Setidaknya alasan konsumen membeli rumah dikarenakan faktor belum memiliki rumah, berkeinginan menambah rumah, atau ingin memberikan rumah kepada anak atau keluarga.
Membeli rumah melalui pengembang disamping karena praktis, bisa juga memilih sesuai harga yang tersedia dalam kantong, lokasi yang strategis, lokasi sesuai minat, atau boleh jadi karena bentuk bangunan sesuai keinginan dan segudang alasan lainnya.
Seluruh alasan di atas menarik hati konsumen tidak jarang karena gencarnya pemasaran melalui iklan, brosur, media cetak, media elektronik maupun media sosial.
Memang keinginan memiliki rumah dengan menggunakan jasa pengembang lebih praktis dan tentunya memudahkan konsumen, namun tidak jarang juga konsumen harus berhadapan dengan masalah ketika berhubungan dengan pengembang.
Masalah bisa saja muncul dari pihak konsumen, atau pengembang dan pemerintah. Potensi munculnya sejumlah problem tentu dapat diminimalisir jika ketiga pihak ini menjalankan fungsinya secara benar dan bertanggungjawab.
Konsumen dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, pertama konsumen kelompok dengan kategori atas, biasanya memiliki akses informaasi, jaringan, finasial dan kewenangan. Sebagai konsumen yang memiliki akses informasi, pengetahuan dan kemampuan finansial yang cukup, dai sisi hak lebih terlindungi. Dengan segala keistimewaan yang dimiliki konsumen golongan ini akan memperoleh kemudahan dalam penyelesaian sengketa.
Perlu mendapat perhatian konsumen yang digolongkan lemah karena memiliki banyak keterbatasan, pengetahuan yang minim, tidak memiliki jaringan dan pengaruh, finasial pas-pasan, semangat yang dimilikinya bisa memiliki rumah dengan kondisi pas-pasan.
Hal yang perlu diperhatikan konsumen adalah terkait informasi yang disampakan oleh pengembang untuk dicermati secara baik. Banyaka hal yang harus diteliti oleh konsumen secara cermat, jangan mudah terpedaya oleh iklan atau brosur yang banyak mengimingi dan menabur janji. Upayakan setiap informasi yang dicantumkan oleh pengembang dalam media informasinya untuk dicek kebenarannya.
Pembuatan informasi tentunya sudah dipersiapkan sebaik mungkin, dari tampilannya saja sudah menarik, untaian kalimatnya menggoda hati karenanya berhati-hati adalah yang wajib terlebih kalau bertemu dengan tenaga pemasaran bisa-bisa anda terbius dengan segala “godaannya”.
Tahapan Transaksi Perumahan
Dalam hubungan konsumen dengan pengembang ada baiknya, konsumen memperhatikan tahapan transaksi dengan pengembang agar tidak menjadi korban perumahan. Hubungan tersebut dibagi atas tiga tahap yakni pra transaksi, transaksi dan pasca transaksi.
Pada tahap pra transaksi upayakan konsumen memiliki informasi yang banyak, upayakan jangan semata-mata hanya dari pengembang yang sedang menawarkan perumahannya. Upayakan ada informasi pembanding jika sangat mungkin melakukan klarifikasi informasi yang diperoleh. Hal ini bertujuan agar informasi yang didapat tidak merupakan janji kosong apalagi hoax.
Kemudian, pada saat akan melaksanakan perikatan yang dituangkan dalam perjanjian, perhatikan dan pahami adakah klausula atau butir-butir perjanjian yang merugikan konsumen. Setelah ditandatangani dan apabila bermasalah dihadapan hukum penandatangan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Tahap kedua transaksi serah terima perumahan dalam banyak kasus yang ditangani oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dibidang konsumen antara yang diperjanjikan dengan kondisi rumah yang diterima tidak sesuai, kualitas bangunan juga tidak sesuai, fasilitas umum dan fasilitas sosial yang dijanjikan tidak ada, terkadang timbul biaya-biaya tambahan diluar yang diperjanjikan.
Tahap pasca transaksi konsumen setelah melunasi seluruh kewajibannya tapi tidak mendapatkan sertifikat hak, belum lagi karena sesuatu hal rumah konsumen juga disita pengadilan karena pengembang dipailitkan. Cerita berbagai persoalan perumahan sering kali menimpa konsumen, karenanya sejak awal konsumen harus hati-hati dan cermat.
Upaya Mempertahankan Hak
Adakalanya keadaan yang diuraikan di atas tidak terhindarkan, sehingga pepatah yang menyatakan mencegah lebih baik daripada mengobati banyak benarnya. Mungkin saja karena kehati-hatian konsumen terasa ribet diawal tapi terhindar masalah dikemudian hari, tapi yang pasti setiap masalah harus dicarikan penyelesaiannya.
Pilihan penyelesaian diluar pengadilan memberi kesempatan kepada konsumen dan pengembang untuk secara bersama-sama mengurai masalah dan menemukan solusi, tentu dilandasi semangat kejujuran dan tanggungjawab.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), memberi akses penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen perumahan dan pengembang. Pilihan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 49 berperan untuk memfasilitasi pelaksanaan mediasi, konsiliasi dan arbitase. Di pusat ada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menurut Pasal 31 UUPK memberi ruang untuk menerima pengaduan konsumen perumahan dan memfasilitasi penyelesaian.
Pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan sesungguhnya tidak menutup pintu penyelesaian sengketa melaui pengadilan, baik melalui saluran hukum pidana, perdata maupun administratif. Memilih penyelesaian melalui jalur hukum kembali lagi harus mempersiapkan data dan saksi. Itulah pentingnya sejak awal konsumen sungguh-sungguh berhadapan dengan pengembang harus mempersiapkan diri jika berhadapan secara hukum. (*)
Ibrahim Nainggolan, Dosen FH UMSU/Ketua LAPK