Site icon TAJDID.ID

Kasus Novel Sulit Diselesaikan Karena Termasuk Kategori ‘White Collar Crime’

Novel Baswedan. (Foto: Liputan 6)

TAJDID.ID-Medan ||  Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sudah dua tahun lebih. Namun hingga kini sepertinya belum ada tanda-tanda titik terang pengungkapan kasus tersebut.

Pemerhati sosial politik FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, kasus Novel Baswedan itu sangat rumit terutama karena indikasi keterlibatan elit di dalamnya.

“Jika bukan karena indikasi itu, kasus Novel tak perlu berlarut,” ujarnya di Medan, Selasa (5/11/2019).

Menurut Koordinator nBASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya) ini, di berbagai negara kasus serupa lazim terjadi karena keterlibatan para elit. Kriminal itu dua macam, yakni white collar crime (kejahatan elit) dan blue collar crime (kejahatan pelaku awam).

Karena kasus Novel termasuk dalam kategori white collar crime, maka menurut Shohibul,  sejarah yang nanti akan mengadili.

“Saya tak memiliki optimisme sekecil apa pun kasus ini bisa diselesaikan. Ia akan menjadi novel penegakan hukum Indonesia,” sebut Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik PW Muhammadiyah Sumut ini.

Lebih lanjut Shohibul mengatakan, lazimnya dalam kasus seperti ini bisa juga berujung pada didapatkannya “pelaku” yang tak masuk akal bagi nalar publik.

“Saya ingat bagaimana Antasari Azhar diperlakukan. Divonis bersalah dan menjalani kurungan. Tapi ia tak pernah menerima hukuman untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya,” katanya.

Selain itu, kata Shohibul, Amerika juga pernah kehilangan seorang Kepala Negara, Robert Kennedy. Sampai sekarang tak tentu arah penyelidikannya, hingga tetap misteri.

Shohibul menilai, kasus Novel adalah salah satu gambaran tentang bagaimana sebuah lembaga powerfull dibikin tak berdaya dan itu sangat terkait dengan arah penegakan hukum.

Sama halnya dengan perang melawan narkoba. Setiap menit ada berita yang menggambarkan gembong dibabat. Tetapi itu bukan sesuatu gambaran anatomi masalah yang dihadapi Indonesia dalam hal narkoba.

Dan tidak jauh beda seperti masa pemerintahan Nixon di Amerika, dimana demoralisasi hukum terjadi besar-besaran karena manisnya duit narkoba berhubung suply side tidak diperhatikan sama sekali atau sengaja dibiarkan.

“Bandingkan dengan Filipina yang menghadirkan negara secara optimum melindungi rakyatnya dari bahaya narkoba,” pungkasnya. (*)


Liputan: Maestro Sihaloho

Exit mobile version