TAJDID.ID-Medan || Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Dr Wendra Yunaldi SH MH mengatakan, berbicara tentang penangan pendemi Covid-19, maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah tentang kaidah hukum tentang “darurat” itu sendiri.
Dijelaskannya, Kaidah hukum darurat meniscayakan tiga konsep penting, yaitu pertama sudden emergency doctrine, kedua medical treatment, dan ketiga adalah emergency expectation.
“Dari tiga poin tersebut ada hal penting didapat adalah dibutuhkannya kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat atas terjadinya keadaan darurat dalam satu wilayah negara serta kepastian penanganannya,” ujarnya saat jadi pembicara .sebagai pembicara dalam acara Webinar dengan tema “Kewenangan Daerah dalam Menghadapi Pandemi Covid-19” yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) pada Sabtu (9 Mei 2020) jam 13.00-15.00 WIB.
Baca berita terkait:
- MAHUTAMA Gelar Webinar “Kewenangan Daerah dalam Menghadapi Pandemi Covid-19”
- Webinar MAHUTAMA, King Faisal: PSBB Sarat dengan Anomali
- Webinar MAHUTAMA, Zainuddin Maliki: Sikap Enterpreneural Pemerintah Dibutuhkan dalam Penanganan Covid-19
Namun, kata dosen Fakultas Hukum UMSB ini, ada satu pertanyaan besar yang perlu dijawab, yakni: Apakah pandemi Covid-19 ini termasuk kondisi darurat atau tidak? Sementara seperti diketahui Presiden Republik Indonesia sendiri sudah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat atas dampak pandemi virus corona Covid-19.
“Karena bencana nasional, apakah pandemi Covid-19 darurat atau tidak? Ini penting untuk didudukkan,” tegasnya.
Menurutnya, kalau Presiden sudah menetapkan status darurat, maka semestinya yang berlaku adalah hukum darurat.
“Persoalannya adalah kita masih menggunakan cara-cara biasa untuk menyelesaikan kondisi yang abnormal. Negara ini terlau birokratis dan administratif, sehingga kehilangan subtansi apa yang harus semestinya dilakukan. Implikasinya daerah kemudian kebingungan dalam kondisi darurat pandemi ini,” tandasnya.
Terkait wewenang pemerintah daerah dalam konteks penganan pandemi Covid-19, Wendra menyebutnya sebagai posisi yang dilematis.
“Maju kena mundur kena, itulah nasib pemerintah daerah sebuah cerminan dari model otonomi daerah di Indonesia yang setengah hati,” tukasnya.
Bahkan kondisi itu ia ilustrasikan; seperti monyet yang kasihan dengan ikan yang mengap-mengap mengambil oksigen dalam air.
“Monyet kemudian membantu ikan, tapi ikannya yang mati,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa sebelum pandemi Covid-19 saja status otonomi daerah itu sudah setengah hati. Apalagi diperparah lagi dengan adanya sejumlah perturan perundang-undang yang tidak sinkron, tumpang-tindih dan cenderung bertabrakan, membuat otonomi itu makin kacau.
“Mestinya hal-hal yang menyangkut administratif sepanjang itu didasari iktikad baik harusnya kewenangan itu diberikan kepada pemerintah daerah. Namun problemnya, ada banyak instrumen yang harus dipenuhi oleh daerah untuk bisa merealisasikannya,” sebutnya. (*)