Site icon TAJDID.ID

Genealogi dan Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah: Bukti Gerakan Tajdid Sejak Awal

Judul Buku        : Genealogi Dan Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942

Penulis               : Farid Setiawan

Penerbit             : Semesta Ilmu, Yogyakarta

Tebal                 : 358 halaman

Cetakan             : I, Juli 2015

ISBN                 : 978-602-72517-6-2


Pendidikan moder merupakan salah satu bukti dakwah tajdid atau pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Farid Setiawan sebagai penulis buku ini membawa pembaca seolah-olah berada dan menyaksikan keadaan pada saat awal berdirinya Muhammadiyah.

Dalam keadaan terpolarisasinya lembaga pendidikan pada zaman penjajahan Belanda, antara pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sekolah Belanda yang sekuler, KH Ahmad Dahlan (diberi  gelar Khatib Amin oleh Kraton Yogyakarta) melakukan tajdid atau pembaharuan dengan mendirikan lembaga pendidikan modern dengan nama “Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah” pada tanggal 1 Desember 1911.

Lembaga pendidikan tersebut mengajarkan ilmu agama dan umum, dilaksanakan dengan sistem klasikal dan memiliki kurikulum seperti lembaga pendidikan Belanda, tetapi isinya tetap Islam sebagaimana pula mengadaptasi pesantren.

Keberanian K.H. Ahmad Dahlan dengan ide pendidikan modernnya itu membuat banyak orang heran, terbelalak, ada juga yang  mencibir dan mencacinya sebagai kyai sesat dan antek Belanda. Kenapa? Karena mereka belum dapat memahami ide pembaharuan Khatib Amin tersebut.

Pondok pesantren sudah lama menjadi lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Lembaga tersebut yang notabenenya sebagai lembaga Islam hanya fokus mengajarkan ilmu-ilmu ke-Islaman, di antaranya: Bahasa Arab, fiqih, Qur’an Hadist, Tarikh, Aqidah, Akhlak, Tasauf dan lainnya tanpa mengajarkan ilmu-ilmu umum.

Sementara pada sisi lainnya sekolah Belanda melakukan sebaliknya yakni, hanya menagajarkan ilmu-ilmu umum tanpa memberikan ilmu Agama Islam pada siswanya. Keadaan ini mengarah pada pendidikan sekuler, Belanda berusaha menjauhkan agama dari kehidupan siswanya.

Namum demikian penulis buku ini mengingatkan jangan terjebak pada simplifikasi (peyederhanaan) latar belakang berdirinya pendidikan modern Muhammadiyah tersebut.

Secara komprehensip penulis buku ini menyebutkan bahwa tidak sesedarhana itu, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan KH Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan modern.

Pertama, karena kecerdasan yang dimilki oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dengan kecedasan yang dimilikinya KH Ahmad Dahlan dapat melakukan pembaharuan dalam kontek ke-Indonesiaan. Dengan kata lain K.H. Ahmad Dahlan dapat mengadaptasi gerakan pembaharuan yang berlangsung di Timur Tengah bukan mengadaposi.

Begitu juga dengan keberadaannya pada organisasi Budi Utomo yang sangat diperhitungkan, dapat berkomunikasi dengan berbagai pihak. Semua hal tesebut tentu berkat kecerdasan yang dimilikikanya.

Kedua, sekularisasi pendidikan Belanda. Sebagaimana telah disebutkan di atas sekolah Belanda tidak mengajarkan ilmu-ilmu Agama Islam, yang pada akhirnya menjadikan pribadi yang sekuler. Ini merupakan watak kolonial untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.

Ketiga, keadaaan pesantren yang sedang mengalami kemundurun. Manajemen pesantren pada waktu itu fokus pada figur kyai, berkembang atau tidaknya sebuah pesantren tergantung kyainya.

Keempat, pemberantasan buta huruf. Pada abad ke 19 hingga abad ke-20 masyarakat masih banyak yang buta huruf. Dengan kata lain tingginya angka masyarakat yang tidak bisa tulis baca.

Buku ini bukan hanya memaparkan pendidikan Muhammadiyah pada masa K.H. Ahmad Dahlan, tetapi juga pada masa generasi awal Muhammadiyah  dalam rentang waktu 1911-1942. Ijtihad  pendidikan generasi awal yang menerapkan manajemen berbasis persyarikatan (bukan berbasis sekolah/MBS) dengan memperkuat sistem manajemen dengn mendirikan Majelis Pimpinan dan Pengadjaran Moehammadiyah. Sikap yang kuat untuk menolak ordonansi guru yang diberlakukan pemerintah Belanda, karena hakikat orodonansi guru mempersulit guru dalam pembelajaran Agama Islam di Sekolah.

Pada bagian terakhir buku ini, penulis memaparkan bahwa pada rentang tahun 1911-1942 atau sebelum kemerdekaan, pendidikan Muhammadiyah sudah memiliki sistem pendidikan sendiri. Sistem pendidikan Muhammadiyah sudah tergolong modern sebagaimana layaknya sistem pendidikan saat ini.

Sistem Pendidikan Muhammadiyah sejak dulu sudah memiliki desain kurikulum, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran, pembiayaan pendidikan, ketentuan hari libur, dan program pemetaan mutu. Semua unsur sistem pendidikan tersebut tentunya dengan bahasa atau yang khas pada masa itu, tetapi memilki substansi yang sama dengan sistem pendidikan modern saat ini.

Buku ini memiliki pembelajaran yang luar biasa, mengungkap fakta dan spirit Tajdid atau pembaharuan yang dilakukan oleh pendiri dan aktivis Muhammadiyah lainnya pada masa itu. Semakin meneguhkan bahwa Muhammadiyah memang berwatak gerakan dakwah (dalam arti luas) tajdid yang berkemajuan. (*)


Resensiator: Ardinan, M.Pd, Kepala SD N 32 Pasaman Kab. Pasaman Barat/ Alumni PPs UII Yogyakarta/Sekretaris Majelis Tabligh PDM Pasbar.

Exit mobile version