnya juga kerap salah dalam menerapkan solusi atas masalah tersebut.
Hal senada juga ditegaskan oleh novelis Tom Robbins, dia percaya pada solusi politik untuk masalah politik. Tapi, menurutnya, masalah utama manusia bukan politis, melainkan filosofis. Jadi, katanya, sampai manusia dapat memecahkan masalah filosofis mereka, maka mereka akan dihukum untuk memecahkan masalah politik mereka secara berulang-ulang.
“Sungguh ini sesuatu yang kejam, membosankan dan terus-menerus,” ujar Tom Robbinson.
Purifikasi Demokrasi
Berangkat dari realitas dunia demokrasi yang cenderung banal itu, maka perlu kiranya dilakukan upaya pelurusan pemahaman tentang hakikat demokrasi itu sendiri. Harapannya, dengan ikhtiar ini kesenjangan antara das sein dengan das sollen demokrasi sedapat mungkin bisa dipersempit dan diminimalisir.
Salah satu ikhtiar yang mungkin patut dilakukan untuk menghidupkan kembali elan demokrasi filosofis adalah “purifikasi demokrasi”, yakni sebuah seruan tentang pentingnya upaya pemurnian terhadap praktik demokrasi yang diamalkan selama ini, termasuk di Indonesia.
Purifikasi demokrasi yang dimaksud di sini sama sekali bukan sebentuk romantisme historis, yakni ingin mengajak kita kembali ke masa lalu dan kemudian mengidealkan model demokrasi ala Yunani Kuno untuk diterapkan persis di masa sekarang. Tentunya itu sangat musykil dan tidak signifikan lagi.
Disini purifikasi demokrasi lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan kesadaran kultural yang memandang pentingnya kembali kepada spirit dan cita-cita sejati demokrasi, sembari juga proaktif melancarkan kampanye dan aksi resitensi terhadap segala bentuk manipulasi dan eksploitasi terhadap demokrasi itu sendiri.
Praksisnya, dalam demokrasi kepentingan rakyat harus selalu jadi prioritas utama untuk diperjuangkan, bukan hanya dalam tataran jargon dan retorika saja, tapi dalam tindakan nyata yang lebih konkrit. Sehingga dengan demikian, kemudian diharapkan akan tercipta sebuah bangunan kehidupan demokrasi dan politik yang lebih “otentik” (meminjam istilah Hannah Arendt).
Demokrasi Pancasila
Dalam konteks Indonesia, secara paradigmatik sebetulnya gagasan wacana demokrasi filosofis cukup relevan dan signifikan untuk diterapkan dan dibudayakan. Karena, dari awal bangsa ini sudah memiliki Pancasila, yang diyakini sebagai sebuah formulasi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila itu semestinya menjadi referensi utama untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara republik ini, termasuk dalam hal berpolitik dan berdemokrasi.
Selama ini, kita memang sudah mengenal terminalogi “Demokrasi Pancasila” yang disebut-sebut sebagai nama pilihan demokrasi ala Indonesia. Namun masalahnya, secara empiris, sama sekali kita belum melihat dan merasakan Demokrasi Pancasila itu benar-benar telah menghablur menjadi karakter spesifik atau identitas konkrit dari corak kehidupan demokrasi bangsa ini. Sama sekali tradisi Pancasila belum berperan sebagai guide democracy. bangsa ini, Artinya, keluhuran nilai-nilai Pancasila belum mampu kita implementasikan secara konkrit untuk memandu gerak kehidupan demokrasi kita.
Justru selama ini pemaknaan dan penghayatan kita terhadap Demokrasi Pancasila itu sepertinya cenderung dokmatis dan formalistik. Bahkan, parahnya corak tradisi demokrasi yang berlaku justru sering bertolakbelakang dengan elan filosofi sejati Pancasila itu sendiri.
Musykil
Sepertinya harus diakui, menghidupkan kembali tradisi perspektif filosofis dalam dunia demokrasi yang kadung banal bukan perkara gampang. Alasannya, ada kecenderungan mental dan cara berpikir kebanyakan para politisi negeri ini sudah terlalu biasa dengan hal-hal yang serba dangkal dan cenderung instan.
Sebaliknya, dewasa ini sangat sukar untuk menemukan sosok politisi yang benar-benar visioner, yakni politisi yang mamiliki perspektif filisofis dalam pikiran dan kerja pengabdiannya.
Bagi kebanyakan politisi, demokrasi itu tidak lebih dari sekedar sebagai dunia yang serba realistik, praktis dan terukur. Makanya dalam berdemokrasi, yang membuncah di benak mereka cuma obsesi dan ambisi yang pragmatis, yakni bagaimana mereka dapat meraih popularitas dan hedonitas, sekaligus bisa memenangkan kepentingan diri dan kelompoknya.
Penutup
Berangkat dari realitas tersebut, tidak salah lagi kiranya yang kita butuhkan sekarang adalah tradisi kehidupan demokrasi yang lebih bermartabat dan bermanfaat langsung bagi rakyat. Dan untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, tentunya dibutuhkan iktikad, ikhtiar dan optimisme yang tiada henti dari segenap anak bangsa.
Seperti yang dikatakan Goerge Weigel, demokrasi adalah eksprimen yang selalu belum selesai, menguji kemampuan setiap generasi untuk hidup bebas mulia.
Dari itu, tidak berlebihan jika gagasan demokrasi filosofis bisa diagendakan menjadi salah satu pilihan alternatif untuk segera diejewantahkan dalam seluk-beluk kehidupan politik bangsa ini. (*)
M. Risfan Sihaloho, Pemred TAJDID.ID