Jika pemerintah semakin terbiasa dan semakin merasa benar berfikir sendiri untuk kepentingan kelompok dan rezimnya, maka jalan untuk sebuah kekacauan besar selalu terbuka.
Dalam upaya memahami lebih baik gerakan sosial (social movement) dan gerakan-gerakan pemberontakan lainnya, konon ada sebuah konsep yang lazim digunakan dalam beberapa cabang ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi dan sosiologi. Konsep itu disebut relative deprivation (RD).
Secara harfiah RD bermakna “perasaan keterampasan”. Perasaan keterampasan itu pun dikategorikan subjektif, artinya hanya diukur dengan cara pandang orang-orang yang merasa dirampas.
Memang sebuah perasaan keterampasan dapat sekaligus bersifat objektif dan subjektif. Di antara sejumlah teori yang dilahirkan oleh para pemikir sosial dunia, konsep RD ini kemudian dianggap menjadi salah satu penjelasan memadai tentang mengapa selalu muncul gerakan sosial.
Dari penjelasan teori dan pemaparan kasus-kasus yang ditelaah dari berbagai belahan dunia, akhirnya diyakini bahwa pemerintah yang peka (sensitif dan responsif) akan selalu bersedia mempelajari dan memahami ketidak-puasan yang berkembang di tengah masyarakat, dan itu bukan tidak boleh semata-mata karena takut digulingkan (kudeta).
Keadilan Tak Tertawar
Teori dan penjelasan RD pertama kali dikonstruk oleh Stouffer dan rekan-rekannya pada tahun 1949 saat mereka memberi pembuktian akademis atas pertanyaan “mengapa tentara Amerika beretnis asal Afrika (kulit hitam) yang ditempatkan di Amerika bagian selatan lebih puas dibandingkan dengan yang ditempatkan di utara selama Perang Dunia II”.
Selama lebih dari setengah abad lamanya popularitas penerapan teori ini mencerminkan manfaat untuk memahami berbagai paradoks yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Ini pengakuan dari Tyler, Boeckmann, Smith, & Huo (1997) dan juga Miller, Bolce & Halligan (1977). Mereka menggunakan teori ini saat mempertanyakan “mengapa pada tahun 1960 kerusuhan perkotaan di Amerika Serikat terjadi”.
Kemudian Crosby (1982) bergerak ke sudut lain, yakni dengan sebuah pertanyaan mengapa perempuan yang tidak bekerja pada umumnya lebih pemarah (mudah marah) dibandingkan dengan rekan-rekan pria mereka yang berpenghasilan kurang.
Sebelumnya, tahun 1970, sebuah buku yang merangkum banyak paparan kasus tentang RD diterbitkan oleh Sylvia L thrupp. Memang buku ini lebih fokus pada berbagai jenis pemberontakan dan perlawanan berbasis ideologi keagamaan, dari masa ke masa. Anatomi yang begitu jelas digambarkan dari semua kasus yang termuat dalam buku ini memberi ketegasan bahwa studi tentang gerakan keagamaan revolusioner begitu penting difahami dalam kaitannya dengan pertanyaan bagaimana mereka memahami diri sendiri dan perlakuan buruk orang (bangsa) lain serta tindakan-tindakan apa yang mereka wujudkan setelah itu.
Pesan terpenting dari Sylvia L.Thrupp dan kawan-kawan untuk konteks kekinian tentulah seruan keadilan dan seruan perdamaian. Bagaimana umat sedunia yang hidup di bawah langit dan matahari yang sama, meski beda iklim, suku dan kebangsaan, bisa cakar-cakaran. Padahal sudah semakin diakui kesaling-tergantungan sesama. Keadlian mestinya memang tidak untuk ditawar.
Perasaan Keterampasan. RD adalah sebuah fakta sosiologis dan psikologis yang berwujud karena kesadaran atas berbedanya harapan dan kenyataan. Dalam hidup ini setiap orang, setiap kelompok, setiap masyarakat dan setiap Negara, selalu memiliki nilai-nilai harapan (value of expectation), di samping nilai-nilai kemampuan (value of capability).
Jika harapan-harapan itu dianggap begitu wajar akan tetapi selalu saja tidak dapat terpenuhi, maka timbullah perasaan aneh yang jika terus-menerus dan berkepanjangan dapat menjurus kepada apa yang disebut perasaan keterampasan. Apalagi usaha dan perjuangan yang bersifat normal untuk meraih harapan itu sudah dianggap tak lagi memadai. Itulah inti konsep RD.
Setiap orang, setiap kelompok, setiap masyarakat dan setiap Negara, pada akhirnya tahu apa yang menghalangi mereka dalam berusaha memperjuangkan harapan-harapan mereka untuk hidup (sejahtera) sesuai dengan perkembangan nilai-nilai kemajuan dan harapan-harapan yang mereka miliki. Mereka akan berusaha mengenali semua itu, menstrukturkannya dan memposisikannya sebagai musuh. Tetapi sudah barang tentu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan musykil tentang ketidak-layakan keperiadaan hidup (kondisi objektif) akan selalu tergantung pada sub-perbandingan subjektif.
Misalnya, ketika orang berfikir bahwa di Pulau Jawa jembatan banyak sekali meski sungainya tidak ada (jembatan layang), sedangkan di tempat kita (luar Jawa) banyak sekali sungai yang mestinya dibangunkan jembatan namun tak pernah diwujudkan (objektif), karena memang kita di sini adalah warga Negara kelas dua (subjektif).
Jikapun satu ketika ada pembangunan jalan dan jembatan, belakangan diketahui kualitasnya begitu buruk. Tuduhan semisal “betapa hina posisi kita di mata para penipu yang menamakan diri pemerintah ini”, semakin lama semakin tak terhindari. Era informasi dan perkembangan keterbukaan semakin membantu untuk memposisikan setiap orang dan institusi dalam ranah pertanggungjawaban, dan masyarakat beringsut maju ke arah itu.
Begitulah, bahwa dalam teori RD selalu penting perbandingan dan interpretasi atas fakta-fakta yang dapat ditandai sebagai ketidak-wajaran. Perubahan-perubahan dalam tata pemerintahan yang dipengauhi oleh tekanan dunia serta peran-peran social empowering dari institusi-institusi kemasyarakatan tentu berperan dalam mengasah kemampuan berfikir dan menuntut masyarakat.
Jika dulu (zaman otoriter) orang takut memberi pendapat meski dirinya sudah diperlakukan tidak adil, maka kini situasi dan kondisinya begitu berbeda. Banyak kalangan mencatat kemajuan demokrasi bertanggungjawab atas perubahan ini, meski dalam evaluasi keseluruhan, demokrasi itu tidak berkembang sesuai harapan. (Bersambung)
Mobilisasi
Dengan perubahan politik yang demikian drastis, dan dengan kekuasaan (fisik) dan persenjataan di tangan, dalam ketidak-mampuan negara memberi kesejahteraan kepada para prajurit, tentulah akan selalu ada masalah di setiap Negara seperti Indonesia. Dwi-fungsi ABRI sebagai masa keemasan militer secara resmi sudah diakhiri berikut dengan pemisahan TNI dan Kepolisian.
Tindakan-tindakan yang bersifat tidak transparan selalu masih ada dalam hal keswadanaan ketika Negara (APBN) tidak memberi budget yang cukup, terutama jika dibandingkan dengan Negara-negara lain, bahkan negara tetangga sekali pun. Tindakan-tindakan swadana bagi komponen-komponen dalam tubuh TNI hingga kini masih belum terselesaikan, dan sebuah tuduhan tentang ketidak-terpenuhan janji reformasi TNI selalu dianggap menjadi tanggungjawab Presiden sebagai panglima tertinggi.
Hal yang sangat perlu difahami dalam konteks reposisi TNI saat ini ialah nilai-nilai baru dalam Negara dengan supremasi sipil yang kuat yang harus diadaptasi termasuk sejak awal sosialisasi menjadi anggota TNI (doktrin) hingga pemeranan diri secara institusional dalam keseluruhan proses kenegaraan. Kewibawaan sipil di atas militer di Negara tertentu mungkin sudah dianggap sebagai hukum besi kenegaraan.
Tetapi di Indonesia dan di Negara-negara dunia ketiga lainnya, dengan sejarah militer yang demikian penting sejak zaman penjajahan, dan yang kemudian dilanjutkan pada era militerisme dalam babakan baru membangun pemerintahan sendiri setelah lepas dari penjajahan (Soeharto), tentulah sesuatu yang sulit untuk dirubah.
Kesulitan itu semakin nyata manakala sistem belum ditata baik serta political will untuk itu selalu mendapat interupsi, dan apalagi jika para perwira paling senior masih banyak yang terobsesi dengan peran-peran pada masa yang dianggap sebagai masa keemasan (sebelumnya).
Hariman Siregar dan kawan-kawan bukanlah pentolan-pentolan yang bergerak di luar penguasaan psikologis keterampasan masyarakat, sehingga gerakannya yang lebih dikenal dengan MALARI 74 begitu besar dan monumental. Perasaan ketidak-puasan dan keterampasan yang demikian besar menjadi jawaban mengapa mahasiswa dan para penggerak di balik kelompok itu bisa melakukan perubahan besar antara lain dengan memaksa turun Soeharto yang sudah berkuasa lebih dai 30 tahun.
Tidak dinafikan pendapat-pendapat yang menjelaskan peran-peran internasional seperti Amerika Serikat dengan jaringan-jaringan elitnya (terutama dalam militer) yang berusaha menata supremasi penguasaannya secara politik dan ekonomi degan agenda utama “mengusir” dominasi Negara lain di salah satu wilayah pasar dunia terbesar benama Indonesia.
Juga tidak mungkin diabaikan pendapat yang memberi analisis tentang rivalitas di antara perwira senior yang bekerja di sekitar tokoh tunggal superkuat Soeharto. Tetapi hal yang pasti ialah bahwa mobilisasi apa pun bentuknya tidak akan dapat menjurus kepada gerakan sosial dan pemberontakan jika faktor keterampasan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Penutup
Agak lebih klasik, Ted Robert Gurr dalam bukunya “Why Men Rebel” (1970) menjelaskan bahwa kekerasan politik bervariasi sesuai dengan besaran dan bentuknya. Magnitudenya meliputi ruang lingkup (berapa banyak berpartisipasi), intensitas (sifat merusak), dan durasi. Formulasinya bisa meliputi tiga kategori yakni kekacauan, konspirasi, dan perang internal. Tentu saja gerakan sehebat apa pun selalu terbuka untuk dipatahkan oleh penguasa atau lawan tanding alami atau yang dipersiapkan.
Tetapi apa pun bentuknya memang sangat diperlukan memberi jawaban tuntas atas perikeadaan masyarakat. Karena itu, jika pemerintah semakin terbiasa dan semakin merasa benar berfikir sendiri untuk kepentingan kelompok dan rezimnya, maka jalan untuk sebuah kekacauan besar selalu terbuka.
Wacana resmi dan komunikasi melalui social media seperti facebook, twitter dan lain-lain, serta mengarahkan influencer dan buzzer, sama sekali bukan jawaban yang diperlukan. Karena yang diharapkan adalah perbaikan kehidupan.
Karena penjelasan mengapa tak terjadi kesejahteraan sudah ditemukan sendiri oleh masyarakat (antara lain menyerahnya pemerintah atas kedigdayaan korupsi).
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU