TAJDID.ID-Yogyakarta || Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengatakan, di tengah derasnya arus Islam transnasional, Al Islam dan KeMuhammadiyahan (AIK) bagi peserta didik di lembaga pendidikan Muhammadiyah perlu diperkuat. Sehingga kedepannya mampu menciptakan dan mendidik warga persyarikatan agar memiliki daya filtrasi dan imunitas terhadap paham dari aliran keagamaan yang cendrung keras.
“Secara spesifik tantangan AIK sekarang ini adalah dari kelompok Islam Populer, Tarbiyah, Salafi, dan Jihadi,” ujar cendekiawan Muhammadiyah ini ketika menyampaikan materi “Peran ‘Aisyiyah dalam Gerakan Perempuan Islam Wasathiyah dan Dinamika Global” di acara Taniwr II ‘Aisyiyah periode 2015-2020 di Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta (17/11).
Maka dari itu, kata Amin, ‘Aisyiyah sebagai ‘penjaga gawang’ pendidikan generasi anak belia Muhammadiyah harus lebih giat dan memperbanyak lagi bahan dan sumber bacaan, guna memperkuat pengetahuan dan tidak menjadi latah lalu ikut-ikutan.
“Ibu-ibu ‘Aisyiyah harus kuat menjaga anak-anak muda dari paham gerakan yang hanya menerima kebenaran dari golongan mereka sendiri, dan menganggap golongan selain mereka adalah salah. Golongan ini bukan menyejukkan Islam. Melainkan hanya mendorong kebaikan untuk kelompok mereka sendiri, bukan Islam secara general,” jelasnya.
Kebekuan dan gejolak yang terjadi di agama Islam merupakan akumulasi dari beberapa faktor, salah satunya adalah Arab Spring. Terjadinya gejolak yang tidak berkesudahan di negara-negara Islam Timur Tengah menyebabkan ketidakadilan dunia dalam memperlakukan Islam.
Maka, menurut Amin Islam Wasathiyah yang diusung oleh umat Muslim Indonesia dalam hal ini Muhammadiyah menjadi tawaran menarik untuk menyikapi keberagamaan yang semakin beku saat ini.
Fenomena kecenderungan agama untuk menjadi keras sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan fenomena tersebut menjadi gejala global. Sehingga warga persyarikatan Muhammadiyah harus dibentengi melalui paham-paham keagamaan Islam yang telah diramu oleh para generasi pendahulu Muhammadiyah. Paham keagamaan yang menjadikan warga persyarikatan teguh dan percaya diri terhadap apa yang diyakininya, serta menjadi penyejuk dan pendamai ditengah pergolakan.
Usaha mencapai cita-cita tersebut adalah melalui cara mengeser paradigma teori maqasid klasik menuju kontemporer. Dalam paradigma maqasid klasik setidaknya terdapat lima poin, yakni menjaga keturunan yang diejahwantahkan menjadi maqasid kontemporer sebagai teori yang berorientasi kepada perlindungan keluarga dan kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga. Kedua, menjaga akal (al-aql) dibedah menjadi melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah, dengan mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan.
Ketiga,menjaga kehormatan atau menjaga jiwa (al-‘Irdh) dijelaskan sebagai menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan, menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia.Keempat, menjaga agama (al-Diin) sebagai cara menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan kepercayaan. Selanjutnya, menjaga harta (al-Maal) yaitu mengutamakan kepedulian sosial, menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi, serta mendorong kesejahteraan manusia dan menghilangkan jurang antara si miskin dan si kaya.
Sementara untuk Islam tengahan atau wasathiyah memiliki tujuh nilai dasar meliputi, al tawassut yaitu berada pada posisi di jalur tengah dan lurus, al I’tidal sebagai perilaku proporsional dan adil serta bertanggung-jawab, al Tasamuh sebagai pengakuan dan penghormatan perbedaan dalam semua aspek, al Syura yang bersandar pada konsultasi dan menyeleasikan masalah dengan musyawarah untuk mencapai konsensus, al Islah sebagai usaha pelibatan diri dalam reformasi dan konstruksi untuk kebaikan bersama, al Qudwah yang melahirkan inisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan bersama, dan al Muwatonah dengan mengakui negara-bangsa dan menghormati kewarganegaraan. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id