TAJDID.ID-Medan | Ketua Pimpinan Wilayah Muhamammadiyah Sumatera Utara (PWM Sumut) Prof Dr Hasyimsyah Nasution mengatakan, kontroversi Rancangan Undang-Undah Haluan Ideologi Pancasila (RUU KIH) adalah persoalan serius dan krusial karena menyangkut masa depan bangsa.
Demikian ditegaskannya ketika tampil sebagai pembicara kunci pada Kajian RUU HIP yang diselenggarakan secara virtual oleh Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah bekerjasama dengan Fakultas Hukum UMSU, Senin (15/6/2020).
Menurut Hasyimsyah, ada dua alasan mengapa persoalan ini jadi begitu penting bagi Muhammadiyah, sehingga memandang perlu memebentuk tim khusus untuk mengkajinya.
Pertama, alasan subjektif. Seperti diketahui, katanya, salahsatu keputusan Muktamar Muhammadiyah 2015 di Makasar menegaskan Indonesia adalah Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Dengan keputusan tersebut, Muhammadiyah punya pemikiran, bahwa posisi umat Islam terhadap NKRI sebenarnya sudah selesai ketika para pendiri Republik ini termasuk yang mewakili tokoh Islam diantaranya Ki Bagus Hadikusumo (Ketua HB Muhammadiyah) yang masuk dalam anggota BPUPKI maupun tokoh-tokoh Islam untuk lahirnya piagam Jakarta telah selesai bersepakat menjadikan Indonesia dalam konteks umat Islam sebagai kesepakatan.
“Melalui itu Muhammadiyah ingin bahwa kesepakatan nasional dimana tokoh-tokoh Islam itu sudah meletakan pondasi agar tetap menjadi patokan kita berbangsa dan bernegara termasuk dalam relasi Islam dan negara.
Ia juga menjelaskan, Muhammadiyah adalah gerakan Islam Dakwah Amar Ma’ruf Nahyi Munkar. Makruf itu artinya sesuatu yang sesuai dengan kebenaran dan dikenal. Sedangkan kebenaran itu adalah sesuatu yang mendasar, terpuji, baik secara krospondensi, koherensi dan pragmatis.
“Inilah yang diperjuangkan Muhammadiyah, selain tentunya teruji secara nash al-Qur’an dan as-Sunnah,” sebut Guru Besar Pemikiran Islam UIN Sumut ini.
Lebih lanjut ia menuturkan, perjalanan bangsa ini sudah melewati 76 tahun, dan ternyata sesuai dan oleh sejumlah pakar disebut sebagai sumbangsih umat Islam. Di dalam kandungan Pancasila, selain Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, ada dua sila yang menyinggung soal keadilan. Dan keadilan itu menurutnya identik dengan ajaran Islam.
“Karena itu memperjuangkan Pancasila seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 45 adalah bahagian yang tidak terpisah dari semangat perjuangan Muhammadiyah,” tegasnya.
Adapun alsan objektif RUU HIP wajib ditolak adalah untuk kepentingan bangsa ini secara menyeluruh.
Diungkapkannya, saat membaca naskah akademik RUU HIP ia melihat ada usaha secara sengaja untuk menggiring pendapat seseorang dan itu bisa dilihat menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa pada sila yang ke lima. Sebenarnya, kata Hasyimsyah, Ketuhanan itu kalau diterjemahkan seperti yang disebut oleh inisiator RUU HIP itu bukan Ketuhanan, tetapi cuma sekedar kepercayaan (faith).
Dijelaskannya, kepercayaan yang ada pada masyarakat-masyarakat yang kita tahu di awal bangsa ini berdiri penegtahuan mereka mengenai agama masih sangat rendah. Dan kepercayaan itu sesungguhnya sesuatu yang tradisional yang sifatnya lokal.
Kalau itu dibiarkan, kata Hasyimsyah, seperti yang dimuat dalam rancangan pasal 4 RUU HIP tentang Rasa Ketuhanan yang berkebudayaan, itu artinya menarik bangsa ini kepada kehidupan yang sangat terbatas dan dipengaruhi oleh kondisi suku-suku dan bangsa-bangsa. Diketahui bangsa ini terdiri dari suku-suku yang sangat majemuk. Takutnya nanti akan ada suku-susku tertentu mendominasi dan kepercayaan itulah yang sangat menonjol. Karena ada satu semangat di semua kepercayaan untuk menyampaikan kepercayaan itu kepada orang lain.
Maka istimasi saya, kalau ini dibiarkan itu berpotensi menimbulkan konflik yang luar biasa.Jadi kalau nanti ada 300 lebih suku dan kepercayaannya masing-masing maka yang muncul adalah etnosentrisme. Masing-masing orang akan menonjolkan kesukuannya, sehingga bangsa ini akan tercabik-cabik,” sebutnya.
Selain itu Hasyim juga melihat ada upaya-upaya yang sistematis untuk menggiring RUU HIP untuk diputuskan oleh 650 orang saja. Menurutnya upaya ini sangat berbahaya, apalagi ada indikasi kuat ingin membangkitkan lagi paham komunis di republik ini.
Demi kepentingan bangsa kedepan yang sangat relijius, dimana habitat kemanusian Indonesia itu adalah beragama, maka Hasyimsyah menilai RUU HIP layak untuk ditolak.
“Karna Pancasila itu sudah final, tidak bisa direduksi falsafah negara itu dari Pancasila diturunkan dan dibatasi dengan adanya UU. Makna UU itu sebenarnya pembatasan yang berisi sangsi-sangsi, pada hal ideologi itu muncul dari kesadaran,” tegasnya . (*)