Site icon TAJDID.ID

Webinar MAHUTAMA, Buya Gusrizal Sebut Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang ini Seperti Orang Stroke

 

TAJDID.ID-Medan || Ketua MUI Sumatera Barat, Buya Gusrizal Lc MA mengilustrasikan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini seperti orang stroke. Dikatakannya, orang yang stroke itu anggota tubuhnya satu dengan yang lain terganggu jaringannya, sehingga tidak serasi gerakannya. Bahkan ada sebagian yang lumpuh.

“Dan yang lebih berbahaya lagi, justru yang menjadi motor penggerak itu kondisinya yang parah, sehingga berbagai kritikan dan nasehat masuk telinga kanan, bukanya keluar ke telinga kiri, tetapi mantul lagi keluar dari telinga kanan,” ujarnya ketika tampil sebagai pembicara pada Webinar Nasional dengan tema  “Kontroversi Kedatangan TKA Pada Masa Pandemi Dalam Perspektif Ketatanegaraan” yang diadakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) pada Sabtu (16 Mei 2020) jam 13.00-15.00 WIB.

Menurut Buya Gusrizal, sebenarnya MUI memperhatikan gejala ini bukan hanya semenjak masa pandemi Covid-19, tapi hal ini sudah pernah dikupas saat Konfrensi Umat Islam di Bangka Belitung beberapa waktu yang lalu yang juga dihadiri semua ormas Islam dan komponen umat.

Dikatakannya, kalau  mau mencari sebuah majelis yang menghimpun komponen ummat dari pelbagai latar keilmuan, maka KUI adalah yang terlengkap.

Tapi pertanyaan yang mendasar sampai hari ini, kata Buya Gusrizal, adalah bagaimana respon pemerintah terhadap sejumlah rekomendasi penting yang dihasilkan dari pertemuan itu?

“Sepertinya tidak ada manfaat dari pembicaraan itu, karena motor yang harus mengimplementasikannya justru sudah lumpuh. Padahal berbagai macam kritikitan dan pemikiran yang kita tau semua lahir dari akademisi dan tujuannya sangat jelas untuk membangun kehidupan berbangsa ” sebutnya.

“Oklah nanti diimplementasikan. Tapi masalhnya konsep yang disodorkan tidak diterima. Justru yang berjalan adalah konsep yang ada dalam otak yang rusak tadi itu. Dan gawatnya lagi yang menjalankan  sistem itu oleh orang-orang yang serakah pula, yang ingin menguasai semuanya,” tambahnya.

Kalau diperhatikan, lanjut Buya Gusrizal,  Kepres terkait Covid-19 mulai dari No 7, 9 dan 12, semua menunjukkan pihak-pihak yang diberi kewenangan mulai dari PNPB, seterusnya dimasukkan unsur-unsur pemerintah secara dominan dan pada akhirnya cuma membatasi kewenangan daerah dalam mengatasi Pandemi.

“Pada hal kita tahu sendiri bahwa situasi dan kondisi yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lain sangat berbeda dan sangat membutuhkan kebijakan-kebijakan daerah dan lokal untuk berusaha menanggulangi ini. Tapi kemudian ditarik lagi dengan kalimat ‘harus mengikuti berbagai aturan dari pusat’, seolah-olah selama ini yang dilakukan daerah sudah banyak yang kebablasan,” sebutnya.

Kata Buya Gusrizal, MUI melihat ada 5 prinsip yang harus dimiliki negara kalau memang benar-benar serius dan sungguh-sungguh ingin menanggulangi wabah Covid-19 ini.

Pertama, harus ada kesadaran. Menurutnya ini yang masalah, dimana banyak yang mengurus di negara ini adalah orang-orang yang tidak sadar, tidak sadar sebagai komponen bangsa, dia tidak sadar bahwa ada amanah bersama. Pelbagai macam konsep-konsep kebangsaan seperti nasionalisme cuma jargon saja yang dikedepankan, sementara isinya tidak kita lihat dalam praktik dalam kehidupan berbangsa.

Jadi harus ada kesadaran bersama dalam kondisi sekarang ini. Dan justru menurut Buya Gusrizal  pemerintah hari ini tidak memilikinya. Pemerintah hari ini dengan bahasa manis mengatakan bahwa kami akan mengatasi seluruh dampak dari pandemi Covid-19 ini dari pelabagi sisi, dan ekonomi harus diselamatkan kemudian nyawa harus dijaga.

“Ini aneh, coba lihat negara-negara lain yang lebih kuat dari sisi ekonomi dan lebih maju dari sisi teknologi kesehatan mereka harus memilih dalam keadaan seperti ini, mau menyelamatkan nayawa terlebih dahulu atau mau menyelamatkan ekonomi terlebih dahulu. Bahasa yang berbunga kita dengar keduanya harus dirangkul, tetapi kami melihat bahwa pemerintah hari ini mengedepankan penyelamatan ekonomi dan mengabaikan penyelematan nyawa anak bangsa,” ujarnya.

Buya Gusrizal menegaskan, hal ini tidak boleh dibiarkan. Dikatakannya, ketua-ketua MUI di 32 Provinsi melihat pemerintah hari ini lebih mengedepankan penyelamatan ekonomi daripada menyelamatkan nayawa anak bangsa.

“Itulah pada hakikatnya yang terjadi, tapi mereka membuat kalimat-kalimat kamuflase yang mereka katakana; kami ingin menyelamatkan keduanya,” ungkapnya.

“Sadarlah tuan-tuan penguasa, kalian tidak akan mampu melakukan hal itu. Tuan-tuan harus memilih saat ini, mau mendahulukan menyalamatkan ekonomi atau menyelamatkan jiwa anak bangsa lebih dahulu,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, Ketua-ketua MUI wilayah  bukanlah orang-orang yang berada di meja dan cuma terlibat dalam webinar semata, tapi para ketua MUI itu hadir di tengah masyarakat, merasakn detak jantung kehidupan mereka.

“Kita sudah ingatkan berkali-kali, tapi tak mau mendengar. Saya rasa jangan dianggap main-main keputusan 32 provinsi itu. Karena akumulasi dari semua ini berbahaya kalau seandainya diabaikan,” katanya

Kedua, kata Buya Gusrizal, pemerintah harus punya niat baik. Jangan sampai ada kalimatnya demi bangsa, tetapi di dalamnya tertuju adalah demi menyelamatkan kelompok-kelompok tertentu yang bisa jadi itu membiayai orang-orang yang berkuasa sekarang duduk pada kursi-kursi jabatan yang mereka nikmati.

“Nah, cost demokrasi yang kita jalankan hari ini kita tahu semua dari mana, jadi jangan korbankan masyarakat banyak untuk kepentingan itu, sehingga akhirnya membelokkan niat kita bersama, bukannya untuk kepentingan bangsa, tapi untuk mewujudkan kemauan sekelompok orang di dalam kehidupan negeri ini,” tukasnya.

Ketiga. almuntonak, yaitu titik tolak  menghadapi pandemi Covid-19 ini. Buya Gusrizal justru melihat ini tidak jelas. Berbagai aturan dan peraturan tentang TKA, dimana dalam kondisi sekarang ini mereka masih dibukakan kesempatan dengan berbagai macam aturan yang di buat dan tidak akan mungkin bagi orang yang waras di negeri ini menerima aturan itu.

Ia yakin kebijakan itu tidak akan berjalan. Lihat sekarang pembukaan moda transportasi dengan persyaratan seabrek seperti itu, alasannya demi tugas, masak sampai keluar ribuan surat tugas, dari mana itu ? Kita kan tau semua budaya birokrasi di negara ini. Jadi persyaratan itu untuk apa ? Untuk jadi kamuflase kepada umat, bahwa ini ada demi kepentingan umat, kepentingan bangsa dan dibuat persyaratan ini karena mereka tau persyaratan itu sulit dipenuhi.

“Jadi perlu ada titik tolak kebijakan. Kalau tidak ada kejelasan titik tolak kebijakan, akhirnya yang terjadi satu dengan yang lain saling berbenturan. Inilah yang dipertontonkan, sebuah drama yang sungguh tidak menarik diperankan. Satu menyuruh, satu melarang,” sebutnya.

Diungkapkannya,  Sumbar adalah salahsatu daerah yang menjadi korban dari ketidakjelasan kebijakan pemerintah pusat.

Ia menuturkan, MUI Sumbar lebih awal menghimbau agar perantau jangan pulang lebih dahulu, dan ketika gubernur Jakarta mengajukan lockdown, kemudian perdebatan istilah, tetapi esensinya tidak pernah ditangkap. Lockdown atau karantina, akhirnya lahir anak bernama PSBB yang tidak jelas jenis kelaminnya, jantan atau betina.

“Akibatnya apa, orang berduyun-duyun pulang, puluhan ribu perantau masuk ke Sumbar, baru setelah itu keluar Permenhub. Dan yang terjadi kemudian adalah transmisi local,” katanya.

Keempat, istoqomah.  Perlu ada sikap itiqomah dalam menjalankan setiap kebijakan.

Kelima, mengatasi persoalan Covid-19 perlu melibatkan semua komponen bangsa.

“Kalau kelima hal tersebui tidak dijalankan, maka pandemi sulit akan diatasi,” tegasnya.

Sementara tentang  masuknya TKA asal China, Buya Gusrizal mengatakan sangat tidak tepat dan mutlak harus ditolak.

“Alasannya ada dua. Pertama dari sisi aturan tidak ada yang bisa menampungnya walaupun dipoles dengan pelbagai alasan dan dalih. Dan kedua dari sisi momentum, dimana hari ini momentum disaat bangsa ini bergulat untuk menyelesaikan masalah dalam negerinya dengan menghambat potensi-potensi penularan dari luar Indonesia malah membuka diri,” jelasnya.

Jika kedua alasan ini tetap diabaikan pemerintah, kata Buya Gusrizal,  maka secara akumulatif akan menimbulkan ketersinggungan rasa kedaulatan dan  kebangsaan di tengah-tengah masyarakat. (*)

Exit mobile version