Persyarikatan berasal dari kata dasar syarikat. Kamus Besar Bahasa Indonesia memasukkan kosa kata “syarikat” dan “serikat” sebagai kata baku dalam kelas kata nomina, sementara kata “syarekat” dan “sarekat” tidak termasuk kata baku. Kata syarikat, syarekat, dan sarekat, sering digunakan dalam ejaan lama. Misalnya menjadi nama organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), berubah menjadi Sarekat Islam (SI), dan kini memakai nama Syarikat Islam Indonesia.
Syarikat diartikan oleh KBBI sebagai sekutu, perhimpunan, perkumpulan, serikat. Kata turunannya berupa bersyarikat dan mensyarikat. Adapun serikat memiliki arti; (1) perkumpulan (perhimpunan, gabungan, dan sebagainya), (2) persekutuan (dagang), perseroan, (3) sekutu, kawan (dalam perang dan sebagainya). Kata turunannya berupa berserikat, menyerikati, menyerikatkan, perserikatan. Misalnya perserikatan sepakbola.
Kata ini juga melekat dengan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang sempat berdiri pada 1949. RIS merupakan bentuk negara federasi yang menghimpun beberapa negara bagian. Masing-masing negara bagian diberikan kebebasan, berdaulat, dan independen mengatur dirinya sendiri, selain dalam urusan luar negeri dan pertahanan.
Dalam banyak referensi, kata persyarikatan sangat identik dengan Muhammadiyah. Kebanyakan organisasi lainnya lebih sering menggunakan kata perserikatan. Haedar Nashir dalam buku Kuliah Kemuhammadiyahan (2018) menyebutkan, sebuah gerakan yang diinisiasi oleh KH Ahmad Dahlan bersama sejawatnya, lahir di Kauman pada 18 November 1912/8 Dzulhijjah 1330 dengan menggunakan nama Persjarikatan Moehammadijah. Gerakan ini awalnya bermaksud memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad bagi penduduk Bumi Putera.
Dokumen Berita Tahoenan tahun 1927, yang dikutip Haedar Nashir, menyatakan, “Kalimat sjarikat itoe berarti koempoelannja beberapa orang oentoek melakoekan sesoeatoe dengan semoefakat dan bersama-sama karena banjak sekali, daripada saudara-saudara jang boekan anggauta dan donatoer (pembantoe) jang sangat mentjintai Moehammadijah dan toeroet bekerdja bersama-sama, seolah-olah mengehaki djoega Moehammadijah, dengan berani menanggoeng djawab. Hal ini tiada lain, melainkan dari sebab besarnja Moehammadijah dan banjak mendapatnya perhatian, dengan soedah terboekti terang berdjalan diatas haq dan mendjalankan perintah Agama Islam dengan soenggoeh-soenggoehnja.”
Dalam konteks ini, Persyarikatan Muhammadiyah merupakan wadah besar yang mengakomodir banyak kalangan. Asalkan memiliki kepercayaan dan kesamaan tujuan dengan organisasi, maka akan memperoleh kesempatan untuk bergabung dan ikut serta berkonstribusi.
Persyarikatan, menurut tim penulis Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (2009), merupakan suatu tempat berhimpun atau berserikat yang memiliki seperangkat idealisme dalam suatu sistem gerakan, baik menyangkut wadahnya (jam’iyah), anggotanya (jama’ah), maupun kepemimpinannya (imamah), untuk mencapai tujuan Muhammadiyah.
Landasan mengadakan suatu perhimpunan ini diinspirasi oleh QS. Ali Imran ayat 104. “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini memerintahkan adanya suatu wadah untuk melakukan kebaikan dan perubahan positif yang membawa kemaslahatan hidup manusia dan semesta. Visi hidup baik di bawah sinar nilai Islam yang rahmatan lil alamin ini diwujudkan dengan perjuangan dakwah.
Muhammad Djindar Tamimy menyatakan bahwa keberadaan suatu sistem organisasi bagi Muhammadiyah sesuai dengan kaidah ushul fiqh, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa al-wajib. Jika untuk mencapai sesuatu itu mensyaratkan adanya suatu alat atau perantara, maka perkara itu menjadi wajib adanya. Alat itu bisa berupa wadah organisasi. Sehingga bisa mencapai tujuan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang utama, adil, makmur, dan diridhai Allah. (*)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah edisi Nomor 2 Tahun 2019