Site icon TAJDID.ID

Filantropi Kelas Menengah di Tengah Covid-19

Ilustrasi filantropi digital.

 

 

 

Oleh: Arifin Saleh Siregar, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara


Pemerintah pusat, dengan semua lembaga dan gugus-gugusnya patut sering-sering berterima kasih kepada masyarakat yang tergolong kelas menengah (middle class). Hal yang sama juga harus dilakukan pemerintah daerah, dari gubernur, bupati/walikota, termasuk camat, lurah, dan kepala desa.

Betapa tidak. Di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), masyarakat kelas menengah muncul dengan berbagai aktivitas membantu masyarakat yang terdampak. Kegiatan yang sangat berarti dan tak terhitung nilainya dalam mendukung tugas-tugas negara dan pemerintah.

Begitu pemerintah pusat mengumumkan kasus pertama Covid-19, 2 Maret 2020 lalu dan menyampaikan berbagai kebijakan mengatasi penyebaran virus dan dampak-dampak yang akan terjadi, kelas menengah pun tampil menjadi salah satu kelompok terdepan sesuai perannya. Kelas menengah menjadi salah satu yang tercepat dalam upaya membantu masyarakat yang terdampak virus asal Wuhan, China itu.

Sadar dengan  kondisi yang ada, tanpa perencanaan yang ribet, tanpa wacana yang mutar-mutar, kelas menengah langsung kerja nyata. Mereka mewujudnyatakan perannya.

Di saat pemerintah berdebat soal perlu tidaknya lock down, kelas menengah langsung bergeliat dengan berbagai program kemanusiaan. Ketika pemerintah masih membahas berbagai persyaratan terkait PSBB atau Karantina Kesehatan, kelas menengah sudah datang dengan pemberian kebutuhan pokok.

Ketika pemerintah masih menghitung-hitung berapa besaran jumlah bantuan uang yang akan diberikan, kelas menengah malah sudah menggalang dana. Mereka menggunakan dananya untuk berbagai keperluan dan menyalurkannya ke kelompok yang pantas menerima.

Berbekal kesepakatan. Tanpa birokrasi. Administrasi seadanya. Kelas menengah, baik individu per individu maupun yang tergabung dalam kelompok/organisasi langsung bergerak.

Mereka antara lain orang-orang yang ada di kampus (dosen, mahasiswa), di organisasi kepemudaan, di organisasi mahasiswa, di remaja masjid, di organisasi kemasyarakatan, di kelompok marga, di ikatan alumni, dan di berbagai komunitas lainnya. Masing-masing mereka sepakat dan menyatu menggalang dan memberi bantuan.

Media sosial (WA Grup, Facebook, Instagram) jadi pilihan sebagai pusat informasi dan laporan progres pergerakan. Meski banyak juga yang beraksi dengan “silent”, diam-diam bergerak, menggalang dan menyalurkan bantuan.

Kekuatan mereka salah satunya adalah modal sosial (social capital). Mereka memanfaatkan institusi (organisasi/kelompok), mengandalkan link (jaringan/pergaulan), dan mengedepankan trust (kejujuran/kepercayaan).

Alhasil, uang jutaan terkumpul. Beras berton-ton terbeli. Telor berbutir-butir mengalir. Ikan kaleng berdatangan. Minyak goreng berplastik-plastik. Mi instan, madu, vitamin C, masker, APD, dan lainnya, dan sebagainya.

Tanpa upah, tak ada honor, tidak pakai gaji. Tanpa ada niat menyunat, memotong, dan memanipulasi bantuan. Kelas menengah langsung menyalurkan sampai ke sasaran. Ke rumah-rumah, ke tenaga kesehatan, ke masyarakat yang membutuhkan, ke keluarga miskin, ke keluarga rentan, hingga ke kelompok-kelompok marginal.

Kelas menengah adalah salah satu lapisan atau tingkatan (stratifikasi) yang ada di tengah masyarakat. Kehidupan masyarakat di negara mana saja, termasuk di Indonesia, memang sering terpola atau dibagi menjadi kelas-kelas sosial tertentu. Makanya, selain ada kelas bawah (lower class) dan kelas atas (upper class), akan ada juga kelas menengah (middle class).

Jika kelas bawah diidentikkan sebagai masyarakat miskin dan kelas atas sebagai masyarakat pemilik modal dan kaya raya, maka kelas menengah, seperti namanya, berada di tengah-tengah; tidak sekaya para pemilik modal dan tidak di bawah garis kemiskinan. Hidupnya berkecukupan. Kondisi ekonomi cenderung stabil. Kehidupan sosial budayanya tertib dan teratur.

Beberapa ahli juga mengartikan kelas menengah sebagai orang-orang yang terbebas dari kerentanan ekonomi. Kelompok ini sering juga diyakini sebagai orang yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan di luar kebutuhan pokok, seperti alat elektronik, kendaraan pribadi, asuransi jiwa kesehatan, dan hiburan mingguan dan wisata tahunan.

Berapa banyakkah jumlah kelas menengah kita? Asian Development Bank pada 2010, mendefinisikan kelas menengah di Indonesia sebagai orang dengan pengeluaran sebesar US$2-20 per hari. Dengan besaran tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia mencapai 46,58% atau sebanyak 102,7 juta jiwa.

Sementara itu, laporan Global Wealth Report (2015) menggunakan parameter Amerika Serikat. Kelas menengah didefinisikan sebagai orang yang punya kekayaan sebesar US$50.000-500.000. Dengan angka tersebut, persentase kelas menengah di Indonesia cuma 4,4%. (https://www.asumsi.co/post/siapa-yang-dimaksud-kelas-menengah-di-indonesia, diakses 2 Mei 2020).

Tak perlu terpukau atau heran dengan jumlah tersebut. Jangan pula sampai diperdebatkan jumlah kelas menengah yang berbeda dari dua lembaga itu. Ingat saja, perbedaan angka juga sudah lumrah terjadi di negeri ini. Termasuk perbedaan angka-angka atau data-data yang ada kaitannya dengan Covid-19.

Nah, yang perlu diketahui, kelas menengah beraksi di mana-mana. Di ibukota, di kota-kota besar, hingga di tingkat kelurahan atau desa.

Ishak Daulay, M. Kahfi Siregar, Nursyam Rangkuti, misalnya, melalui media sosial dengan kekuatan kebersamaan masyarakat Tabagsel (baik yang ada di kampung halaman, maupun di perantauan) dalam waktu tak sampai 12 jam berhasil mengumpulkan uang Rp.30 juta lebih. Uang itu diperuntukkan untuk bantuan operasi Zainal Abidin Daulay. Zainal mengalami kecelakaan dan sebelumnya ia sudah kehilangan pekerjaan karena wabah Covid-19.

Sugiat Santoso, aktivis pemuda Sumatera Utara dengan berbagai kelompok/organisasinya terus melakukan penggalangan dan menyalurkan bantuan. Mereka datang mengantar bantuan ke berbagai keluarga di Kota Medan dan juga masuk ke berbagai pelosok di kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Paisal Siregar, Makmun Rambe, dan warga lainnya di Kampung Tobat, Padangsidimpuanm menggalang uang, beras, minyak goreng, telor, dan lainnya dari kelompok yang mampu dan yang mau berbagi. Bantuan yang terkumpul disalurkan melalui BKM Masjid At  Tawwabin ke masyarakat yang terdampak dan yang membutuhkan yang ada di kampung tersebut.

Puluhan, ratusan, ribuan, atau mungkin jutaan kelas menengah lainnya yang ada di berbagai daerah di seluruh negeri melakukan hal yang sama. Membantu dan berempati.

Semangat mereka adalah semangat filantropi. Semangat yang dilandasi cinta sesama manusia didukung nilai-nilai kemanusiaan sehingga mau menyumbangkan waktu, tenaga, barang atau benda, dan uang untuk menolong orang lain yang sedang membutuhkan.

Filantropi termasuk kedermawanan dan kesadaran memberi guna membantu mengatasi kesulitan orang lain. Para filantropis (orangnya) ikhlas berbagi. Tanpa pamrih. Mengedapankan amal dan kebaikan.

Kelas menengah tak berhenti. Selalu ada. Selalu muncul. Hingga hari ini. Mereka terus bergerak.

Beruntunglah negeri ini punya kelas menengah yang tangguh, kuat, mandiri, dan ikhlas berbagi.

Sekali lagi, negara harus sering-sering berterima kasih, sembari negara juga harus semakin sering hadir di tengah masyarakat, lebih-lebih di masa Covid-19 ini. Semoga! (*)


 

Exit mobile version