TAJDID.ID || Baru-baru ini seorang jurnalis bertanya kepada saya tentang sosok Dahnil Anzar Simanjuntak, “Bagaimana peluangnya jika akan maju untuk Kota Medan pada pilkada 2020 mendatang?” Berikut ini jawaban saya.
Saya sudah pernah bilang kepada beberapa orang “lingkar dalam” Prabowo Subianto pada saat sengit-sengitya rivalitas pilpres 2019 tempo hari. Dahnil Anzar Simanjuntak (saya singkat saja namanya menjadi DAS) sebaiknya bukan juru bicara kepresidenan. Juga bukan mengepalai KSP. Saya rasa akan lebih tepat menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Ia akan terus ”tumbuh” di sana dan dapat berkontribusi optimum.
Tetapi itu cerita lama. Tak perlu saya kemukakan respon positif dari beberapa orang atas usul saya itu, termasuk beberapa di antaranya yang menyebut DAS akan dihitung sebagai salah satu quota Muhammadiyah. Emang berapa banyak quota untuk Muhammadiyah dalam kabinet Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno?
Muhammadiyah itu taklah berhitung seperti itu. Percaya atau tidak, pengaturan jarak politik Muhammadiyah dengan semua kekuatan sosial politik selama ini, dan ketidakberpihakannya secara resmi kepada pasangan Capres 2019 yang mana pun, adalah menjadi dasar bagi perhitungan quota itu.
Meski ada orang yang berani mengatakan bahwa garis sikap Muhammadiyah sebenarnya cukup terbaca karena terhubung ke sana sebesar garis yang juga, sesuai pendapat orang lain yang berani mengatakan halberbeda, terhubung ke sini, membuatnya memiliki peluang terakomodasi pada pemenang mana pun dalam pilpres 2019. Ini bisa seakan bukan Muhammadiyah yang mengharapkan. Begitukah? Ada pembenaran untuk pendapat itu. Organisasi besar keagamaan tertua di tanah air ini pastilah dihitung. Hanya saja cara penghitungannya yang tak mudah diterangkan.
Tradisi politik inilah juga yang membuat semua orang pintar di dalam dan luar negeri merasa yakin quota untuk NU pun sudah tersedia di dalam kabinet.
Bagi saya itulah cerita awal yang harus dihitung untuk peluang DAS maju dalam pilkada Kota Medan 2020. DAS tidak sendirian, ia adalah entitas atau setidaknya salah seorang di atas pentas yang wajib dihitung merepresentasikan sebuah group reference yang bersejarah panjang di negeri ini.
Belakangan ada semacam simpangsiur tentang informasi resmi dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Cepat saja Prabowo Subianto memberi solusi, bahwa DAS diamanahkan menjadi saluran informasi resmi. Juru bicara yang lain kurang lebih dipensiunkan karena memang harus mengurus partai masing-masing.
DAS tak berpartai. Partainya adalah Pemuda Muhammadiyah yang periode lalu dipimpinnya dengan gebrakan yang lebih terfokus pada pembinaan karakter anak muda khususnya “imunisasi” anti korupsi. Program Madrasyah Anti Korupsi (MAK) yang dibangunnya berjalan sukses, dan tindak lanjut yang kemudian dibangun dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding antara Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Muhammadiyah dapat dikaitkan dengan success story DAS dalam program MAK yang berskala nasional itu.
Jejak itu perlu dibaca dan dipertimbangkan oleh Prabowo Subianto untuk menentukan apakah DAS menjadi pilihan terbaik bagi partai yang dipimpinnya (Gerindra) untuk diajukan dalam pilkada Kota Medan 2020. SWOT analysis tentu sedang berlangsung dan dalam perguliran waktu yang tak terlalu lama diyakini akan ada kepastian tentang itu.
Jika dibayangkan DAS beroleh restu dari Prabowo Subianto, resistensi apa yang akan muncul di lapangan?
Posisinya yang bukan kader partai bisa menguntungkan dan sekaligus juga merugikan. Menguntungkan jika dilihat sebagai figur non-partisan yang berpeluang memasuki relung setiap pemilih tanpa sekat kepartaian, dan merugikan ketika kita melihat tak mungkin tak menghitung kader partai (Gerindra) yang sejak lama menanti penerimaan mandat resmi dari Prabowo Subianto.
Tetapi semua kader Gerindra di seluruh tanah air dan para analis internasional tahu kinerja DAS dan basis keihlasan untuk mengamanahkannya membawa mandat partai memiliki potensi jalan mulus dengan resistensi minim meski tetapharus dihitung. Faktor ini juga akan menjadi nilai elektabilitas dalam hitungan politik, karena anggapan umum bahwa figur berbasis kepartaian sudah memiliki jejak berseberangan dengan partailain dan konstituennya.
Tetapi DAS tetap memiliki nilai partisanitas, karena ia adalah salah satu bagian inti dari elit Kampret (saya harus menggunakan istilah polarisasi ini sekadar memudahkan saja) yang mengingatkan semua orang dengan lawannya Cebong di seberang lain dalam polarisasi politik bangsa Indonesia kontemporer.
Jadi jika harus dilihat semacam rematch parsial, yakni pada tingkat lokal, rasanya ini bisa sangat mungkin terutama jika nanti Jakarta menilai kondisi sekarang tidak perlu dicairkan dan dengan demikian head to head aspirasi Kampret dan Cebong akan dimainkan kembali dalam pentas rivalitas pilkada Kota Medan 2020.
Jadi saya tak melihat DAS akan kalah bobot figuritas jika dihadapkan dengan siapa pun di seberang sana jika akan dibayangkan bahwa pilkada Kota Medan 2020 memiliki hanya dua pasang calon.
Pilkada Kota Medan 2020 adalah salah satu pilkada dengan bobot paling prospektif dan menantang untuk Indonesia hari ini dan masa depan. Simbol-simbol samar mau pun ekspressif akan selalu dipersilangkan di sini secara lebih terus-terang, sebagaimana DKI Jakarta telah memperagakannya untuk Indonesia dan dunia dalam pilkada terakhirnya.
Jika rujuk sosial nasional terjadi secara memuaskan untuk seluruh kekuatan sosial politik resmi (parpol), peta yang saya bayangkan untuk DAS akan berubah dan bahkan ia bisa dianggap tidak perlu dimajukan. Kondisi yang saya maksudkan ialah disepakatinya Bobby Nasution dan pasangannya berhadapan dengan pasangan yang tak berbobot untuk memberi penghormatan kepada Joko Widodo pasca kesepakatan rujuk sosial nasional.
Atau bisa saja nanti menantu Joko Widodo itu didisain hanya akan berhadapan dengan kotak kosong belaka jika pasangan yang maju dari jalur perseorangan tidak ada. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)