TAJDID.ID-Medan || Pengamat sosial-politik Shohibul Anshor Siregar menilai ada persoalan klasik dalam tradisi gerakan sosial (social movement) dalam babakan sejarah di Indonesia yang sangat perlu diantisipasi.
“Perhatikan dengan cermat, setiap gerakan besar yang mengguncangkan itu selalu saja berakhir dengan ketidaktuntasan. Kemudian peristiwa perubahan besar yang diciptakan ternyata tak mampu menghadirkan perbaikan yang signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sesudahnya,” .ujar Shohibul saat menyampaikan orasi kebangsaan pada acara Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Sumatera Utara di Hotel Madani Medan, Selasa (18/8/2020).
Malah, kata Shohibul, tidak jarang orang-orang yang dulu berada di depan gerakan penuntutan perubahan, sesuai perjalanan waktu, akhirnya bermetamorfosis menjadi musuh bagi cita-cita gerakan.
“Ini jadi pertanyaan bagi kita semua. Selalu ada pengulangan gerakan sosial yang menginterupsi dan mengkoreksi sebuah era atau orde kekuasan di negeri ini. Tapi nyatanya kemudian perubahan sejati yang diimpikan tak pernah terwujud,” kata Dosen FISIP UMSU ini.
Shohibul membeberkan, sejarah mencatat bagaimana dahsyatnya gerakan sosial Tritura 1966 yang menjungkalkan rezim Orla, Malari 1974 dan Reformasi 1998 yang sukses melengserkan penguasa Orba Soeharto. Tapi, kata Shohibul, adalah fakta yang tak bisa dipungkiri, bahwa setiap periode gerakan sosial besar itu kemudian terbukti tak konsisiten mewariskan kondisi yang lebih baik bagi bangsa dan negara.
“Persoalan ini harus kita cari jawabannya, koq bisa begini? Jika tidak, bukan tidak mungkin gerakan sosial KAMI yang dideklarasikan hari ini juga akan bernasib sama dengan yang sebelum-sebelumnya,” sebut Shohibul.
Mengutip pendapat Sri Bintang Pamungkas dalam bukunya “Ganti Rezim Ganti Sistem” (2014), Shohibul mensinyalir ada 4 hal utama penyebabnya dan yang ternyata ke 4 hal itu jugalah yang membuat Indonesia sulit untuk maju.
Pertama, terlalu lama dijajah bangsa asing. Kedua, pengaruh atau dikte bangsa dan lembaga asing; Ketiga, penjajahan oleh bangsa sendiri; dan keempat, etnis minoritas yang mendominasi ekonomi dan politik.
Menurut Shohibul, semua itu hanya dapat diselesaikan dengan jawaban strategis menyangkut sistem.
“Artinya rezim selalu saja bisa berganti, namun sistem lama tak menjanjikan perubahan apa pun selain mememoles-moles ornamen politik dan kekuasaan belaka yang tetap tunduk pada 4 determinan yang saya sebutkan di atas (faktor sejarah penjajahan, dikte bangsa dan lembaga asing, penjajahan oleh bangsa sendiri dan dominasi minoritas dalam ekonomi dan politik),” jelasnya.
Jika dikaitkan dengan urusan utama negara dan pemerintahan, lanjut Shohibul, maka keempat masalah itu hanya dapat diselesaikan dengan 4 strategi konsolidasi kebangsaan yang langsung menyasar perubahan sistem:
Pertama, memperteguh identitas bangsa. Siapa kita. Apakah kita punya sejarah dan bagaimana masa depan dalam konsepsi kita?
Kedua, pendayagunaan alat-alat kekuasaan yang sah. Ketiga, model dan proses legitimasi. Dan keempat, sumberdaya dan distribusi.
Jika ditilik, kata Shohibul, ternyata jawaban itu tersedia di dalam konstitusi kita khususnya Pembukaan UUD 1945: Pertama, doktrin kemerdekaan sebagai hak penuh anak bangsa harus ditegakkan, dan penjajahan dalam segala bentuknya (lama dan bari) dipermukaan bumi harus dihapus karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menertibkan dunia.
“Dari sini kita menilai perlu disusun konsep besar termasuk dalam hal makro ekonomi dan pembangunan berbasis konstitusi. Kita perlu kemandirian politik, ekonomi dan budaya untuk melaksanakan konstitusi. Mungkin, kinilah saatnya memikirkan pelaksanaan jaminan pekerjaan, gratiskan pendidikan untuk semua level dan jaminan kesehatan tanpa iuran,” ujarnya.
Hal lain menurut Shohibul yang tak kalah pentingnya harus memikirkan ulang sistem demokrasi dan politik kita. Dikatakannya, bahwa setelah 4 kali amandemen UUD 1945 Indonesia malah menjadi setara komoditi belaka di dalam sistem neoliberalisasi. Akibatnya sangat dahsyat, bahkan negara atau pemerintah terlihat asyik berdagang dengan rakyat sendiri untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
“Padahal seyogyanya rakyat diproteksi dengan baik untuk urusan itu dan jangan ada motif economic return dalam investasi human capital,” tegasnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan soal legitimasi. Shohibul mengatakan, selama ini rutin ada pemilu, tetapi justru dijadikan sebagai sarana legitimasi bagi tampilnya figur-figur yang tak memahami kebutuhan dan aspirasi rakyat. Itu yang menyebabkan rakyat terbelah.
“Saya meneruh harapan gerakan koreksional KAMI tidak akan mengulangi semua kesalahan dalam gerakan sosial di Indonesia. Bangsa ini tidak boleh jatuh tersungkur berkali-kali di lubang yang sama,” tutupnya (*)