TAJDID.ID-Medan || Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) yang dulu sempat mengendap beberapa tahun kembali jadi sorotan. Pasalnya, pada Kamis (5/9) diam-diam DPR RI kembali menghidupkan RUU tersebut dengan mengesahkannya menjadi inisiatif DPR yang akan diajukan ke pemerintah.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara, Faisal Hukum SH MHum menyesalkan tindakan DPR yang tiba-tiba dan diam-diam meloloskan dan mengesah RUU KPK itu.
Faisal menegaskan, wajar publik curiga dan mempertanyakan sepak terjang para wakil rakyat tersebut. Sebab kabarnya agenda rapat terbaru mengenai pembahasan RUU KPK ini tidak pernah terpublikasikan atau diliput media.
“Ini ada apa? Apa motif mereka melakukan semua itu ? Kalau memang tidak ada apa-apanya, kenapa mereka mensahkannya jadi RUU secara sembunyi-sembunyi?” tanya Wakil Dekan I Fakultas Hukum UMSU ini.
Lebih lanjut Faisal mengatakan, publik semakin curiga, karena tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi.
“Ini kan aneh. Masak tanpa perdebatan mereka sepakat meresmikan revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Pada hal sebelumnya sudah banyak pihak yang mengingatkan draf RUU KPK harus ditolak, karena memuat rancangan perubahan yang justru berpotensi melemahkan KPK. ” kata Faisal.
Dari kajian penggiat anti korupsi selama ini, kata Faisal, setidaknya ada beberapa poin revisi yang justru dikhawatirkan bakal melemahkan KPK. Poin-poin itu antara lain, kedudukan KPK yang tidak independen lagi, menguatnya wewenang Dewan Pengawas KPK, Izin Menyadap yang dikebiri dan asal penyelidik dan penyidik yang bakal diwajibkan dari kepolisian.
Menurut Faisal, semua poin-poin yang terkandung dalam RUU itu sangat berbahaya dan berpotensi bukan saja melemahkan dan melumpuhkan, tapi juga bisa benar-benar membunuh KPK.
“Dengan UU yang berlaku sekarang saja KPK belum bisa berbuat banyak memberantas korupsi di republik ini, apalagi kalau sampai direvisi yang arahnya justru melemahkan. Jadi, apapun ceritanya RUU itu harus ditolak!” tegas Faisal
Untuk itu ia menghimbau semua elemen bangsa yang masih perduli dengan KPK dan masa depan pemberantas korupsi di negeri ini untuk bersatu menolak RUU KPK tersebut.
Selanjutnya, kata Faisal, karena RUU KPK ini sifatnya inisiatif DPR, maka berarti sekarang “bola panas” ada di tangan Presiden Joko Widodo.
Kemudian, lanjut Faisal, perlu diketahui, bahwa setelah sah menjadi RUU inisiatif DPR, draf RUU tersebut langsung dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Berarti kini DPR menunggu apakah Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (surpres) yang memerintahkan menterinya untuk membahas RUU KPK ini bersama para anggota dewan.
Kabarnya, Baleg DPR bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September. Artinya, revisi diperkirakan hanya akan memakan waktu paling lama tiga pekan.
“Ini tentunya waktu yang sangat krusial menentukan nasib masa depan KPK. Dan sekarang bola panas ada di tangan presiden Jokowi,” sebut Faisal.
Bagaimanapun, kata Faisal, kita masih berharap Presiden Jokowi bisa menolak upaya pelemahan KPK ini, sebab presiden punya otoritas secara konstitusional untuk setuju atau tidak setuju untuk melanjutkan pembahasan sebuah undang-undang atau revisi undang-undang.
“Tapi kalau sekiranya ternyata di belakang layar eksekutif dan legeslatif sudah sepakat untuk menggolkan dan merampungkan RUU ini, maka berarti siap-siaplah untuk menyaksikan kematian lembaga anti rasuah ini kedepan nanti,” pungkas Faisal.(*)
Liputan: M. Risfan Sihaloho