Site icon TAJDID.ID

Perebutan Lahan Eks HGU Konflik Pertanahan Terbesar di Sumut

TAJDID.ID-Medan || Kelompok Tani Berjuang Murni Marendal 1 (KTBMM-1) di Kantor Wilayah Agraria Tata Ruang (ATR/BPN) Sumut dan  gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol Medan, Senin (20/1/2020).

Massa demonstran menolak pembangunan taman Botani di lahan eks HGU PTPN 2 Desa Marendal 1 Kab Deli Serdang sekira 200 Ha. Alasanya, rencana pembangunan Taman Botani tidak pernah diusulkan Gubsu dan peruntukan Taman Botani tidak masuk matriks Tim B Plus.

Menaggapi hal tersebut, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor Siregar mengatakan, salah satu konflik pertanahan yang paling besar di Sumatera Utara ialah eks HGU.

Menurut Koordinator n’BASIS ini, persoalan ini sudah cukup larut karena disebabkan beberapa hal. Pertama, berbagai kepentingan elit dan dunia usaha bermain karena tanah adalah aset penting.

Kedua, perebutan lahan di eks HGU akan selalu menampakkan sisi sejarah pemerintahan dan transisi yang tak mulus antara pemerintahan kerajaan-kerjaan di sekitar Sumatera Timur dengan pemerintahan Republik yang terbentuk 18 Agustus 1935. Sultan Jogja memiliki klaim hukum atas jengkal demi jengkal tanah di kerajaan itu yang sangat berbeda dengan keadaan di sini. Sisi hukum yang sangat lemah inheren dengan faktor sejarah dan pemerintahan di atas.

“Setahu saya klaim-klaim beberapa kedatoan tertentu dan pewarisnya misalnya, tetap memiliki klaim hukum yang berdasar yang sekarang kerap kabur; mana milik kedatoan ini dan mana milik pihak lain terus menjadi sengketa. Ini tak boleh diabaikan,” ujarnya di Medan, Selasa (21/1/2020)

Jika terkesan seakan sengaja dibiarkan, kata Shohibul,  itu menandakan ketidak-jelasan kapasitas pemegang otoritas hukum dan politik yang membuatnya menjadi sangat rumit.

“Kelihatannya apa pun kata daerah tetap Jakarta (Menteri BUMN, maaf kalau saya salah) yang menentukan,” sebut Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PW Muhammadiyah Sumut ini.

Dari dulu, lanjutnya,  kalau pun disebut secara vulgar ada mafia atau bandit tanah, rasanya sukar dibantah perannya dalam kompleksitas pertanahan eks HGU ini. Umumnya kelompok-kelompok lainnya yang dapat disebut sebagai kelompok pemburu tanah bisa tumbuh subur karena kadar supremasi yang nyaris kevakuman hukum dan lemahnya political will.

Menurut Shohibul,  karena kelompok pengunjuk rasa sadar bahwa lahan itu bukan milik mereka, namun tetap berharap bisa dikukuhkan sebagai pemilik dengan sertifikat dari BPN, peluang penyelesaian sanģat potensil.

“Karena kelompok pengunjuk rasa juga tahu fakta bahwa kasus yang mirip permah diselesaikan dengan pemberian ganti rugi meski nilai ketidak-puasan mengemuka, maka tentu saja fakta ini menambah optimisme penyelesaian damai,” katanya.

Terkait hal tersebut, menurut Shohibul, Pemprovsu dengan partnernya DPRDSU sudah sangat perlu sekali duduk bersama untuk mengevaluasi existing condition termasuk faktor keberhasilan dan kegagalan usaha selama ini termasuk apa yang disebut Tim B Plus itu.

Shohibul menilai, pembangunan Taman Botani yang direncanakan Pemprovsu tetap penting sebagai sarana pendidikan dan rekreasional masyarakat yang nanti dapat sekaligus menjadi salah satu andalan dalam bidang kepariwisataan. Pengunjuķ rasa juga tahu proses pemindahtanganan hak atas tanah eks HGU bagi peruntukan lahan pembangunan Islamic Centre

Akan halnya prosedur perencanaan, menurutnya  tentu dapat segera dibahas bahkan tak hanya antara eksekutif dan legislatif, para ahli dan berbagai lapisan rakyat termasuk wakil-wakil pengunjuk rasa ini.

“Setahu saya kewenangan tertinggi dalam pemutusan ada pada menteri BUMN (maaf kalau saya salah), karena itu harus jadi prioritas agar konflik berangsur reda dan kenikmatan dalam bernegara dapat dicapai,”

Inilah kata Shohibul salah satu paradoks Indonesia. Jokowi sangat gairah membagi-bagi seŕifikat tanah, namun tak pernah berani menggubris dominasi elit yang menurut Yusril Ihza Mahendra jumlahnya hanya sekitar 0,2 persen tetapi menguasai 74 persen dari total lahan yang ada. (*)

Exit mobile version