TAJDID.ID || Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi mengatakan agama musuh terbesar Pancasila.
Dikutip dari detik.com, secara blak-blakan ia mengatakan, Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diterima oleh mayoritas masyarakat, seperti tercermin dari dukungan dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah sejak era 1980-an.
Tapi, katanya, memasuki era reformasi asas-asas organisasi termasuk partai politik boleh memilih selain Pancasila, seperti Islam. Hal ini sebagai ekspresi pembalasan terhadap Orde Baru yang dianggap semena-mena.
“Dari situlah sebenarnya Pancasila sudah dibunuh secara administratif,” ujar Yudian Wahyudi, Rabu (12/2)
Lebih lanjut ia mengatakan, belakangan juga ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden.
“Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya mereka pun kecewa,” sebutnya.
Seperti diketahui Yudian Wahyudi dilantik sebagai Ketua BPIP oleh Presiden Jokowi (5/2/2020). Rektor UIN Sunan Kalijaga itu menggantikan Yudi Latif yang mundur sebagai Kepala BPIP pada awal Juni 2018. Selama ini, Hariyono didapuk menjabat Plt Kepala BPIP.
Riwayat dibidang akademik Yudian Wahyudi menempuh pendidikan S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ketika kampus tersebut masih bernama IAIN. Kemudian, dirinya melanjutkan pendidikan di Universitas McGill Kanada dan lulus tahun 2002.
Baca berita terkait: Sejumlah Tokoh Kecam Pernyataan Ketua BPIP yang Menyebut Agama Musuh Terbesar Pancasila
Tokoh Kontroversial
Namanya mencuat setelah menjadi Ketua Sidang Disertasi seorang Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Abdul Aziz, pada Rabu (29/8/2019) silam.
Disertasi Abdul Aziz lantas menuai kontroversi karena dianggap memperbolehkan hubungan seks di luar nikah alias zina. Judul Disertasi tersebut adalah “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital”.(*)