TAJDID.ID-Medan || Dosen UINSU Suheri Harahap MSi mengatakan, kasus Ustadz Abdul Somad (UAS) seyogianya menjadi pembelajaran bagi semua pihak dan jadikan untuk memperkuat dialog antariman dan agama, bukan disebarkan dan dipolitisir, serta dianggap pemecah belah persatuan bangsa.
Disebutkannya, UAS adalah sosok ulama berpengaruh dan menjadi tokoh yang kharismatik. Pendapatnya dalam berdakwah senantiasa berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits. Dan kasus yang lagi dipersoalkan disampaikan di mesjid kalangan internal (Islam) untuk menjawab pertanyaan jamaah.
“Jadi, hal ini tentu menarik dilihat dari perspektif sosiologis-antropologis, bukan politis dan hukum saja,” ujarnya di Medan, Kamais (22/8).
Bila ditilik lagi kebelakang, kata Suheri, kehidupan keberagamaan di Indonesia sejak Orde Baru terus menjaga dan menjalin tri kerukunan. Kemudian di zaman reformasi dan era rezim Jokowi sekarang ini upaya memperkuat hubungan antar umat beragama dengan pemerintah terus dilakukan. Dan konsepsi negara Pancasila menjadi alat perekat dan pemersatu bangsa.
Selama ini, lanjutnya, kebebasan beragama dan menjalankannya tidak pernah dipersoalkan dan antarumat beragama hidup rukun. “Lantas, apa yang mengusik kita sehingga tidak rukun? Kenapa ceramah UAS yang disebarkan? Apa motif di belakang ini?,” tanyanya.
Suheri berpendapat, dalam mengkaji agama sebaiknya memang berdasarkan keyakinan masing-masing tanpa melakukan interpretasi dan intervensi terhadap agama orang lain.
Sedangkan memperkuat emosi/identitas keagamaan menjadi hak azasi . Menurutnya, subyektivitas selalu hadir dalam menjelaskan kebenaran absolut yang datangnya dari Tuhan dan penjelasan kitab suci oleh beberapa kalangan agamawan menjelaskan ajaran agama-agama monoteisme secara apa adanya dan perlu diperkuat kontekstualisasi dalam konsep Islam keindonesiaan dan dakwah bagi komunitas berbeda agama ( pluralitas).
Suheri menilai, perspektif keindonesiaan damai dan isu munculnya kesalahpahaman serta pola indoktrinasi terhadap teks tanpa melihat konteks sosio-historis dan perenial. Dialog tanpa batas dan sekat-sekat primordial.
Dia menuturkan, para filosof dan ahli sosial (sosiolog dan antropolog) sejak zaman klasik, modern dan kontemporer selalu menggelar diskursus agama-agama secara akademis. Bahkan termasuk juga ideologi yang berkembang era modern seperti liberalisme, sosialisme dan komunisme yang notabene memiliki doktrin yang menyinggung esensi dan eksistensi juga jadi kajian yang dinamis.
Di Indonesia, kata Suheri, kita mengenal alm Prof Dr Mukti Ali, tokoh perbandingan agama yang membuka program studi perbandingan agama di IAIN dulu (sekarang program studi Agama-agama di UIN). Bersama Dr Nurcholis Madjid (Cak Nur), ia aktif mengkaji hal yang terkait dengan titik temu agama-agama (kalimatun sawa’).
Suheri berharap, fondasi dan tradisi itu bisa terus diperkuat, bukan hanya mempersoalkan keterlibatan tokoh agama dalam pentas politik, mempersoalkan islam radikal, khilafah, NKRI syariah dan lain sebagainya.
“Yang diperlukan sekarang adalah internalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.(*)