Seorang Jurnalis bertanya: Assalammulaikum pak, pagi, izin minta tanggapan sikit terkait status Akhyar di instagram pribadinya yang menyatakan bahwa dirinya bukan apa-apa dan beking juga gak punya.
Ini gimana nurut bapak perasaan Akhyar dengan menulis cuitan itu setelah “dibuang” dari partainya?
Sementara itu, Bobby, lawannya, yang juga bakal maju jadi calon walikota medan mengaku lebih unggul. Ini gimna ya pak?Terimakasih byk pak.
Jawaban saya:
Menurut saya ekspresi seperti itu adalah jenis keluhan yang sangat manusiawi ketika seseorang diterpa masalah yang dahsyat.
Ia punya hak untuk itu dan jika orang mendengar serta membicarakan serius keluhannya itu, juga tidak ada celanya.
Tamsilnya begini. Ketika seekor burung kena sasar anak ketapel seorang pemburu dan jatuh ke bumi, pasti ada tanda-tanda yang muncul dalam bentuk suara erangan kesakitan diiringi gugurnya bulu-bulunya sesaat kena benturan keras anak ketapel pemburu itu.
Hal itu sekaligus menjadi environtmental warning yang keras menandai terganggunya keseimbangan (equilibrium).
Burung-burung dan satwa lain di sekitar tempat kejadian beroleh pelajaran penting dari tanda-tanda yang diberikan oleh burung yang kena sasar anak ketapel pemburu itu bahwa di sini telah terjadi pembantaian yang berlangsung atas nama kesewenang-wenangan.
Meski reaksi atas keluhan Akhyar bisa berbeda dari satu dan lain orang, namun perbedaan reaksi itu tidak sekaligus menyebabkan semua orang gagal faham apa yang terjadi.
Elit politik misalnya bisa berucap dan berbuat berbeda dengan hati nuraninya, sedangkan rakyat jelata yang tak terlatih “bertanam tebu di bibir” akan berucap dan bertindak sesuai apa yang difikirkan dan dirasakan.
Berikut sebuah kisah rujukan. Selama 25 tahun Nelson Mandela dipenjarakan oleh rezim apartheid Afsel dan tak ada reaksi badanbadan dunia serta media arusutama untuk penistaan kemanusiaan sekejam itu.
Tetapi sangat paradoks ketika rezim apartheid itu dijatuhkan oleh rakyat serta-merta nama Nelson Mandela pun berubah dari pengkhianat menjadi pahlawan. Nelson Mandela yang sama mulai berbeda di mata badan badan dunia dan media arus utama.
Nelson Mandela akhirnya dipuja dan dipuji bahkan menjadi tokoh penting dunia yang bahkan diganjar hadiah nobel perdamaian.
Itulah nalar politik ketidak jujuran yang kerap mencerminkan alam fikiran elit dan publik yang kerap tak begitu care atas nilai-nilai.
Seseorang seperti Akhyar yang merasa “dihakimi sembarangan” oleh kekuasaan yang mungkin saja telah kehilangan nurani, dan ketika ia mengeluh hendaknya tak usahlah ada lagi orang atau pihak yang menganggap Akhyar tak berhak untuk itu.
Jika pada saat bersamaan Bobby mengaku lebih unggul tentu ia sangat berhak menyatakan klaim seperti itu. Tujuannya mungkin untuk meyakinkan diri (self confidence) dan memengaruhi opini publik. Hal itu sangat bermanfaat baginya maupun bagi pendukungnya.
Bobby dan semua orang di kubunya tahu bahwa dalam rumus dan pengalaman empiris demokrasi langsung petahana itu selalu memiliki keunggulan dibanding penantang.
Karena itu sangat jarang seorang petahana kalah dalam arena pemilihan langsung.
Untuk kondisi dan catatan politik kota Medan saat ini ditambah lagi dengan komposisi kepartaian yang mengerucut menjadi dua kubu, sangat normal dan sangat beralasan orang mengunggulkan Akhyar.
Bobby dan orang-orang di kubunya pun tentu mulai menghitung dampak penetapan calon walil baginya terhadap soliditas.
Semua akan berhitung reward. Karena itu akan ada perbedaan militansi partai yang kadernya diusung menjadi calon walikota dan calon wakil. Partai yang direward saja kerap terpecah karena perbedaan pendapat atas figur yang diajukan, apalagi partai yang tak direward?
Karena itu Bobby dan tim intinya harus segera melakukan approach kepada seluruh partai pendukungnya agar tak ada yang merasa lebih baik pasif apalagi bersikap kontraproduktif.
Hal ini praktis tidak terjadi di kubu Akhyar yang didukung oleh PKS dan PD. Secara teoritis kedua partai ini bisa lebih solid karena sama-sama di luar pemerintahan. Berbeda dengan kubu Bobby yang mencerminkan kekuatan koalisi pemerintahan nasional.
Politik itu urusan kepentingan. Siapa dapat apa, kapan dan bagaimana. (*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU