Site icon TAJDID.ID

Puisi-Puisi Romantis Supardi Djoko Damono

TAJDID.ID || Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Indonesia telah tutup usia di usia ke-80 tahun pada Ahad (19 Juli 2020) di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.

Kendati beliau kini sudah tiada, namun karya-karyanya yang romantis dan sarat makna akan terus dikenang sepanjang masa.

Berikut ini beberapa puisi pilihan karya Supardi Djoko Damono yang sudah tidak asing lagi bagi penikmat sastra Indonesia:

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

 

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu.

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu.

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu.

 

 

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari

 

Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

 

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

 

Sementara Kita Saling Berbisik

sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

 

Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu

Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

 

Exit mobile version