TAJDID.ID-Medan|| Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) kembali menggelar Web Seminar (Wibinar) dengan mengangkat tema “Kewenangan Daerah dalam Menghadapi Pandemi Covid-19” pada Sabtu (9 Mei 2020) jam 13.00-15.00 WIB.
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua Umum MAHUTAMA Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari SH MHum dan dipandu Sekjen MAHUTAMA Auliya Khasanofa.
Adapun pembicara yang ditampilkan, diantaranya Prof Dr Zainuddin Mliki (Anggota DPR RI), Dr Indah Kusuma Dewi SH MH (Dekan FH UM Buton), Dr King Faisal Sulaiman SH LLM (Pakar HTN FH UMY Yogyakarta. Dr Wendra Yunaldi (Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi FH UMSB).
Dalam prolognya, moderator webinar Auliya Khasanofa mengatakan, bahwa acara hari ini merupakan webinar yang kedua kalinya di gelar oleh MAHUTAMA sepanjang pandemi Copid-19 melanda Indonesia, setelah sebelumnya juga telah mengadakan webinar dengan tema “Menggugat PERPPU Covid-19” pada Sabtu, 11 April 2020. (Baca: Webinar MAHUTAMA: Perppu Covid-19 Kontroversial)
“Webinar hari ini kita mengangkat isu yang sangat aktual aktual terkait adanya indikasi gesekan antara pemerintah pusat (pempus-red) dengan pemerintah daerah (pemda-red) terkait penanganan Covid-19,” ujar Auliya.
Sementara itu, Ketua Umum MAHUTAMA Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari SH MHum dalam sambutannya menjelaskan, bahwa Indonesia adalah negara kesatuan (unitaris), dimana prinsip utamanya adalah di konsentrasi. Meskipun pada pasal 18 ayat (5) UUD 46 dijelaskan bahwa Negara disusun atas dasar desentralisasi.
“Secara konseptual kita melihat ada ketegangan normatif,” ujarnya.
Bila dicermati, kata Aidul, dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diketahui bahwa kewenangan Pempus dan Pemda itu berdasarkan “urusan”, yakni urusan absolut, urusan wajib dan urusan pilihan.
“Sebenarnya model-model seperti ini lebih banyak ditemukan di negara-negara yang menganut paham federalisme ketimbang unitarisme,” jelasnya.
Terlepas dari itu, lanjut Fitria, salahsatu yang menjadi urusan wajib Pemda itu adalah urusan kesehatan dan saat ini Indonesia sedang menghadapi pandemi berkaitan dengan kesehatan. Kalau dilihat dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka situasi Indonesia saat ini sudah termasuk kedaruratan, yang kemudian diwujudkan lewat kebijakan PSBB.
Akan tetapi, kata Aidul, yang menjadi persoalan kemudian adalah, kalau kedaruratan itu kewenangan pada Pempus, sementara Pemda cuma mengurus persoalan konkuren yang terkait persoalan pelayanaan dasar, termasuk di dalamnya persoalan sosial dan kesehatan.
Menurut Aidul, dalam PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dengan tegas disebutkan, bahwa menteri sebagai pemegang urusan pemerintahan bidang kesehatan dapat memberikan izin kepada Pemda. Sementara Keppres No 12 Tahun 2002 Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 justru tidak mengacu pada UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Jadi kalau kita coba petakan sebenarnya urusan Pempus dan Pemda dalam konteks PSBB agak tumpang tindih, dan ini menimbulkan persoalan di tingkat daerah,” tegas Aidul.
Bukan cuma itu, kata Aidul, juga ditambah lagi fakta bahwa ada sikap partisan, dimana dapat dilihat sejak awal ditemukan fenomena wabah di Wuhan muncul sikap partisan yang melahirkan ketegangan antara Pempus dan Pemda.
“Yang paling jelas adalah perseteruan antara pemprov DKI dengan Pempus yang mengakibatkan respon penangan pandemi ini jadi lambat,” ungkapnya.
Sebenarnya, lanjut Aidul, kalau mengacu pada UU No 6 tahun 2018 pada saat kedaruratan kesehatan itu kewenangan atau urusan Pempus itu lebih kuat di banding Pemda. Artinta Pemda itu sepenuhnya dalam kontrol Pempus.
Dijelaskannya, persoalan lain adalah urusan kesehatan yang semula diserahkan ke daerah sebagai urusan wajib bagi Pemda. Di tingkat provinsi memang ada kedaruratan untuk bidang kesehatan, tetapi ditingkat kabupaten dan kota tidak ada, tetapi untuk SPM (Standar Pelayanan Minimal) bagian sosial memang ada.
“Nah persoalannya di tingkat pusat urusan sosial itu di bawah kendali Menteri Sosial bukan menteri kesehatan, ini yang sering menimbulkan persoalan. Sementara di tingkat daerah urusan kesehatan tidak seperti yang kita bayangkan, meskipun sudah didesentralisasikan, tetapi tidak semua daerah punya perhatian yang kuat terhadap kesehatan,” sebutnya. (*)