TAJDID.ID-Medan || Langkah Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi untuk melakukan penghematan anggaran melalui kebijakan pemberhentikan ribuan tenaga honorer di Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemvrovsu) terus menuai tanggapan dari pelbagai kalangan.
Sosiolog FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, dalam birokrasi pemerintahan Indonesia tenaga honorer tidak hanya ada pada birokrasi, tetapi juga pada sektor pendidikan. Karena itu, kata Shohibul, hal itu mencerminkan beberapa hal yang amat serius.
Pertama, gagal perencanaan. Jika dalam sebuah kementerian atau instansi pusat dan daerah ada perencanaan yang baik, maka perhitungan atas volume kerja dan pendayagunaan sumberdaya manusia tidak akan terjadi.
“Adanya tenaga honorer, apalagi dalam jumlah besar, adalah fungsi kegagalan perencanaan di isntansi itu,” ujarnya Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PW Muhammadiyah Sumut ini.
Kedua, kegagalan pengawasan. Top manajer dalam sebuah instansi pemerintahan mestinya tahu visi, misi dan program kerja institusinya berikut besaran sumberdaya manusia yang ada berikut dengan klasifikasi rank, keahlian dan sebagainya.
“Pasti ada masalah dalam manajemen jika seorang top leader tak tahu besaran jumlah berlebih tenaga honorer yang dipimpinnya,” sebutnya.
Ketiga, penyelewengan. Shohibul mengatakan, sudah rahasia umum bahwa di dalam kebobrokan birokrasi rekrutmen honorer umumnya beralasan ganda.
Pertama ialah menjadi pemasukan uang sogok bagi oknum tertentu. Kedua, menjadi katup pengaman bagi akomodasi permintaan orang-orang elit internal dan eksternal.
Menurut Shohibul, memang bukan tidak mungkin ada faktor ketiga yang bukan kategori penyimpangan, yakni tindakan lincah menyiasati kekurangan tenaga yang dirasakan nyata pada masa antara di luar jadwal resmi rekrutmen.
“Model ini mestinya tidak mengabaikan proses rekrutmen yang lazim dengan mengutamakan merit system. Juga tidak bisa diterima mengabadikan status tak begitu jelas tenaga honorer. Ini sebuah cela yang nyata,” ujarnya, Selasa (5/11/1912).
Keempat, kasuistik. Jika Edy Rahmayadi akan melakulan sesuatu atas masalah ini, tentu saja ada sejumlah pilihan. Terkait hal ini, menurutnya ada 2 hal yang secara kasuistik harus diperhatikan.
Pertama, mengklasifilasi semua tenaga honorer itu berdasarkan potensi. Mereka yang sangat potensial dan masih belia seyogianya diprioritaskan dalam mengisi formasi dalam perencanan rekrutmen baru.
Menurutnya, mereka yang memenuhi kriteria terbaik itu malah tidak perlu ikut lagi testing dan bahkan nanti setelah resmi diangkat langsung pangkatnya disesuaikan dengan masa kerja dan mereka tidak perlu lagi ikut latihan prajabatan yang umumnya diwajibkan bagi setiap pegawai baru. Mereka tak memerlukan itu sama sekali.
“Tetapi Edy Rahmayadi harus memastikan mekanisme ini tidak justru kontraproduktif karena sangat potensil menjadi mainan koruptif bagi oknum-oknum di lingkungan birokrasi,” jelas Koordinator nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya) ini.
Kedua, memberhentikan semuanya dengan diberi ganjaran uang yang jumlahnya pantas dan surat keterangan pengalaman kerja.
“Dari mana uangnya? Dicarilah dan tidak manusiawi memperlakukan orang dengan mengusirnya begitu saja padahal yang salah adalah birokrasi itu sendiri,” sebut Shohibul.
Kelima, kenyataan Faktual. Jangan lupa, kata Shohibul, bahwa dalam praktiknya tenaga honorer di birokrasi maupun di lembaga pèndidikan itu tak sedikit yang menjadi andalan karena merasa bahwa produktivitas merekalah yang menjadi taruhan eksistensi mereka. Begitu tak berprestasi dengan mudah mereka bisa dibuang.
Karena itu Shohibul yakin, kecuali mereka yang dititipkan oleh elit politik tertentu, kapasitas dan kapabilitasnya cukup unggul.
Saya mengenal beberapa di antara mereka, baik yang belasan tahun mengabdi dalam jalur birokrasi mau pun jalur pendidikan,” pungkasnya. (*)