TAJDID.ID-Medan || Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (PWM Sumut) bagian Hukum dan HAM Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum mengingatkan, agar terkait kasus kejahatan tertentu, seperti terorisme, aparat dan media bisa bersikap proporsional dan objektif serta tidak menyudutkan agama tertentu.
“Kita minta, soyogianya dalam pilihan narasi dan kata disesuaikan dengan fakta. Jangan kita bilang Wuah, luar biasa besarnya kutu itu lebih besar dari pada gajah. Apalah kata orang yang tau gajah,” ujarnya dengan nada satire kepada TAJDID.ID di Medan, Kamis (14/11/2019).
Abdul Hakim menegaskan, memang betul terorisme adalah tindakan yang biadab. Tapi ia menyesalkan, untuk kejahatan biadab yang lain, tak ada yang menanyakan apakah si pelaku taat beribadah, agamanya apa, sekolahnya di mana, ngajinya dimana dan siapa guru ngajinya.
“Contohnya koruptor, misal para koruptor BLBI, tak pernah kita dengar disebut agamanya, pengajiannya dan sumbangannya kemana saja. Tapi yang kita sesalkan untuk kasus bom (dalam tanda petik), sepertinya format media cenderung memfokuskan kepada hal-hal yang secara global menurut saya sudah menjadi bagian dari konspirasi untuk mendeskriditkan agama tertentu, dalam hal ini Islam,” tegasnya.
Abdul Hakim mensinyalir, ada grand-design yang terpola sedemikian rupa untuk menjadikan sejumlah kasus terorisme fokus kepada tujuan tertentu.
“Dari pendekatan hukum, hal itu adalah kejahatan. Karena prinsip dalam hukum equality before the law, semuanya sama di depan hukum, juga standar dan etikanya sama,” jelasnya.
Poin pentingnya, kata Abdul Hakim, semua tindakan kekerasan tidak boleh dibenarkan dan memang harus dikutuk. Tapi jika ada kasus tertentu diframing sedemikian rupa untuk menyudutkan kelompok tertentu, maka itu juga harus ditolak dan dilawan.
“Karena kalau benar demikian, itu juga termasuk tindakan yang tidak kalah biadab,” ujarnya.
Menurut Abdul Hakim, hal ini penting dicermati agar menjadi pelajaran bagi semua. Sebab banyak kasus biadab lain, contohnya yang paling hangat sekarang kasus pembuangan bangkai babi di Medan, sama sekali tidak ada narasi yang menyinggung agama apapun.
“Sebab kita tahu, bahwa tidak satu pun agama yang membenarkan tindakan yang merusah lingkungan dan membuat keresahan di tengah-tengah masyarakat.
“Lagi pula hal itu tidak menjadi variabel penting dalam hal pengusutan, pemberantasan dan penegakan hukum. Artinya kejahatan itu bukan karena faktor agama apapun, kecuali dapat dibuktikan di persidangan, ” pungkasnya. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho