Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Muhammadiyah dan NU menyarankan kepada pemerintah, agar menunda penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020. Alasannya sangat-sangat obyektif, realistis, dan rasional. Apa saja itu? Dan yang perlu dicatat, bahwa Muhammadiyah tak punya kepentingan politis apapun. Murni semata pertimbangan kesehatan, kemanusiaan, dan kecerahan akal budi.
Dua ormas Islam terbesar memandang, bahwa saat ini kasus positif covid-19 meningkat sangat signifikan. Banyak daerah-daerah menjadi zona merah. Pihak yang terpapar virus Corona sudah merata ke segala kalangan.
Kondisi obyektif warga masyarakat yang tidak disiplin mematuhi protokol kesehatan ada di mana-mana hingga bermunculan klaster-klaster baru. Komitmen warga masyarakat melawan covid-19 masih sangat rendah.
Fakta-fakta yang lalu, warga masyarakat masih banyak sering berkerumun, dengan mengada-adakan acara. Plus dengan mengabaikan protokol kesehatan. Sementara pilkada penuh dengan acara-acara kerumunan.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, mustinya Pemerintah mengakomodirnya dengan legowo. Tapi saran tinggal saran. Pemerintah tetap kekeh tetap ndableg dengan tekad pilkadanya.
Sayang sungguh sayang, alasan Pemerintah menolak saran dari dua ormas Islam tersebut dengan menggunakan narasi yang tak logis, bahkan tak nyambung. Ini tampak jelas disengaja, dan asal beralasan. Mari kita perhatikan dengan seksama!
Pemerintah tak bisa menunda pilkada, karena kita semua tak ada yang tahu kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Ini alasan tak logis dan tak nyambung. Mengapa? Belum lagi alasan-alasan para buzzerRp, baik dari para pegiat medsos ataupun dari para akademisi.
Karena Muhammadiyah dan NU tak pernah menyebutkan hingga habisnya masa pandemi. Setidaknya pilkada bisa dilaksanakan jika kasus positif covid-19 telah landai dan terkendali. Sama sekali tak menyebutkan hingga pandemi covid-19 berakhir.
Yang berikutnya pemerintah beralasan, bahwa pilkada di masa pandemi bukan hal yang mustahil. Para elit negeri ini mencontohkan, bahwa negara Singapura, Korea Selatan, dan Jerman nyatanya telah berhasil melaksanakan pilkada di masa pandemi.
Ini alasan yang bodoh. Dan ini adalah logika yang amburadul. Mengapa? Karena negera-negara tersebut adalah negara maju. Sikap mental warga masyarakatnya jauh berbeda dengan sikap mental warga masyarakat Indonesia. Khususnya sikap mental dalam melawan covid-19. Dan itu fakta yang sangat-sangat telanjang.
Tentu tak sebanding menjadikan negara-negara maju tersebut menjadi rujukan negara Indonesia dalam pelaksanaan pilkada di masa pandemi covid-19. Dalam banyak sisi, kita tak sebanding dengan mereka. Maka obyektiflah, realistislah, dan rasionallah!
Sungguh, sejatinya rakyat faham dan sadar, bahwa ini respon rezim yang ngawur dan sembarangan. Maka pertanyaannya, mengapa Pemerintah ndableg dan tak malu-malu memberi respon yang seamburadul itu?
Maka Pemerintah atau para elit tak perlu sewot, jika sebagian rakyat mencurigai, bahwa di belakang alasan-alasan kumuh tersebut ada agenda para cukong. Bukankah Menkopolhukam Mahfud MD telah mensinyalir, bahwa 92% Kepala Daerah didanai cukong. Bah, mengerikan sekali negeriku dan para pemimpinku ini!
Wa-ALLAHU a’lam bishshawwab…[*]
BACA JUGA:
- Menyikapi Pembangkangan Warga dan Kader Terhadap Maklumat Persyarikatan
- Jerinx SID Numpang Beken Via Teori Konspirasi
- Lompatan Logika Robby Karman di IBTimes
- Surat Terbuka untuk Yang Terhormat Mas Nadhiem Menteri Pendidikan Nasional
- Mengawamkan Sekaligus Mengarusutamakan Moderasi Keindonesian Gagasan Haedar Nashir
- Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Anti Syariat Poligami?