Masih kerap muncul pertanyaan dalam dunia politik Indonesia kontemporer tentang hubungan agama dan negara (politik). Rasanya ini bukan hanya karena ignorance (ketaktahuan) belaka di tengah orang awam yang jumlahnya besar, melainkan juga karena adanya niat untuk melemahkan kekuatan politik umat Islam di Indonesia.
Lazimnya disebut politik identitas manakala sikap dan preferensi politik warga didasarkan pada pertimbangan nilai primordialitas tertentu. Politik identitas itu lazimnya semakin dianggap berbahaya jika primordialitas atau aspek identitas yang ditonjolkan itu ialah agama. Jadi atas nama pertimbangan primordialitas, apalagu agama, politik itu dianggap buruk. Tidak sehat. Terbelakang.
Padahal semua politisi tetap berkeinginan beroleh dukungan dari kalangan komunitas agama secara kolektif. Cara yang umum dilakukan ialah berusaha memikat pemimpon pondok pesanteren. Tak semua politisi yang berusaha beroleh dukungan santri itu beragama Islam. Karena itu cukup sulit juga membayangkan politisi non-muslim dianggap wajar beroleh dukungan dari komunitas Islam namun politisi Islam tidak perlu didukung oleh komunutas non-muslim. Fakta-fakta ini cukup luas tersebar dalam fenomena pilkada di Indonesia.
Jadi politisi Indonesia tak mungkin tak menghitung kekuatan umat Islam dan ingin beroleh dukungannya. Itu dianggap sangat baik. Tetapi jika kalangan santri ingin berkuasa dengan terjun ke dunia politik dipandang berbahaya karena dimaknai sebagai politik identitas. Santri dan agamawan juga dianggap tak layak terjun ke dunia politik.
Kasus Indonesia
Politik identitas ala Indonesia selalu tampil dengan penandaan yang kuat dengan afiliasi keagamaan yang salah satu basisnya ialah pesanteren. Ini tidak aneh karena sejatinya politik itu concern dengan perjuangan kepentingan identitas. Ini yang sukar diteruma banyak orang. Politik itu sendiri pun kerap didefinisikan “who gets what (kind of value) when and how (by what mean)”. “Who” (siapa) sebagai subjek politik bermakna orang atau komunitas dengan identitasnya secara utuh yang tak mungkin dipisahkan dari identitasnya itu. Dengan identitas itulah dia hidup. Mengapa ia tak dihargai dengan identitas itu?
Lihatlah semua negara di Eropa, lihat juga Ameria dan semua negara lainnya di dunia ini. Pastilah semua berdiri dengan acuan nilai dominan bangsanya dan itu adalah identitas. Mereka mempertaruhkan identitas. Meskipun begitu penting nilai mayoritas sebagai pembentuk identitas itu, Indonesia tidak perlu meniru Amerika yang hari-hari belakangan ini terus menunjukkan kegamangannya karena kesukaan rasialis dan rasistik.
Yakinlah bahwa nilai Islam menyelesaikan berbagai cacat dalam praktik seperti itu dengan sebaik-baiknya. Paling tidak konstitusi pertama di dunia (Piagam Madinah) telah menjadi bukti yang kuat dalam sejarah Islam dan diakui sepanjang sejarah.
Salah satu ormas Islam pemilik terbesar pesanteren di Indonesia malah pernah tercatat dengan keterlibatan yang intens dalam politik. Meski belakangan kembali ke khittah (tak lagi berpolitik praktis) namun secara tidak langsung dan melalui orang-orangnya masih terus dengan keterlibatan intens dalam politik hingga saat ini.
KH Ma’aruf Amin adalah tokoh abad 21 yang menjelaskan bagaimana lakon seorang ulama mampu menundukkan proses politik penentuan Presiden dalam pemilu. Keperkasaan preferensi politik identitas berbasis keagamaan yang melukiskan keniscayaan pengaruh pesanteren terlihat jelas.
Tentu kini Ma’aruf Amin tak lagi mengurus pesanteren secara langsung, begitu pun Majelis Ulama dan juga tak lagi mengurus lembaga keuangan syariah yang dulu digelutinya secara intens dan penuh waktu.
Para Pendiri Bangsa
Kisah KH Ma’aruf Amin bukanlah hal baru di Indonesia. Gus Dur juga santri dan pernah memimpin NU. Sejarah Indonesia pun dihiasi oleh besar dan kuatnya pengarus aktivis Islam intelektual bahkan sejak proses pendirian NKRI.
BPUPKI, PPKI dan bahkan Badan Konstituante memiliki bintang pemikir dari kalangan ulama yang amat cemerlang. Bahkan meŕeka di dalam event sejarah itu tercatat berhasil mendialogkan keniscayaan Islam sebagai dasar negara dan memutuskannya meski yang mereka hadapi adalah kaum non-muslim dan kaum sekuler.
Ingatlah karya mereka yang antara lsin ternukil pada Pancasila yang sila pertamanya ialah “Ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”. Jika belakangan sila pertama itu berubah menjadi “Ketoehanan yang Maha Esa” prosesnya bukan melalui musyawarah mufakat sebagaimana dilalui penuh gairah hingga ditandatangani (Piagam Jakarta yang sekaligus menjadi Mukaddimah UUD 1945, dan tadinya direncanakan sebagai Naskah Proklamasi) tanggal 22 Juni 1945.
Kabinet Indonesia pun tak sepi dari catatan sukses tokoh Islam. Mohd Natsir dan Burhanuddin Harahap (Perdana Menteri) dan dua Presiden RI, selain Gus Dur, adalah intelektual Islam (Sjafroeddin Prawiranegara dan Assaat).
Resistensi atas kiprah tokoh Islam dalam dunia politik itu memang belakangan begitu menguat dengan tudingan politik identitas. Tetapi seingat saya tudingan itu tidak begitu terdengar ketika partai Kristen dan partai Katholik masih ada di Indonesia tahun 2000-an.
Aneh juga kiprah politik Islam akan terus disudutkan di negeri yang dimerdekakan oleh para syuhada Islam hanya karena partai milik Kristen dan Katholik sudah bubar.
Berbasis Kemampuan
Tetapi tentu saja tak sembarang tokoh dan tak sembarang santri cocok untuk direkomendasikan ke dunia politik. Politik harus menjadi jalan bagi penyelesaian berbagai masalah. Karena itu politisi primordial tak boleh hanya bermodalkan dukungan mayoritas atas dasar kesamaan agama.
Sesewaktu resistensi orang terhadap agamawan di dunia politik dikarenakan pemahaman bahwa politik itu kotor dan agamawan tidak seharusnya ada di sana.
Padahal politik tak hanya bisa dibuat tak kotor atau bersih. Tergantung kepada orang yang berkuasa dalam politik. Karena itu politik tak boleh sepi dari figur agamawan dan jika mereka melakukan kesalahan dunia tak lantas kiamat. Paling berbahaya tokoh umat yang agamawan tidak ada di dalam kelembagaan politik.
Innallaha layughaiyyiru ma bikaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim. Wallau muwaffiq ila aqwamuththariq.
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).