TAJDID.ID-Medan || Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) menggelar Focus Group Discusssion (FGD) dengan tema “Reformulasi Kebijakan Haluan Negara: Antara Realita dan Cita-cita”.
Pelaksanaan FGD ini terlaksana atas kerjasama dengan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Fakultas Hukum UISU, Yayasan Rumah Konstitusi Indonesia, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Adminstrasi Negara dan Lentera Konstitusi ini diselenggarakan di Aula Fakultas Hukum Lt. IV Gedung C, Medan Sabtu 21 September 2019.
Tampak juga hadir dalam acara ini, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumut Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum, WD I FH UMSU Faisal, SH, M.Hum, Sekretaris Mahutama Aulia Kasanova SH MHum, Dosen, Mahasiswa dan sejumlah undanganserta peserta dari pelbagai Universitas dan lembaga di Sumatera Utara.
Ketua Panitia FGD, Benito Asdhi Kodiyat MS SH MH menjelaskan, bahwa kegiatan ini dilaksanakan karena kita menganggap perlu pembangunan yang terencana dan terintegrasi dari pusat hingga daerah.
“Panitia sudah menerima 31 tulisan yang berasal dari akademisi, praktisi, peneliti dan mahasiswa berkaitan dengan reformulasi kebijakan haluan Negara,” jelasnya.
Kemudian Dekan FH UMSU, Dr. Ida Hanifah SH MH dalam sambutannya menyatakan, bahwa kegitan FGD ini sangat membanggakan, karena banyak pihak yang ikut berpartisipasi, baik itu dari institusi maupun personal yang berkontribusi mengirimkan tulisannya dalam bentuk call for paper.
“Kita berharap FGD ini dapat menghasilkan luaran berupa rumusan pemikiran yang nanti bisa kita rekomendasikan sebagai sumbangsih untuk perbaikan sstem hukum kita, terutama terkaiat dengan agendan reformulasi GBHN,” jelasnya.
Sementara itu WR I UMSU Dr. Muhammad Arifin SH MHum dalam sambutannya ketika membuka acara mengatakan, bahwa tema yang diangkat dalam FGD kali ini adalah sesuatu yang menarik.
Dikatakannya, sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 banya perubahan yang terjadi, terutama dalam system ketatanegaraan kita, dimana sudah 4 kali dilakukan amandemen terhadap UUD dan sekarang kabarnya sedang diagendakan amndemen terbatas.
“Khusus untuk MPR, sejak dilakukan amandemen sepertinya lembaga ini tidak signifikan lagi kewenangannya. Saya melihat kegiatan MPR itu belakangan hanya berkutat pada sosialisasi 4 pilar kebangsaan,” ujarnya.
Tentang adanya wacana untuk menghidupkan kembali GBHN, Arifin menilai persoalan ini perlu lebih diekplorasi lebih dalam lagi, karena di tengah-tengah masyarakat wacana ini masih jadi polemik.
Dia mengungkapkan, tidak semua pihak setuju akan wacana menghidupkan GBHN ini, terutama mereka yang menilai bahwa itu cuma bentuk ilusi dan romantisme elit politik saja.
“Karena itu, jika memang wacana ini dianggap penting, maka yang perlu dilakukan sekarang adalah menyiapkan argumentasi yang bisa meyakinkan bahwa wacana tersebut memang perlu,” kata Arifin.
Oleh sebab itu, kata Arifin, kegiatan FGD ini merupakan sebuah wadah yang sangat tepat dan strategis untuk mengeksplorasi dan menguji sejauhmana urgennsi dari wacana revitalisasi GBHN tersebut.
Adapun Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari, SH MHum dalam paparannya mengungkapkan, bahwa isu GBHN adalah sesuatu yang dianggap usang, sehingga tak banyak yang tertarik untuk membahas dan mendiskusikannya.
“Dan dikalangan masyarakat hukum tatat Negara sendiri, isu GBHN ini tidak popular, bahkan cenderung dimusihi,” sebut Ketua Mahutama ini.
Namun meskipun demikian, kata Aidul, bukan berarti isu GBHN ini tidak penting. Justeru dia melihat banyak yang kurang paham tentang pentingnya kembali menghidupkan GBHN dalam sistem ketatatnegaraan Indonesia.
GBHN Bukan Warisan ORBA
Anggota Komisi Yudisial ini mengungkapkan, selama ini banyak yang salah paham terhadap GBHN, misalnya tentang tudingan bahwa GBHN adalah warisan Orba.
Pada hal, lanjut Aidul, jika ditelisik lebih jauh, GBHN itu bukan warisan Orba. Dikatakannya GBHN itu merupakan warisan karya pemikiran putera bangsa dari Sumatera, yakni M Natsir. Dan perlu diketahui yang pertama kali yang mengimplementasikan konsep GBHN itu adalah Ir Juanda, yang tidak lain adalah putera Muhammadiyah yang pada saat itu menjabat sebagai pengurus PP Muhammadiyah.
“Jadi, boleh dikatakan GBHN itu adalah salahsatu warisan dari pemikiran tokoh Muhammadiyah,” ujarnya.
Aidul juga membantah isu yang beredar bahwa keinginan untuk menghidupkan kembali GBHN adalah kepentingan politik kelompok tertentu.
Dijelaskannya, bahwa Kongres PDIP memang pernah merekomendasikan hal tersebut. Tapi jauh sebelum itu sesungguhnya sudah ada Keputusan MPR Nomor IV.MPR/2014 telah mengamanatkan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara.
Karena itu, dalam rangka mewujudkan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah, Aidul menegaskan perlu perumusan kembali perencanaan sistem pembangunan.
Dan mengingat isu GBHN ini terus bergulir, Aidul menawarkan dua alternative, yaitu Pertama, GBHN ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan seluruh lembaga negara termasuk presiden terpilih.
Namun dalam opsi ini, pelaksanaan GBHN didasarkan pada mekanisme checks and balances antarlembaga negara. Dan seluruh lembaga negara melaporkan pelaksanaan GBHN tiap tahun dan secara menyeluruh setiap lima tahun.
“Sedangkan alternatif kedua yaitu GBHN ditetapkan MPR dan dilaksanakan seluruh lembaga negara termasuk Presiden yang dipilih oleh MPR untuk melaksanakan GBHN dalam bidang pemerintahan,” ujarnya. (*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho