Justru kunci kesesatan kajian toleransi oleh banyak kalangan adalah ketika dibesar-besarkan keinginan menyetarakan agama meski dengan diksi yang diperhalus.
Rasanya cukuplah naskah pidato pengukuhan guru besar Abdul Mu’ti yang berjudul “Pendidikan Agama Islam yang Pluralistis: Basis Nilai dan Arah Pembaruan” menjadi dokumentasi dalam kearsipan kampusnya. Tidak usah dirujuk dalam pelaksanaan pendidikan kecuali di lembaga-lembaga tertentu di luar Islam.
Toleransi telah menjadi topik serius cukup lama di Indonesia, namun kebanyakan hanya mendekatinya sekitar pinggiran dan tak menghasilkan banyak manfaat, kalau bukan mudharat.
Padahal toleransi itu amat sederhana. Fahami dan amalkan ajaran agamamu sekuat tenaga. Itu sudah include toleransi. Jadi tidak usah memikirkan sebesar apa pujian yang didamba dari penganut agama lain.
Justru kunci kesesatan kajian toleransi oleh banyak kalangan adalah ketika dibesar-besarkan keinginan menyetarakan agama meski dengan diksi yang diperhalus.
Mungkin ada guru agama yang sangat sempit pemahamannya atas agama yang dianutnya dan sekaligus bidang studi yang diajarkannya. Namun itu bukan berarti agamanya yang harus diterjemahkan sesuai demand politik yang berkembang.
Sebagai negara yang amat lama dijajah secara bergiliran oleh 6 bangsa yang keseluruhannya secara formal dapat dibuktikan tidak suka dan bahkan memusuhi Islam, dan dengan fakta Indonesia adalah negeri dengan penduduk mayoritas Islam, orang Indonesia sulit keluar dari sindrom Inlanderitas.
Inlanderitas adalah residu cara berfikir dan budaya yang merasa rendah diri dan umumnya fatalistik dan nrimo sembari gumun atas hal-hal yang dianggapnya baru dan moderen.
Sebetulnya jika rajin menelaah dan agak independen menelaah, orang sekarang ini sangat mudah menemukan jalan terbaik membangkitkan semangat hidup dan semangat juang orang-orang di dunia yang mengalami tragedi pasca kolonial.
Memang diperlukan ijtihad mandiri seperti dilakukan oleh KH Dahlan pendiri Muhammadiyah. Ia tak pernah merasa rendah diri berhadapan dengan kulit putih yang umumnya dipanggil tuan pada masanya. Juga tak merasa hatus menjadi komoditi di depan timur asing yang pada masanya dipanggil toke.
Dilema ini memang kompleks sebagaimana secara struktural diulas oleh dalam Gayatri Spivak “Can Subaltern Speak”. Atau bahkan dapat dipelajari dengan baik dari pikiran-pikiran Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain.
Di Timur Tengah, sebagaimana dikaji serius oleh Saba Mahmood, pluralisme dan bahkan kebebasan beragama adalah proyek anti Islam untuk memperbesar jaminan beroperasi secara leluasa lembaga-lembaga sekuler dan pengkabaran Injil untuk bereloh pertambahan pengikut setiap menit. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU dan Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.