Site icon TAJDID.ID

Webinar MAHUTAMA, Prof Aidul: Kedatangan TKA China Ancam Kedaulatan Bangsa Indonesian

Ketua Umum MAHUTAMA, Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari SH MHum

 

TAJDID.ID-Medan || Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) itu bukan sekedar konstitusi politik, tetapi juga mengandung konstitusi sosial atau konstitusi ekonomi

Demikian djelaskan Ketua Umum Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari SH MHum saat menyampaikan pengantar pada acara Webinar Nasional MAHUTAMA dengan tema: “Kontroversi Kedatangan TKA Pada Masa Pandemi dalam Perspektif Ketatanegaraan”, Sabtu (16 Mei 2020) jam 13.00-15.00 WIB

Aidul mengatakan, UUD 45 adalah konstitusi yang mengatur sisitem perekonomian nasioanal dan itu dimuat dalam pasal 33 yang intinya ada demokrasi ekonomi, perencanaan ekonomi secara kolektif (dulu dirumuskan dalam GBHN), hak menguasai negara, mengutamakan BUMN/D dan Koperasi dan berorientasi pada produksi.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, bagaimana sistem ekonomi nasional Indonesia telah mengalami dinamika perkembangan. Di awal kemerdekaan sepenuhnya UUD 45 itu tidak bisa diamalkan, karena pada Konfrensi Meja Bundar (KMB) tanggal 7 Desember 1949 ada beberapa ketentuan yang mengikat kita terkait ekonomi.

Pada perkembangan terakhir, kata Aidul, sistem ekonomi nasional Indonesia terperangkap oleh neoliberalisme (neolib). Seperti yang digambarkan Joseph M Schwartz karakteristik  neoliberalisme itu antara lain, melakukan deregulasi ekonomi, menghancurkan serikat-serikat buruh, menurunkan pajak untuk orang-orang kaya dan korporasi, mengurangi biaya publik, melakukan represi terhadap orang-orang miskin.

Sedangkan ciri dari neolib itu, diantaranya sangat aktif mendukung kepentingan bisnis besar (korporasi), mengurangi proteksi terhadap UU perburuhan, mengeliminasi pelayanan sosial, membuat kebijakan perdagangan bebas memberdayakan perusahaan untuk mencari tenaga kerja dan sumber daya murah dan memperkuat militer untuk menekan oposisi.

“Semua ciri-ciri itu dapat dilihat pada zaman orde baru, tapi sekarang sebenarnya sama saja,” ujarnya.

Dikatakan Aidul, dalam kaitan Hukum Tata Negara sebenarnya ada putusan MKR No 33/PUU-IX/2011 tentang pengujian UU No 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan piagam ASEAN terhadap UUD 45 disebutkan bahwa pemerintahan Indonesia dalam membuat aturan pelaksanaan ekonomi harus seuai dengan kepentingan nasional berdasarkan UUD 45. Namun karena kuatnya pengaruh neolib, ketentuan itu sepertinya tidak diindahkan.

Terkait dengan TKA China, Aidul mengatakan, China adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia saat ini. Dan sebenarnya China juga melaksanakan neoliberalisme, itu dimulai pada athun 2001 dengan menjadi anggota WTO juga. Tetapi cina disertai dengan sisitem perencanaan ekonomi lima tahun seperti yang pernah dipraktekkan Indonesia pada masa Orba. Sekarang tahapan perencanaan ekonomi China sudah tahap ke 13, dimana perencanaan ekonominya sekarang lebih menekankan pada inovasi.

“Neliberalisme china itu kemudian membawa implikasi berupa tuntutan untuk memperluas pasar, diantaranya dengan merancang OBOR (one Belt One Road) atau BRI (Belt and Road Initiative), Silk Road Ekonomic Belt, 21st Century Maritime Silk Road,” jelasnya.

Dalam konteks ini, kata Aidul, Indonesia dan China itu sebenarnya sama-sama terintegrasi dalam sistem ekonomi global, dan ini menjadi persoalan dari sisi UUD 45, karena amanat UUD 45 sebenernya cenderung mengamanatkan penguatan ekonomi nasional.

“Persoalannya, Indonesia tidak memiliki perencanaan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, tergantung kepada presiden terpilih, dan ini merupakan konsekuensi dari sistem presidensial. Berbeda dengan China yang memiliki sisitem perencanaan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan yang disusun NPC, tidak tergantuk kepada presiden terpilih,” sebutnya.

Menurut Aidul, kepentingan China itu sangat besar, termasuk di Indonesia. Neoliberalisme China menuntutnya membuat pasar bebas dan terbuka di luar China melalui OBOR/BRI dengan kemudahan investasi dan dengan sarat pekerja migran China, termasuk di Indonesia.

“Persoalannya, Negara kita mengalami keselahan sistem, dimana kebijakan ekonomi ditentukan oleh presiden hasil eleksi, sehingga begitu rentan ditekuk oleh kepentingan asing,” tegasnya.

Harus kita pahami, sekarang China adalah sebuah Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Dan China merupakan Negara dengan investasi terbesar nomor 2 di Indonesia setelah Singapura.

“Besarnya investasi China ini juga tentunya berpengaruh terhadap sikap pemerintahan Indonesia,”

Namun pastinya, Aidul menilai kedatangan pekerja migran China di tengah pandemi Covid-19 dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

“Bagaimanpun pemerintahan Indonesia harus memiliki political will untuk melindungi masyarakat dan bangsa ini serta mewujudkan tujuan Negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial,” tutupnya. (*)

Exit mobile version