Site icon TAJDID.ID

Kehadiran Negara di Antara Orang Tua Siswa Versus Sekolah

Ilustrasi belajar daring. (foto: pixabay)

Belum ada standar yang dapat digunakan untuk menyatakn keadaan sudah baik-baik saja, bukan hanya Indonesia duniapun masih sama. New normal istilah yang diperkenalkan pemerintah untuk mendeskripsikan kembali beraktifitas seperti sediakala, dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.

Sudah lazim di masa wabah pandemi Covid-19 anjuran agar memakai masker, menjaga jarak, sering mencuci tangan, jangan keluar rumah jika tidak penting, dan sejumlah himbauan kesehatan lainnya.

Ungkapan yang bernada sinis kenapa mall, pusat perbelanjaan, pusat jajannan sudah dibuka tapi mengapa sekolah masih belum diijinkan untuk belajar tatap muka. Ada baiknya untuk mematuhi himbauan Gubernur Sumatera Utara yang belum mengijinkan belajar secara tatap muka karena sangat beresiko terjadinya penularan, berpotensi menimbulkan klaster baru. Larangan belajar tatap muka karena masih memprioritaskan kesehatan siswa dan tenaga pendidik.

Dunia pendidikan kita masih tetap fokus untuk melaksanakan pembelajaran daring (dalam jaringan) atau umum dikenal juga dengan online. Alasan kesehatan bagi siswa dan tenaga pengajar belum dapat dapat menghilangkan kegelisahan orang tua atas kualitas anak-anak mereka yang belajar dari rumah. Beban uang sekolah dan menyediakan jaringan internet, atau harus memiliki paket data, serta harus memiliki android, atau memiliki laptop/komputer dalam kapasitas yang dapat digunakan daring merupakan biaya tambahan wajib.

Tidak hanya itu siswa yang belajar daring juga setidaknya harus memiliki masing-masing satu unit karena daring di waktu yang bersamaan bayangkan jika dalam satu keluarga ada tiga orang anak dan semua belajar melalui daring.

Ada sejumlah konflik pihak sekolah dengan orang tua siswa, orang tua dibebani uang sekolah dan masih dipusingkan lagi karena harus mendampingi, membimbing anak belajar daring dengan segala dinamika kerumitannya. Pihak sekolah yang mengandalkan uang sekolah sebagai tumpuan pengelolan sedang dalam keadaan “sekarat” karena belajar daring uang sekolah tidak tertagih dari keluhan sekolah banyak siswa yang belum bayar uang sekolah tiga bulan bahkan ada yang sampai enam bulan.

Keadaan pendidikan sesungguhnya sangat mengkhawatirkan dimasa pandemi ini, bagaiman nasib kualitas manusia Indonesia dimasa depan, belum lagi perbedaan persepsi antara orang tua siswa dengan pihak sekolah rawan konflik. Sepatutnya pemerintah harus responsif menyikapi keadaan ini jika tidak ingin situasi semakin tidak terkendali, tidak etis menyalahkan covid-19 yang tidak kunjung reda sebagai tameng menghindar dari tanggungjawab.

Harusnya ada solusi jangka pendek dan jangka panjang, dalam jangka pendek sesegera mungkin mengalokasikan dana pendidikan sebagai prioritas tanpa mengabaikan kesehatan dan ekonomi. Konstitusi kita UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) sangat tegas menyatakan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selanjutnya ayat 4 ditentukan alokasi anggaran pendidikan minimal diprioritaskan sebesar 20 (dua puluh) persen dari APBN/APBD.

Pendidikan Indonesia harus diselamatkan karena menyangkut sumber daya manusia di masa depan, walaupun kesehatan tidak bisa diabaikan. Prioritas pendidkan menjadi sebuah keharusan karena menghadapi situasi covid-19 kita sudah memiliki edukasi yang cukup tinggal hanya patuh atau tidak sambil menunggu vaksin yang sedang dikerjakan dunia.

Disamping prioritas anggaran pendidikan yang cukup ada baiknya cepat mengurai kesenjangan informasi sekolah dan orang tua siswa, pemerintah tidak cukup melarang belajar tatap muka tanpa memberikan edukasi. Membiarkan kesenjangan informasi orang tua siswa dengan pihak sekolah ibarat menutup bara dengan sekam akhirnya memusnahkan nilai edukasi dari dunia pendidikan kita. (*)


Ibrahim Nainggolan SH MH, Dosen FH UMSU/Ketua LAPK

Exit mobile version